Bab 28

8.6K 255 14
                                    

Senyuman itu menghancurkan sebagian raganya. Jonatan berdesis sinis mana kala melihat senyuman menyakitan itu setelah susah payah mengayun langkah memasuki rumah. Jonatan tidak berharap diberikan senyuman disaat logika dan perasaannya sedang merasakan sesak dan sakit.

Sementara Rubi tetap mempertahankan senyumannya. Dan itu begitu melukai mental Jonatan.

Perlahan-lahan ia mendekat. Dadanya sesak. Hatinya remuk. Ia kesakitan melihat senyum cerah itu dikala hatinya berada di ambang kehancuran. Terparah, ia mendapati dua koper di sisi kiri wanita itu. Ternyata, Rubi telah merencanakan hal ini.

Jonatan, berdiri membisu untuk sesaat dengan posisi empat langkah dari keberadaan Rubi. Dan tak lama berselang ia tersenyum pedih.

Tidak! Jonatan tidak ingin bercerai. Ia menginginkan Rubi. Berharap bahwa wanita itu ada dalam tiap-tiap harinya, menyambutnya dengan senyuman hangat selepas pulang kerja yang mana dapat menyembuhkan semua keletihan. Ia membutuhkan Rubi lebih dari yang ia kira. Rubi mulai berarti baginya. Ya, ia ingin mengatakan semua itu di hadapan Rubi. Tetapi, tidak bisa! Seperti ada sesuatu yang menganjal pada pita suaranya. Tentu saja, itu ego dan gengsinnya."Jangan senyum!" Jonatan, bertitah. Untuk kesekian kali, ia menemukan dadanya remuk. Hatinya hancur tak terbentuk akibat senyuman wanita yang entah bagaimana berhasil menjungkirbalikan perasaan.

Rubi mengangguk-angguk. Lalu, ia menyamarkan senyuman tadi menjadi ekspresi tenang. Ia mematuhi ucapan Jonatan. Kemudian wanita itu menunduk. Sedang Jonatan menengadah lalu menghembuskan napas panjang-panjang.

Jonatan, tentu saja tidak perna menyangka bahwa wanita yang mengakui mencintai mengatakan hal menyakitan itu, perpisahan. Jonatan, terkejut! Sangat! Begitu mendengar perihal tersebut lewat mulut yang sama yang mana sering kali dengan terbuka mengatakan cinta."Saya merasa dibohongi. Dibodohi dan dipermainkan!" Lelaki itu berkata marah kemudian dengan perasaan sakit dan kecewa ia meraup wajah gusar.

Rubi mendongak, menatap mata memerah Jonatan. Setelahnya ia tersenyum kecil sambil menggeleng pelan.

Perlahan ia menegakan tubuh lalu membuka map yang berisikan surat gugatan cerai yang ia temukan ke arah Jonatan."Seharusnya surut gugatan cerai ini mampu memperjelas segalanya. Bukan aku yang membohongi. Bukan aku yang membodohi. Bukan aku yang mempermainkan. Tapi, kakak!"

"Sudahku bilang berkali-kali, kalau hatiku hanya berdetak dan sakit untuk satu nama yang sama yakni Jonatan. Sesakit dan seluka apapun hatiku, aku tetap menginginkan Jonatan. Aku mencintai lelaki itu secara gila-gilaan sampai semua hal menyakitkan yang diberikan nggak ada satupun yang mampu merubahnya menjadi kebencian ataupun amarah yang mana kemungkinan membuatku dendam. Aku mencintaimu, kak. Aku mencintaimu sepanjang kakak nggak perna mencintaiku. Dan pada akhirnya surat cerai ini membuatku sadar, aku terlalu bodoh jika terus bertahan disaat aku nggak diinginkan. Mungkin ini titik menyerahku. Sekarang, aku menyerah!"

"Ya, aku menyerah! Aku menyerah! Kedepannya sudah nggak ada lagi aku yang selalu membuat kakak risih. Aku akan pergi." Rubi terisak sambil menutup wajah menggunakan ke dua tangan. Seharusnya sejak awal ia memilih mundur jika pada akhirnya ia dilukai begitu dalam dan besar oleh lelaki ini.

Jontan mematung. Tetapannya terkunci pada surat gugatan cerai yang ia layangkan kepada Rubi yang mana dibuat kurang lebih beberapa bulan yang lalu oleh kuasa hukumnya.

Jonatan menunduk. Setelahnya ia menengadah sambil mengangguk-angguk. Sekarang ia mengerti, bukan Rubi dalang dari kekacauan perasaannya. Tapi, dirinya sendiri. "Pergilah."

Tidak! Hati Jonatan menantang keras. Sayangnya, terlambat! Ia telah mengucapkan hal menyakitkan itu. Kata yang kemungkinan akan menjadi sebuah penyesalan di kemudian hari.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang