Bab 27

8K 282 5
                                    

Sepulang kerja, Jonatan menemukan Rubi yang tengah duduk menyaksikan siaran televisi. Sekalipun lelah dan letih. Senyuman Jonatan seketika mengembang. Sebelumnya Jonatan tidak perna seantusias ini apabila kembali ke rumah. Sekarang Jonatan sadar jika Rubi adalah rumahnya. Kehangatan dan semua hasih sayang hanya bisa ia dapati melalui Rubi.

"Saya kagen, Bi." Jonatan langsung memeluk Rubi erat-erat dari belakang. sofa yang membatasi mereka bukan perkara disaat rasa rindu Jonatan sedang menggebu-gebu. Sejenak, ia memejamkan mata kemudian menghirup banyak-banyak wangi tubuh istrinya.

"Saya juga lapar, belum makan seharian selain gandalin kopi buat ganjal perut." Keluahnya. Ya, pagi tadi ia memang berpesan untuk pulang sewaktu jam makan siang. Sayangnya, tidak jadi, karena ada banyak perkerjaan yang harus diselesaikan. Alhasi, lelaki itu harus menahan rasa lapar dengan mengandalkan kopi.

Mati-matian Rubi menahan isak tangis. Untuk apa ia memiliki semua rasa sayang ini jika diam-diam Jonatan telah merencanakan perceraian.

Untuk mencegah air mata yang jatuh, Rubi menggigit erat bibir bawah. Sekuat tengan ia menguatkan diri untuk tidak menangis. Tapi, tidak bisa! Air matanya terlalu keras kepala untuk dicegah.

Jonatan menelengkan kepala, melihat setiap tetesan air mata yang berjatuhan membasahi wajah istrinya. Jonatan kebingungan. Kerena itu cepat-cepat ia berpindah posis lalu berlutut di depan kaki istrinya.

Sementara Rubi langsung memalingkan wajah sewaktu Jonatan melihat kesedihan hatinya.

"Rubi!" Seru Jonatan bernada panik.

Wanita itu merespon lewat gelengan kepala dan senyuman yang disertai deraian air mata. Sesaat, Rubi menghembuskan napas panjang seraya menutup wajah menggunakan kedua tangan.

"Rubi." Ulang Jonatan yang dipenuhi kepanikan.

Rubi menatap. Kesedihan sejatinya berkerubung dalam dirinya. Jonatan jelas melihat hal itu.

"Maaf, aku menangis!" Kerena tidak tahu harus bagaimana mengekspresikan kesedihan hati, air mata menjadi solusi.

Jonatan mengangguk pelan. Ia merasakan suatu geteran yang berhasil mengucak hatinya.

"Maaf." Rubi tersenyum menangis. Dengan cepat ia mengusap tiap-tiap tetesan air mata. Namun tidak bisa! Tiada henti matanya mengeluarkam tetesan kesedihan itu. Tetesan yang melambangkan betapa saat ini hatinya dibuat hancur.

Rubi menunduk."Aku terluka!" Serunya lagi. Dan Jonatan kembali mengangguk pelan. Tanpa berkata apa-apa.

"Aku sangat terluka! Mungkin ini kehancuranku!" Ia mendongak cepat lalu menatap dalam-dalam mata sendu di depannya.

"Aku udah nggak sanggup mempertahankan apa yang aku perjuangkan selama ini."

"Semuanya kacau. Hancur! Berantakan! Lebih parahnya hatiku."

"Aku terluka!" Rubi berseru lantang sambil memegang dadanya. Ia merasakan sakit yang luar biasa di dalam sana.

Secara naluri Jonatan mambawa tubuh Rubi ke dalam pelukan. Didekapnya dengan erat tubuh bergetar sang istri."Rubi. Tolong. Jangan buat saya cemas." Khawatirnya.

Semakin Jonatan menunjukan sisi panik dan cemas, suara tangis Rubi justru semakin meninggi. Ia terseduh-seduh dengan tubuh bergetar. Sakitnya sungguh tak terkira. Jonatan mengkhawatirkannya dan memberi perhatian penuh. Tetapi, ujung-ujungnya orang yang memberi kedua hal itu yang paling melukainya.

Beberapa menit kemudian tangisan Rubi mereda. Dengan perlahan ia memisahkan tubuh dari Jonatan. Mata keduanya bertemu dan menatap lama pada satu sama lain. Sesaat Rubi merasakan sapuan lembut jari-jemari tangan Jonatan pada pipinya. Kehangatan yang ia dapati dari Jonatan semuanya semu.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang