Sedari pagi konsentrasi Jonatan sudah picah dan terbagi-bagi. Perihal-perihal kecil terus-menerus mengganggu pikiran. Tentu saja itu mengenai sikap Rubi.
Begitu menyelesaikan meeting, Jonatan kembali ke ruangan kerja. Jika kalian menganggap meeting beberapa menit lalu berjalan lancar. Maka kalian keliru. Sejatinya pikiran Jonatan tidak bersama tubuh yang tengah duduk diam. Pikirannya berkelana jauh. Sangat jauh sampai ia tidak begitu fokus dengan apa yang disampaikan oleh karyawan yang tengah presentasi di depan sana. Hingga meeting berakhir dengan tidak adanya koreksi dari Jonatan.
Moodnya benar-benar kacau. Tidak bisanya Jonatan akan mengabaikan pekerjaan. Sayangnya, setiap kali Jonatan mencoba menyelami pekerjaannya dengan serius. Pikirannya justru berakhir kacau akibat tiba-tiba bercabang.
Jari-jemari Jonatan dengan cekatan melonggarkan dasi. Ia cukup merasa terbelenggu dengan benda tersebut. Ditambah masalah sepele yang tidak seharusnya berkeliaran dalam isi kepala.
Sialnya, masalah sepele itu benar-benar mengacaukan pikirannya. Lihatlah, bahkan sekarang Jonatan harus berakhir membanting sebuah berkas gara-gara tidak bisa berkonsentrasi dengan benar.
Melupakan masalah pekerjaan sejenak, mata Jonatan jatuh pada ponsel. Benda itu tergeletak pada meja tanpa nyawa. Biasaya pada jam-jam begini Rubi akan mengganggunya dengan berbagi pesan. Jika bukan menanyakan tentang makan siang. Wanita itu akan memberi semangat dengan kata-kata anehnya. Sialnya, Jonatan sekarang seolah sedang mengharapkan kata-kata aneh tersebut.
Jonatan tidak munafik. Ia suka setiap kali ada yang memperhatikan dirinya. Perhatian kecil yang sering diberikan Rubi membuatnya merasa senang. Sekarang Jonatan seperti terbiasa. Ia bukan sedang dalam keadaan kurang kasih sayang. Namun, ia hanya merasa ada yang kurang dari satu hal yang seharusnya sudah pas.
"Tidak ada pesan, ya?" Jonatan tersenyum pahit. Ia seperti anak labil. Menunggu pesan yang memang sering dikirim tiap-tiap siang. Namun, tak kunjung didapat.
Sesibuk apa istrinya sampai melupakan kebiasaannya? Mungkin pekerjaan caffee shop jauh lebih sibuk dibanding bekerja pada perusahaan terkemuka yang namanya sudah dikenal luas?
Oh. Sepertinya ia melewatkan satu hal. Miska! Tentu saja lelaki itu pasti menyita perhatian istrinya.
Jonatan cukup kenal lelaki itu. Sering, Rubi akan bercerita menggebu-gebu perihal lelaki itu. Ada senyuman, ada kalimat pujian, ada rasa kagum dan semua hal itu tiba-tiba menjengkelkan.
"Sialan ..., " tiba-tiba dan tanpa sadar Jonatan mengumpat penuh emosi.
Untuk pertama kalinya Jonatan berniat menghubungi Rubi. Tetapi, ia harus melewati pergejolakan batin hanya untuk memilah kata. Beberapa kali ia menghapus lalu mengetik. Ternyata tidak gampang dalam urusan beginian. Jonatan bahkan sampai dibuat pusing kepala.
Lelaki itu menatap serius ke arah ponsel. Sedang otaknya dipaksa bekerja. Kira-kira kalimat mana yang tepat. Ia harus membuat pertimbangan matang supaya tidak ada unsur merindukan atau perhatian kecil dalam kalimatnya. Jonatan tidak ingin Rubi salah menanggapi pesannya.
"Kamu bersenang-senang, hmm?" Terkirm. Sudah, hanya itu yang ada dalam isi kepala. Jonatan memang tidak pandai merangkai kata. Ia terlahir bukan menjadi penggombal yang memiliki banyak kalimat manis untuk memikat cewek-cewek.
Selanjutnya Jonatan dibuat ketar-ketir. Tidak bisanya ia dibuat begini. Menunggu belasan seseorang walau barang sebentar.
Sebagai selingan, ia mengambil berkas yang tadi dibanting lalu menyibukan diri dengan menyelami berkas tersebut. Tidak bisa! Mata Jonatan selalu beralih pada ponsel di depannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/367516224-288-k680036.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.
RomanceRubi, gadis yang baru menyelesaikan studi perguruan tinggi, mendadak dilamar oleh lelaki yang bukan lain adalah Jonatan, sahabat dari sang kakak, Raditia. Dalam berumah tangga, Jonatan adalah sosok suami hangat yang penuh perhatian. Sebagai pasangan...