Bab 11

6.2K 252 5
                                    

Tubuh Rubi bergetar hebat sewaktu mendengar percakapan dua lelaki yang bukan lain adalah Radit, sang kakak bersama suaminya, Jonatan. Satu kebenaran baru terungkap dan berhasil melumpuhkan sayaraf tubuhnya.

Mendadak tubuhnya limbung, namun dengan cepat Rubi memegang tembok untuk menopang berat tubuhnya. Tanpa permisi air mata membasahi wajah. Rubi ingin menolak perkataan mereka. Tidak ingin mempercayai ucapan itu. Namun, begitu mengingat kepingan demi kepingan mengenai sikap acuh tak acuh sang mama, mau tidak mau Rubi harus membenarkan ucapan mereka.

Ya, tidak ada yang perlu diberatkan dari percakapan mereka. Semuanya kini lebih jelas. Siakp dan semua perlakuan sang mama memang pantas dibenarkan. Rubi, bukan darah dagingnya. Bukan anak yang keluar dari rahimnya. Jadi, tidak ada yang salah jika Alisa, sang mama lebih menyayangi anak kendungnya ketimbang Rubi yang bukan siap-siap.

Sekarang, justru Rubi merasa malu jika memang ia dilahirkan oleh seorang jalang. Wanita murahan yang menyodorkan tubuh pada lelaki beristri lalu hamil kemudian melahirkan dirinya dan tanpa tahu malu mengantarkan Rubi pada wanita yang bukan lain adalah mamanya, Alisa untuk dirawat.

Jika semua itu benar adanya. Rubi sendiri tidak yakin apakah ia masih memiliki muka untuk bertemu keluarganya? Bukankah dengan merawat dan melihat wajah Rubi, luka-luka akibat perbuatan ibu kandungnya mengganggu sang mama? Bagaimana Alisa, mamanya mampu melewati siksaan ini dengan membesarkan Rubi?

Sekalipun Rubi hadir oleh cara yang salah dan melukai. Tidak ada kekerasan fisik yang diberikan Alisa terhadap Rubi. Tidak ada caci maki yang dilontarkan wanita mulia itu. Mungkin hanya sikap dingin dan cuek nya yang menjadi pembeda. Perihal-perihal sikap itulah yang kadang memicuh rasa cemburu Rubi. Ia ingin diperlakukan sama seperti anak-anak yang lain. Namun, sekarang Rubi mengerti. Justru Rubi bersyukur karena mamanya masih mau menerima Rubi. Meskipun ada kalanya Rubi bersikap tidak tahu diri. Ya, selama ini Rubi memang tidak tahu diri karena menginginkan kasing sayang lebih dari sang mama tanpa tahu kebenaran dibalik itu semua.

"Aku anak jalang."

"Anak anak jalang."

"Aku anak jalang."

Dalam isi kepala Rubi dipenuhi bisikan-bisikan menyakitan. Tidak ada yang lebih jauh menyakitkan dibanding kebenaran ini.

"Tidak seharusnya kamu menuntut lebih sedang aku adalah aib."

"Kamu anak jalang Rubi. Hahah ... kamu anak jalang. Anak yang tidak seharusnya ada untuk menyakiti banyak hati. Kak Radit. Kak Neta. Lebih-lebih mama pasti menderita menahan luka hanya gara-gara merawatku."

Rubi masih berpegang erat pada dinding. Sedang satu tangannya menyentuh dada yang mendatangkan rasa sakit. Ada tusukan-tusukan di sana yang mana membuat Rubi tak sanggup untuk sekedar bergerak. Sejatinya, ia ingin berlari jauh, menghindari orang-orang lalu setelahnya meluapkan semua rasa sakit yang tertahan di dada. Namun, ia tidak cukup kuat menuntut tubuh rapuhnya.

"Saya suka istri murahan."

"Tuih ... "

"Murahan, sekali!"

Otak Rubi diarahkan pada moment-moment di mana sang suami mengatainya. Berkali-kali otak Rubi memutar ulang perkataan menyakitkan itu. Ternyata bukan tanpa alasan Jonatan tidak ingin menyentuhnya. Tidak ingin repot-repot menciumnya. Karena Rubi adalah anak seorang jalang. Tentu saja, Jonatan merasa jijik.

Rubi tertawa miris. Jelas! Kini semuanya jelas. Alasan dibalik sikap tidak perduli. Tidak adil. Dan dingin sang mama bukan lain karena Rubi adalah anak seorang pelacur yang menghancurkan hatinya. Sementara Jonatan yang selalu menolak sentuhannya karena ia adalah anak seorang jalang yang tentu saja menjijikan.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang