"Li?!" Nada itu terdengar ragu-ragu. Bahkan orang yang bertanya raut mukanya terlihat gelisah. Rubi merasa tidak yakin mempertanyakan masalah rumah tangganya kepada orang lain. Meskipun Lili adalah salah satu teman terdekat selain Miska dan Dika.
Semalam penuh Rubi menangis. Ia kesakitan atas tingkah suaminya. Dicumbu dengan begitu lembut dan penuh kasih. Tetapi, pada akhirnya dicampakan bak sampah. Karenanya, Rubi membutuhkan Lili guna mengurangi beban pikiran.
Lili yang menyadari sikap Rubi, mencondongkan badan lalu memegang kedua tangan sahabatnya yang berada di atas meja. Lili cukup mengerti dengan sifat sungkan dan malu-malu Rubi.
Begitu menerima telepon dari Rubi, Lili dengan senang hati menerima ajakan temannya untuk bertemu apalagi akhir-akhir ini mereka memang jarang bertemu.
"Aku siap dengar, Bi. Jangan dipandam sendiri. Nggak baik buat kesehatan kamu." Tegur Lili begitu lembut sambil tersenyum tipis. Digenggamnya tangan Rubi dengan erat dan penuh kehangatan. Mencoba meyakinkan temannya bahwa ada baiknya bercerita supaya mengurangi beban pikiran.
Rubi mengangguk. Matanya tampak berkaca-kaca. Pada orang-orang tertentu, Rubi merasa pengendalian dirinya suka tak terkontrol. Suasan hatinya dibikin naik turun.
Untunglah mereka mengambil duduk agak berjauhan dari keramaian. Biasanya pada sore hari restoran banyak dikunjungi pelanggan.
"Kalau suami nggak mau nyentuh istrinya, itu kenapa, Li?" Tanya Rubi pelan-pelan dan ragu-ragu. Ia merasa pertanyaan ini tidak pantas dipertanyakan. Tetapi, rasa penasaran dan ingin tahunya terlalu bersar. Sehingga pada akhirnya ia berani mempertanyakan hal ini.
Disatu sisi, Rubi merasa pantas mempertanyakan hal ini pada Lili, karena temannya telah berumah tangga. Semasa kuliah, Lili memang telah berstatus menikah bahkan telah dikarunia dua orang anak.
Tampak Lili yang kebingungan. Matanya mengerjap-ngerjap sedang mulutnya terbuka dan tertutup seolah-olah tidak tahu harus berkata apa.
Sesaat Lili tersenyum, "Ada kemungkinannya rasa cape bisa menyebabkan suami enggan menyentuh istri." Terang Lili sekenannya. Hal ini sering dialami Lili. Ketika sang suami tertekan oleh banyaknya pekerjaan, hubungan ranjang mereka sering diabaikan. Tetapi, apabila dalam keadaan suasan hati yang baik, hubungan ranjang mereka selalu terjalin dengan baik.
Rubi mengangguk mengerti. Sedang matanya menerawang jauh. Sejujurnya masih ada banyak hal yang ingin dipertanyakan. Namun, Rubi enggan. Inilah konsekuensi yang harus ditanggung karena berani menerima lamaran lelaki yang tidak mencintainya. Tapi, salahkan Rubi bila mencintai suaminya sendiri yang walau pada kenyataannya Jonatan tidak mencintainya?
Menarik napas panjang, Rubi menatap Lili lalu membalas genggaman tangan temannya."Makasih, Li."
***
Begitu naif. Itulah Rubi. Dulu, sebelum menikah, ia dengan percaya diri mengatakan kalau dirinya mampu menakhlukan hati Jonatan. Namun, sampai sekarang, hal itu tak kunjung terjadi. Seharusnya dalam pernikahan yang telah memasuki 4 bulan lebih, ada perkembangan posetif bagi keduanya. Tetapi, tidak. Yang Rubi temukan adalah hal-hal menyakitkan yang mana membuatnya dengan sendiri mundur secara perlahan-lahan.
Bukan tidak berjuang. Rubi berjuang! Bahkan berjuang mati-matian. Ia tak akan perna lupa jika sering mempermalukan diri. Sering dibaikan begitu saja. Sering tidak dianggap. Sering dikasih perhatian yang pada akhirnya dicampakan. Semua itu, sudah Rubi alami.
Ada beberapa hal yang terus menyinggung perasaan Rubi. Baik berupa kata-kata maupun perlakuan Jonatan. Itu begitu melukai. Rubi masih mengingatnya dengan jelas setiap hal menyakitkan itu. Rasanya Rubi telah mengambil langkah yang terlampau salah. Kini ia merasa jauh lebih terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.
RomanceRubi, gadis yang baru menyelesaikan studi perguruan tinggi, mendadak dilamar oleh lelaki yang bukan lain adalah Jonatan, sahabat dari sang kakak, Raditia. Dalam berumah tangga, Jonatan adalah sosok suami hangat yang penuh perhatian. Sebagai pasangan...