Bab 19

6.9K 212 0
                                    

Rubi adalah orang pertama yang membuka mata begitu pergerakannya seolah terbatas. Ia merasa terkurung dan sulit bergerak. Untuk memastikan penyebab dibalik semua itu Rubi menoleh, mendapati Jonatan yang masih terlelap namun bisa-bisanya memeluknya erat. Bahkan kaki lelaki itu ikut-ikutan menindihnya. Pantas saja Rubi merasa susah napas dan sulit bergerak.

Dada Rubi konten berdetak kencang. Lebih-lebih ingatannya yang langsung jatuh pada kejadian semalam.

Rubi sendiri tidak mengerti dengan keputusaannya yang mana memberikan tubuh kepada Jonatan setelah semua permasalahan yang terjadi diantar mereka. Seharusnya dalam kasus ini, Rubi tidak boleh membuat dirinya rugi. Bukankah mereka akan berpisah cepat atau lambat? Pada akhirnya yang paling dirugikan di sini adalah dirnya. Namun, sudahlah. Segalanya telah terjadi. Rubi tidak mungkin bisa mengutuhkan diri setelah menyerahkan diri kepada Jonatan. Soal menyesal, Rubi tidak menyesal. Ia menyukai kegiatan mereka.

Perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian Rubi mengangkat tangan Jonatan lalu dipindahkan ke sisi lain. Begitu pula dengan kakinya. Namun, tanpa diduga-diga Jonatan kembali memeluk Rubi bahkan kakinya sudah kembali pada posisi semula.

Rubi menarik napas panjang. Artinya ia harus berusaha untuk kedua kalinya demi menjauhkan tangan dan kaki Jonatan dari tubuhnya.

"Mau ke mana, hmm?" Jonatan tiba-tiba bertanya yang mana membuat Rubi tersentak keget. Lelaki itu mengencangkan pelukan. Tidak lupa hidungnya mengendus tengkung Rubi berulang kali.

Merasa ada yang ganjil, Rubi berusaha meloloskan diri dari rangkuhan Jonatan. Tapi, tidak biasa! Jonatan benar-benar mengunci pergerakannya. "Kakak udah bangun?" Rubi bertanya canggung. Lagi-lagi ia masih berusaha meloloskan diri. Rubi belum terbiasa bangun dalam keadaan seintim ini; dengan Jonatan yang memeluknya dalam kondisi tubuh sama-sama telanjang. Ini aneh. ganjil. Salah dan membuat Rubi merasa perlu melarikan diri dari Jonatan sejauh mungkin.

Oh, Tuhan. Jika tahu pada akhirnya hal yang Rubi harapkan selama ini justru membuatnya mati dalam kecanggungan, maka ia berharap tidak perna memimpikan hal ini.

"Memangnya orang tidur bisa ngajak ngobrol?"

"Nggak!" Elak Rubi sambil menggeleng cepat-cepat. Sungguh, ia bingung harus bersikap seperti apa dalam menanggapi situasi ini. Apa Jonatan tidak merasakan hal yang sedang dirasakan Rubi?

"Mau ke mana?" Ulang Jonatan apalagi belum mendapat jawaban dari Rubi. Ditambah lagi Rubi yang terus-menerus berusaha menjauhinya.

Sumpah, kenapa Rubi harus merasa semalu ini? Apa mungkin semua perasaan yang Rubi rasakan saat ini masih berkaitan dengan setiap omongan Jonatan lalu-lalu?

"Ini udah pagi, kak. Mau siapin keperluan kerja kakak, aku, terus masak, mandi dan kerja." Sahut Rubi. Ya, ia juga perlu memasak mengingat bi Mina yang sedang izin pulang kampung.

"Memangnya kamu bisa jalan?" perkataan gamblang Jonatan membuat jantung Rubi jatuh dalam satu ketukan. Tidak bisakah ucapan Jonatan di flash dulu?

Rubi gelagapan."Bisa!" Ia menyahut cepat dan tanpa kendala. Demi Tuhan, Rubi rasanya ingin berlari ke manapun asalkan menjauhi Jonatan dan bahasan ini.

"Coba?" Tantang Jonatan. Dan sebagai tindakan nyata dari ucapannya ia melongarkan pelukan supaya Rubi bisa bergerak atau bahkan mencoba berjalan agar membuktikan ucapan wania itu.

Dangan canggung Rubi bergerak bangun. Namun, sebelum itu, ia menoleh cepat ke arah Jonatan yang sudah duduk dan memantau setiap pergerakannya.

Pertama-tama Rubi menarik selimut lalu menutupi tubuhnya. Ia tidak perduli jika Jonatan harus berakhir telanjang. Intinya ia jangan berjalan telanjang yang ditontoni Jonatan.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang