Bab 24

5.6K 194 1
                                    

Tidak ada niat hati untuk bergabung bersama keluarga lain untuk bernyanyi. Tantu saja, Rubi merasa tidak pantas berada di antara mereka. Jika biasanya Rubi memaksakan diri ikut bergabung. Maka, sekarang tidak. Ia sadar dan tahu diri jikalau keberadaannya membuat segalanya hancur. Lebih-lebih mood mamanya.

Dengan jelas Rubi menyadari bahwa senyuman sang mama akan memudar sewaktu ia hadir di tengah mereka. Oleh karenanya, Rubi lebih memilih mengurung diri di dapur bersama bi Atik dan bi Dinda ketimbang hadir di sana namun tidak diinginkan.

"Tidak ikut nyanyi Non? Lebih hebo loh kalau ada non Rubi." bi Atik mengeluhkan perihal majikan mudanya yang tak bergabung bernyanyi padahal kalau ada Rubi suasannya akan jauh lebih hebo. Dan ya, bi Atik memang menyukai nyanyian Rubi, karena majikannya selalu membuat orang-orang terhibur. Mungkin, hanya nyonya besar yang kelihatan tak suka dan langsung memilih pergi sewaktu Rubi bernyanyi hebo.

Rubi menoleh dengan senyuman sambari memegang piring yang berisikan cake cokelat. Ia bergerak ke arah meja yang diikuti oleh kedua pembantu paruh baya tersebut. Lalu dengan perlahan ia menarik sebuah kursi kemudian duduk di sana."Nggak deh, bi. Lagi Nggak mood. Mending kita cerita-cerita di sini. Kan lebih seru."

"Rasa-rasanya non yang sekarang begitu pendiam. Ada masalah, non?" Timpal bi Dinda yang sedari tadi mengamati wajah lesu dan sedih majikannya.

"Huss ... " bi Atik menegur. Ia sampai menyengol lengan tangan bi Dinda untuk menghentikan temannya. Sayangnya, sudah tidak bisa dicegah karena berhasil didengar Rubi.

Rubi tersenyum lalu menggeleng pelan."Nggak ada, bi. Mungkin udah waktunya aku berubah pendiam."

"Ini, Non. Dimakan ya. Jangan makan kue terus. Non juga butuh nasi." Dari tadi bi Atik selalu memperhatikan Rubi. Nyonya mudanya memang tidak menyentuh nasi selain kue. Karena tidak ingin nyonya mudanya sakit, bi Atik berinisiatif memberikan sepiring nasi berserta lauk-pauk kepada majikannya.

Rubi memindai setiap pergerakan bi Atik yang mana meletakan sepiring nasi di depannya. Akhir-akhir ini Rubi memang tidak memiliki selera makan yang bagus. Mungkin, ketika Jonatan ngebet ingin makan apabila disetuh mulutnya, saat itulah Rubi baru akan mengisi perutnya dengan makanan tersebut.

"Nggak ah, bi. Aku nggak ada selera makan begituan."

"Nanti sakit loh, non."

"Iya, non. Makan ya. Biar sedikit juga tidak apa-apa." Timpal bi Dinda, membujuk majikannya.

Rubi menggeleng pelan."Maaf , bi. Tapi, aku benar-benar nggak berselera makan."

"Kamu harus makan Rubi!" Kata suara itu, membuat Rubi, bi Atik dan bi Dinda menoleh ke arah pintu.

Begitu Jonatan mendekat, kedua paruh baya itu dengan sendirinya menarik diri mundur, mencoba memberikan kesempatan keduanya bersama. Selama ini, mereka cukup tahu betapa majikannya berusaha mendekati Jonatan. Namun, lelaki itu tidak sedikitpun menoleh padanya. Tapi, melihat sikap manis Jonatan terhadap Rubi sejak tadi, mereka sadar kalau sudah ada benih-benih cinta di antara mereka.

"Kue udah cukup ganjal perut, kak." Balas Rubi sambil memindai sang suami yang langsung mengambil duduk di sampingnya.

"Tidak, sayang. Kamu harus makan." Wajah Rubi langsung merona merah. Suaminya kalau berada dalam mode manis. Manisnya luar biasa sampai Rubi salah tingkah dibuatnya.

"Sebetulnya saya lapar. Kalau saya lapar pastinya kamu juga. Jadi, kita harus makan sama-sama."

Rubi mendengkus panjang. Selalu saja begini. Suaminya baru akan makan jika ia mencicip sidikit makanan itu. Dan pada akhirnya ia juga ikutan makan. Dan yang mengherankan ia justru bernafsu makan apabila seperti itu.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang