Bab 34

7.6K 180 5
                                    

1 minggu setelah insiden konfirmasi perceraian.

"Mama, ada Rubi. Mau bicara sama mama." Lelaki paruh baya itu berbisik pelan sambil mengelus sayang pundak wanita seusianya yang tengah berbaring pada ranjang rumah sakit dengan beberapa alat medis di tubuhnya.

Sejenak, tubuh wanita itu menegak. Lalu dengan gerakan pelan dan dengan bantuan sang suami, Radit maupun Neta, wanita itu bangun dan duduk menyandar pada kepala ranjang.

Rubi mengamati dalam diam interaksi itu. Setelahnya ia menunduk sedih.

"Buat apa anak wanita itu di sini?" Alisa berkata sinis lalu membuang muka. Gunawan menoleh, menatap Rubi yang tersenyum getir. "Ma." Tegur Neta sambil satu tangan mengelus pelan pundak sang mama, menenangkan."Ayo bicara, Bi." Bisik Radit yang kini sudah berdiri di samping adiknya. Dan Rubi mengangguk setuju. "Ma, maaf." Cicit Rubi, berusaha menahan air matanya.

Alisa diam. Ia enggan menatap wajah Rubi. Namun, tak lama berselang ia menatap tajam pada Rubi."Makin hari kamu makin bendel." Cerca Alisa.

Rubi mengangguk mengerti sambil tersenyum menangis.

"Kamu bukan anak-anak lagi. Punya suami terus sekarang lagi hamil juga. Tapi keras kepala kamu tidak ada duanya. Kamu nomor satu kalau soal itu. Kenapa kamu tidak mengerti-mengerti saat papa sama mama suruh pulang. Kalau memang Jonatan lepas kamu atau sebaliknya, kamu bisa pulang. Kamu kembali menjadi tanggung jawab papa-mama. Kalau ada masalah sama papa-mama juga, kita bicara baik-baik. Kenapa main pergi-pergi? Apa rumah lain lebih nyaman? Sama papa-mama kamu tidak suka?"

"Ma." Tegur Gunawan. Tidak mau istrinya bertambah stres lalu mengakibatkan kondisi tubuhnya drop.

"Apa, Pa? Papa jangan bela-bela. Juga jangan tahan mama buat marah anak nakal ini."

"Ma." Gunawan kembali menegur. Meski begitu tangannya mengelus sayang punggung sang istri. Sama seperti yang Neta lakukan sedari tadi.

"Dia tambah bandel. Tambah kurang ajar. Dia nyakiti semua orang. Lebih parah mama."

"Anak kurang ajar ini udah nyakitin mama lewat perkataan dia."

"Dia bilang, dia anak wanita itu padahal dia anak mama. Siapa, Pa? Siapa coba yang ngerawat anak nakal ini dari kecil sampai sekarang? Siapa? Wanita itu? Bukan! Mama, Pa. Mama!"

"Pas Rubi sakit! Mama yang jagain. Rubi rewel. Mama yang tenangin. Rubi luka! Mama juga yang obatin. Perempuan itu cuma tahunya lahirin tapi soal rawat sama jaga tidak perna! Tapi, kenapa anak nakal ini bilang seolah-olah perempuan itu yang berperan besar buat dia."

"Iya, memang mama akui, mama egois. Mama kurang ajar. Mama tidak adil sama kamu dan mama tahu mama salah karena banyak melukai kamu dengan sikap cuek mama. Tapi, mama punya alasan untuk itu semua. Kamu mirip wanita itu. Setiap kali lihat wajah kamu dada mama sakit. Mama masih dendam.Tapi, demi Tuhan. Rubi itu anak mama! Putri bungsu mama! Bukan perempuan itu! Rubi putri mama!" Air mata Alisa merebes turun. Dipegangnya dada bagian kiri yang mana terdapat rasa sakit di dalam sana. "Mama tidak perna berharap kamu akan sesakit dan seluka itu. Nyatanya sikap mama selama ini bikin kamu begitu dalam sakitnya. Mama nyesal sudah bikin kamu kecewa, sedih, terluka lebih-lebih harus merasakan ketidakadilan mama, kesepihakkan mama. Maaf, kalau selama ini kamu merasa sendiri dan terasingkan. Mama sayang, Rubi. Jauh di dalam lubuk hati, mama sangat. Sangat amat sayang Rubi!"

"Boleh mama peluk?"

Permintaan Alisa langsung diangguki Rubi. Wanita hamil itu lantas berjalan cepat dengan air mata yang membasahi wajah. Tak ingin membuang kesempatan, Rubi kemudian memeluk erat paruh baya yang kebetulan tengah merentangkan tangan padanya.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang