Bab 23

5.9K 194 1
                                    

"Kak, kalau begini terus, kapan kita jalannya?" Rubi mendesah panjang. Akhir-akhir ini suaminya memang suka tempel-tempel. Sudah begitu, sedikit-sedikit kecup pipi, kecup bibir, peluk-peluk. Pokoknya suka-suka Jonatan.

Tentu saja Rubi suka dan senang atas semua perlakuan Jonatan. Tapi, kadang-kadang suaminya melakukan hal itu tanpa melihat situasi. Di depan umum saja Jonatan suka mengendus tubuhnya. Bahkan lelaki itu suka tiba-tiba mengecup bibirnya. Alhasil, Rubi sering kesal akibat harus menahan rasa malu dan canggung.

Sementara untuk perihal-perihal sikap Jonatan yang dulu suka melukainya, Rubi sudah membuang jauh hal itu. Rubi memang bukan tipe pendendam. Mungkin lebih tepatnya ia tidak bisa membenci Jonatan. Karena Rubi sadar, rasa cintanya terhadap sang suami jauh lebih besar dibanding rasa sakit yang dikasih.

Sekarang, Rubi merasa hubungan mereka jauh lebih hidup dan berwarna dari sebelumnya. Sikap manis Jonatan berhasil menghilangkan semua rasa canggung diantar mereka. Tentu saja segalanya dilakukan oleh usaha keduanya. Dan berhasil, mereka tampak bahagia dengan semua hal yang saat ini mereka jalani.

"Sebentar lagi, Bi. Saya suka cium wangi badan kamu. Saya ketagihan." Jonatan semakin mengendus tubuh Rubi. Sungguh, Jonatan merasa hidup setiap kali mencium oroma tubuh Rubi. Bukan hanya itu, saat ia memakan setiap makanan yang disentuh meski cuma sedikit oleh Rubi, ia senangnya bukan main. Ia merasa begitu puas.

"Kapan kelar kalau kayak begini terus kak? Kita nanti telat."

"Sebentar, Bi. Saya mohon."

"Kakak kenapa? Kakak sakit?"

"Tidak kenapa-kenapa sayang. Memang akhir-akhir ini saya maunya dekat-dekat kamu terus."

Benar. Bahkan Jonatan sering bekerja dari rumah guna berdekatan dengan Rubi. Sayangnya, Ririn yang harus direpotkan akibat bolak-balik kantor ke rumah demi mengantar berkas yang harus dipelajari dan ditandatangani Jonatan.

Rubi berpaling, berhadapan dengan Jonatan yang menatap sayu. Suaminya memang benar-benar manja jika berdekatan dengannya."Aku sebetulnya takut, kak. Nggak biasanya kakak begini. Nanti kita ke dokter ya biar periksa!" Bujuk Rubi. Jonatan jelas harus dirayu apabila ingin mendapat persetujuannya.

"Saya tidak sakit, Bi!"

"Nggak sakit tapi kelakuan kakak macam orang sakit. Kadang kakak tiba-tiba lemas. Pucat. Malas. Makan aja maunya aku sentuh dulu baru dimakan. Udah gitu, kakak penginnya dekat-dekat supaya cium badan aku,"

"Dan lagi, sekarang kakak bawaannya tidur terus. Mau mandi juga susah mesti disuruh-suruh. Itupun setelah aku marah-marah."

Jonatan terkekeh pelan. Memang semua hal yang diucapkan Rubi benar adanya. Ia juga tidak mengerti kenapa dirinya tiba-tiba mengelami setiap hal yang disebutkan Rubi.

"Mungkin itu semua bagian dari tanda-tanda cinta." Seru Jonatan sambil tersenyum.

Sontak Rubi terpaku. Jantungnya berdetak cepat dari kata normal. Tantu saja karena ia merasa senang mendengar perkataan ambigu yang dilontarkan Jonatan. Meski sampai sekarang ia tidak perna mendengar pengakuan perasaan Jonatan, Rubi sudah sangat bahagia atas semua perhatian dan perlakuan hangat yang diberikan. Sudah pasti kebahagian Rubi akan sempurna sewaktu Jonatan mengakui perasaannya.

"Saya mulai merasakan getaran itu. Mungkin, sebentar lagi hati ini benar-benar tertuju pada kamu."

Sampai detik ini, Jonatan belum mampu memastikan setiap detail hal yang ia rasakan terhadap Rubi adalah bentuk dari cinta atau sebuah rasa bersalah? Setelah mengetahui kebenaran dari kerapuhan Rubi, Jonatan merasa dirinya terlalu keras terhadap Rubi. Wanita malang itu banyak menangis karena keluarganya. Dan kini menjadi bertambah akibat ulahnya. Apakah semua perhatian yang selama ini ia kasih kepada Rubi terbentuk dari rasa bersalah? Akan tetapi, ada saat-saat di mana Jonatan merasa emosinya tidak dapat dikontrol sewaktu Rubi mengabaikan dirinya. Ia kesal juga tak terima diperlakukan begitu. Apa mungkin itu semua bagian dari cinta?

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang