Bab 18

7.2K 244 5
                                    

Jonatan duduk termenung di ruang televisi sehabis mendengar curhatan Rubi. Ia terus merutuki diri karena berhasil melukai wanita itu begitu dalam. Seharusnya hanya boleh ada senyuman di wajah Rubi. Bukan air mata. Entalah, Jonatan merasa tidak semestinya wanita ceria itu menangis. Ada yang salah dengan perasaan Jonatan begitu melihat dan mendengar kerapuhan hati Rubi.

"Ehh ... udah pulang ternyata. Maaf kak aku lagi mandi jadi nggak dengar kalau kakak pulang." Rubi nyengir. Lalu mendekat ke arah Jonatan. Lelaki itu langsung menatap intens begitu mendengar suara istrinya. Lelaki itu dapat melihat wajah sembab Istrinya. Sepertinya wanita itu baru saja mencuci muka.

Jonatan menarik napas dalam-dalam. Topeng yang sama yang kini baru diketahui yakni senyuman. Di balik setiap sifat jenaka Rubi terdapat banyak luka yang wanita itu simpan sendiri.

Jonatan menggeleng sambil tersenyum sedih. Sepertinya ia melewati banyak hal mengenai istrinya.

Karena tidak mendapati sahutan suaminya, Rubi menawarkan diri untuk membuatkan kopi. Jonatan memang menyukai seduhan kopi buatannya."Mau aku buatkan kopi?" Rubi masih berdiri di tempat. Ia senantiasa menanti jawaban sang suami. Jaraknya memang terbilang cukup dekat dari keberadaan Jonatan.

"Tidak perlu," Sahutnya.

"Kalau gitu aku siapin air panas buat kakak." Begitu handak membalikan badan, tangan Jonatan lebih dahulu menahan pergerakan Rubi.

Wanita itu langsung menoleh dengan cemas sambil berusaha melepaskan diri dari ganggaman tangan Jonatan. Rubi takut jikalau tubuhnya akan membuat lelaki itu jijik.

"Kamu apakah hati saya, Rubi?" Lirih Jonatan yang mana langsung memeluk erat tubuh Rubi dari belakang. Wanita itu mendelik. Agak terkejut dengan perlakuan suaminya. Namun ia berhasil meredakan keterkejutan itu. Setelahnya ia menggeleng pelan sambil tersenyum rapuh."Aku nggak tau."

"Sayapun sama. Tapi, saya merasa ada yang ganji," Aku Jonatan semakin mengetatkan pelukan. Bahkan ia menyandarkan dagu pada pundak istrinya.

Rubi merasa serba salah. Ingin melepaskan diri. Namun, hatinya ingin sejenak berdekapan bersama lelaki yang ia cintai meski banyak melukai hati."Mungkin kerena kehadiranku keganjilan itu ada? Jika benar begitu, seharusnya sejak awal jangan memilihku menjadi mempelaimu." Nada Rubi terdengar serat. Dadanya sesak setiap kali membahas mengenai rumah tangga yang tak berfondasi.

"Seharusnya begitu. Tapi, semuanya sudah terjadi." Jonatan tidak mengelak. Ia maupun Rubi tidak bisa mengembalikan segalanya seperti semula.

"Seandainya waktu dapat di putar kembali, aku harap aku nggak nikah."

"Humm ... sama. Menikah justru bikin pusing." Angguk Jonatan.

Rubi tersenyum sedih. "Benar bukan? Menikah malah menyengsarakan!" Wanita itu mengangkat wajah tinggi-tinggi. Ia nyaris tak bisa bernapas dengan benar.

"Ya, menikah begitu menyesangsarakan," Sahut Jonatan. Tanpa sadar air matanya jatuh mengenai pundak Rubi.

Seketika tubuh Rubi bergetar. Jonatan tahu bahwa pembicaraan ini melukai mereka.

"Aku nggak mau nikah, jika tahu menikah itu semenyedihkan ini. Seharusnya aku nikmati dulu masa mudaku. Bukannya disia-siakan." Sesal Rubi. Namun, Semuanya terlambat!

"Menyesal?"

"Tantu saja, sangat!" Rubi mengangguk mantap. Tidak ada keragu-raguan.

Jonatan mengangguk paham ditemani air mata yang terus berjatuhan. Seharusnya sejak awal ia tidak menyeret Rubi dalam kerumitan perasaannya.

"Padahal dulu aku menganggap jikalau aku adalah wanita yang paling berbahagia karena memiliki suami yang penuh perhatian dan kasih sayang. Nyatanya, aku hanya wanita yang perlu dikasihani karena nggak dianggap suaminya setelah seminggu dikasih kasih sayang. Selebihnya aku seakan hidup sendiri seperti nggak perna nikah."

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang