“Rin kapan kamu mau kita pacaran?” Tanya Oline pelan“Erine… Ririn.”
“Backstreet juga gak apa-apa, cukup kita berdua yang tahu.”
“Aku siap menemui kamu secara diam-diam dimanapun dan aku jamin tanpa ketahuan.”
“Oline bisa diem gak!! Jangan berisik.” Erine masih menatap was-was ke arah jalan setapak. Lagian kenapa pembina peka banget sih. Lama banget berdiri disitu pake senter sana senter sini. Erine sudah mulai gedek mendengarkan ocehan Oline yang semakin ngelantur menurutnya.
“Lagian aku nanya gak dijawab.”
Erine memutar bola matanya malas. Bocah ini benar-benar menguji kedamaian hidupnya.
“Erine… Ririn… Sayang..”
Erine mengepalkan tangannya kuat. Jangan emosi. Jangan emosi. Tahan. Tahan. Bisiknya pada diri sendiri.
“Erine… Sayangnya Oline.”
“Stttt!! Bukan urusanmu aku mau pacaran kapan!”
“Eh… Berarti kamu ada pikiran buat pacaran.” Bibir Oline melengkung ke atas.
"Bukan urusan kamu!"
“Urusan kamu ya jelas jadi urusanku dong. Kan aku calon kamu. Kalau kamu sudah siap buat pacaran kasih tau nya.”
Erine menulikan telinganya. Berusaha menganggap suara-suara itu hanya bisikan syaiton.
Meski tak dipedulikan Erine, Oline pantang menyerah “Erine… Ada yang harus kamu ingat. Satu-satunya orang yang boleh jadi pacar kamu itu cuma aku. Cuma Oline. Kalau ada yang sampai berani deket-deketin kamu, lihat saja. Aku hajar dia sampe mampus."
Erine tak menggubris. Bodo amatlah. Terserah.
.
.
.Akhirnya… Erine bernapas lega saat cahaya senter itu menghilang bersamaan dengan suara langkah yang semakin tak terdengar.
“Astagfirullah,” pekiknya kaget menjauhkan tubuhnya dari Oline. Erine berkacak pinggang memandang Oline nyalang. “Kamu apa-apaan sih!! Berani-beraninya!! Kurang emang luka kamu? Mau ditendang lagi” Marah Erine
Oline mendesah bersandar kedinding dengan malas. “Bisa gak sih sekali aja kamu itu gak usah galak-galak?” Oline bersungut-sungut. Kenapa sih dia harus digalakkin terus. Sekali-kali di sayang kek. Kan enak juga
“Ya lagian kamunya yang minta digalakkin.” Erine menatap Oline tajam.
“Kan kamu juga yang narik aku kesini. Kamu juga yang nempatin aku di pojok sini dengan kamu di depan aku.” Oline tak terima disalahkan. Dia hanya sekedar menikmati momen kok. Bukan pencetus ide.
“Ya tapi itu terpaksa. Coba kalau kamu gak muncul sembarangan di sekitar aku. Gak susah payah sembunyi kayak gini kan!” Erine berkacak pinggang, menatap nyalang dengan mata sipitnya.
“Ya aku kangen gimana dong,”
Erine menghembuskan nafas kasar. Gak akan ada habisnya berdebat dengan makhluk satu ini. “Gak usah nempel-nempel bisa kan tapinya!”
“Nempelin kepala doang yang ampun… Tau gitu aku peluk sekalian.” Dumel Oline pelan.
“Apa??” Erine maju satu langkah matanya menatap tajam
Oline meneguk ludahnya kasar. Alamak, bulu kuduknya berdiri.
“Ngomong apa tadi?!” Tanya Erine galak.
Oline diam, tubuhnya berdiri tegak. Jantungnya berdegup kencang. Jangan sampai dia dibantai Erine malam ini. Ditempat sepi nan gelap seperti ini pula. Kalau dirinya dikubur diam-diam juga tidak ada yang bakalan tau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia! Adalah Ujian ||Orine|| SELESAI||
FanfictionTidak membuat masalah, bukan berarti terhindar dari masalah. Masalah lebih sering datang saat-saat... Saat-saat siempu hidup lagi pengen santai. Erine memiliki jalan hidup yang lurus meski tak semulus aspal, tapi tidak terjal. Sayangnya jalan lurusn...