|42|| Sejatinya Tidak Ada Pembenaran Untuk Sebuah Kesalahan

301 52 0
                                    

Langit malam sudah menyapa bumi sekitar lima jam yang lalu. Suasananya tenang, namun mendebarkan. Erine berdiri dengan was-was di balkon kamarnya. Tiga puluh menit yang lalu Oline mengirimkan pesan dan mengatakan bahwa dia akan datang lagi.

Yups. Ini adalah malam ketiga mereka bertemu secara diam-diam. Malam ulang tahun Erine bukanlah satu-satunya malam yang membuat Oline berani nekat manjat tembok pembatas rumah orang. Nyatanya malam itu menjadi malam pembuka kenekatan nya untuk hari-hari berikutnya.

Masih ditempat yang sama namun dengan nuansa yang berbeda. Rasa nyaman itu benar-benar membuat mereka terlena. Pertemuan itu nagih. Ngobrol berdua dalam kedamaian itu menyenangkan. Mungkin obrolannya bukan obrolan penting. Hanya obrolan ngalor ngidul tanpa arti pasti.

Erine jelas sadar bahwa apa yang dilakukannya salah tapi dia tidak ingin untuk mengakhiri. Dia juga tidak berniat melarang Oline untuk datang. Bahkan saat matahari masih bersinar di singgah sananya dia berharap petang untuk segera menyapa.

Bohong jika dia tidak takut. Dia sangat  takut akan ketahuan tapi tawaran lain dari sisi yang berbeda membuat dia membiarkan rasa takut mengambang bebas untuk sesaat. Biarkan diri mudanya menikmati rasa. Menikmati suasana saat berdua.

Mungkin ini akan menjadi kenakalan remaja yang senantiasa terus berlanjut. Hidup taat aturan memang baik, tapi tawaran indahnya romansa membuatnya menjadi berani melanggar larangan pasti yang selama ini ia kumandangkan.

Terlebih tidak ada hal aneh-aneh dan berlebih yang mereka lakukan selain kekhilafan singkat saat malam dirinya ulang tahun itu saja. Malam-malam yang lain mereka hanya duduk berdua saling bersandar sambil bercerita, tidak lebih.

Meskipun hati kecilnya setiap kali mencicit tanpa henti,  bukankah tidak berlebih yang dianggap ringan itu juga sudah sangat salah? Namun ego masih menjadi pemenangnya.

Bolehkah dia berharap bahwa waktu dan keadaan selalu memihaknya?

Bolehkan dia menikmati untuk sementara ini?

Salahkan jika dirinya ingin tetap egois?

.

.

.

"Tumben lama?"

"Udah kangen ketemu aku ya?" Oline nyengir seraya membenarkan duduknya. Ia membuka ransel dan mengeluarkan banyak beberapa makanan yang sudah dibelinya.

Erine ikut duduk disebelah Oline. Tidak membantah namun juga tidak membenarkan. "Aku khawatir kamu kenapa-kenapa di jalan. Apalagi waktunya tengah malam gini."

"Tenang. Dunia malam Jakarta dulunya duniaku." Oline membusungkan dada dengan bangga.

Erine berdecit kemudian menggeleng pelan. "Beda memang yang anak dunia malam."

"Itu dulu sekarang udah jadi anak baik-baik."

"Anak baik-baik gak mungkin manjat tembok rumah orang di tengah malam loh,"

"Nah itu beda. Ini manjat tembok karena lagi ditungguin sama cewek cantik." Oline menimpali dengan senyuman percaya diri.

Erine mendesah namun lagi-lagi tidak membantah. Ucapan itu benar. Kenyataannya dia memang menunggu untuk pertemuan di tengah malam ini.

Salah sih, tapi gimana. . . Hatinya gamang.

Oline menyusupkan tangannya ke tangan Erine. Anak ini akhir-akhir ini memang agak berani skinship apalagi saat respon Erine oke-oke aja.

Tapi tenang, kulitnya tidak bersentuhan dengan kulit Erine, mereka sama-sama memakai baju lengan panjang. Jadi hanya sebatas bergandengan dengan Erine yang bersandar nyaman. Alibi Oline sih itu, aslinya sih dia sadar kalau itu salah.

Dia! Adalah Ujian  ||Orine|| SELESAI||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang