Bab 25

8K 234 6
                                    

Setelah drama ungkapan perasaan, Rubi dan Jonatan tertidur lelap tanpa memusingkan apapun. Termasuk keluarga besar yang barangkali sedang mencari keberadaan mereka.

Keduanya tertidur sambil berpelukan erat, menyalurkan segenap rasa cinta kepada satu sama lain.

Setelah berjalm-jam lamanya mereka tertidur, orang yang pertama kali membuka mata adalah Jonatan. Begitu benar-benar sadar, lelaki itu menatap lekat ke arah Rubi yang sedang tertidur lelap.

Jonatan tersenyum. Ada kelegaan tersendiri dalam diri setelah akhirnya mengungkapkan apa yang ia rasakan terhadap Rubi. Ia merasa sangat terlambat menyadari perasaannya. Andai sejak awal ia tidak mengabaikan Rubi, tentu saja hubungan mereka akan jauh lebih indah dibanding sekarang. Bagaimanapun Jonatan patut bersyukur karena setidaknya sekarang hubungan mereka terarah. Masing-masing dari mereka telah memiliki cinta satu sama lain.

Saat larut memandangi wajah Rubi tiba-tiba ponsel berdering. Hal itu menyababkan fokusnya teralih. Lelaki itu menarik napas panjang lalu melihat ke arah ponsel. Dengan penuh kehati-hatian ia meraih ponsel yang berada di nakas. Pergerakannya dibuat sepelan mungkin agar tidak mengganggu tidur nyanyak istrinya.

Ada raut wajah kesal setelah lelaki itu membaca isi pesan dari sang pengirim. Lantas, lelaki itu bergerak secara perlahan-lahan menuruni ranjang.

Mendekati nakas, Jonatan mengambil segelas air di sana kemudian diminum sampai tandas. Setelahnya ia bergegas keluar kamar.

Ia berjalan cepat menujuh ruang baca yang memang letaknya berjauhan dengan kebisingan yang sedang terjadi.

"Apa yang mau kamu bicarakan? Saya tidak bisa lama-lama meninggalkan istri saya sendiri." Jonatan berseru tenang sambil mendekat secara perlahan pada sosok yang tengah berdiri membelakanginya.

Sosok itu berpaling dan menatap marah ke arah Jonatan."Aku nggak suka keformalan kamu sama aku, Jo. Aku bukan Rubi." Sinisnya.

Jonatan menatap tanpa gairah. Ia tak suka menanggapi sosok di depannya. Namun, ia perlu membuat segalanya usai di sini."Jangan berlebihan, Neta. Kita bukan siap-siapa lagi." Tegur Jonatan mengingatkan.

Wanita itu tersenyum jengkel."Jika aku bukan siap-siap lantas kenapa kamu nggak memperlakukan Rubi seperti yang seharusnya? Bukannya suami harus menyanyangi istrinya? Sepertinya kamu nggak, Jo."

"Sudah saya bilang. Itu saya yang dulu. Saya yang sekarang berbeda; baik itu cara pandang juga perasaan saya terhadap Rubi segalanya sudah berbeda. Saya mencintai Rubi."

"Maksudmu kasihan, Jo?" Neta mencibir.

"Aku tahu bagaimana pengaruhku sama kamu. Percuma mengelak. Setiap tidakan yang kamu kasih ke Rubi mampu menjelaskan semuanya. Kamu nggak betul-betul mencintai Rubi. Kasihan! Ya, rasa yang tepat pada Rubi adalah bentuk dari rasa kasihan."

"Jangan mempermainkan perasaan adikku, Jo. Aku mengenali hatimu. Akulah tempat hatimu berpulang. Sekalipun ada wanita lain dalam keseharianmu. Tetapi, aku adalah wanita yang ada dalam bayang-banyangmu setiap waktu."

"Ya, kamu benar. Kamu memang sangat mengenali hati saya. Saya mengakui itu." Aku Jonatan, mengangguk setuju.

Neta tersenyum."Aku senang kamu sadar, Jo. Cinta kamu memang hanya ditujukan untukku."

Jonatan menggeleng lalu tersenyum miring."Maaf mengecewakanmu. Artinya kamu keliru. Cinta saya bukan lagi kamu. Saya jijik harus memberikan cinta saya pada wanita murahan."

"Jonatan! Jaga mulutmu."

Jonatan berdesis sinis."Jaga dirimu terlebih dahulu agar mulut saya tetap terjaga."

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang