|8| Perjalanan

393 63 0
                                    

Pukul 3.30 sore mobil warna hitam itu meluncur pelan menjauhi gerbang utama Bisallam. Erine dengan ogah-ogahan ikut serta didalamnya. Niat ikhlasnya masih terhalang dendam.

Gadis itu sengaja menyibukkkan diri dengan membaca. Tapi tidak hanya Erine semua penghuni mobil memilih diam dengan kesibukannya masing-masing.

Dari mulai pemandangan hijau hingga gedung-gedung bertingkat mereka lalui. Masih tidak ada yang bersuara. Oline sang korban duduk diam di kursi penumpang sebelah kemudi dengan mata terpejam. Ia tak tidur. Hanya itu cara yang bisa ia lakukan untuk menahan sakit. ia tak ingin keadaan lemahnya semakin nampak.

Jujur hingga kini Oline masih tak menyangka, otak yang jarang dipakai pun masih bingung memproses bagaimana bisa pukulan seorang wanita yang terlihat anggun dengan wajah bocil polos nan menggemaskan membuat siapa saja yang memandang jatuh hati itu bisa berdampak sesakit ini.

Awalnya Oline tak ingin mengeluh. Sebelumnya pun ia sudah berbohong dengan apa yang menimpanya. Tak ada yang tau tentang insiden penyebab pingsannya sore itu. Jelas kecuali cewek bar-bar yang sekarang satu mobil dengannya. Tidak mungkin ia mengaku bahwa ia pingsan karena cewek. Bisa jatuh dan runtuh harga diri premannya.

Pagi tadi Oline merasakan sesak dan sakit dibagian dadanya. Sebenarnya dari beberapa hari yang lalu rasa sakit itu tak kunjung hilang. Hanya saja selama ini Oline beranggapan bahwa rasa sakitnya akan hilang dengan berjalannya waktu. Namun dugaannya salah, pagi ini rasa sakit didada dan bagian ulu hati menjadi tak tertahan.

Akhirnya Oline meminta diperiksa kembali oleh bagian medis yayasan. Tapi karena tak menemukan keanehan yang berarti dengan alat yang ada akhirnya medis menyarankan Oline untuk di rontgen. Karena rasa sakit yang tak kunjung berhenti ini akhirnya Oline mengikuti saran itu. Dan disinilah ia sekarang berada.

Satu hal yang tak ia sangka. Dari banyaknya penghuni yayasan mengapa harus cewek bar-bar ini yang ikut serta menemaninya ke rumah sakit. Membuat harga dirinya semakin jatuh. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bukan cowok lemah luruh seketika. Rasa sakitnya tak bisa diajak kompromi. Mau tak mau Oline memilih diam.

"Astagfirullah..."

Ketiganya menoleh saat Aa Sello selaku pengemudi menepikan mobil tiba-tiba. Tanpa komando ketiganya mengikuti arah pandang Sello.

Mobil baru saja memasuki jalan lintas pinggir kota. Jalan sepi tapi masih ada beberapa rumah penduduknya. Jalan satu-satunya untuk menuju ke provinsi.

Sello langsung berkeringat dingin ketika melihat suasana di depan bukanlah suasana yang kondusif. Begitupun dengan Cintya. Petugas kesehatan yayasan itu juga mulai keringat dingin. Ekspresi kecemasan mulai terlihat dari keduanya.

Ada sebuah mobil taksi yang dihadang sekumpulan orang atau lebihnya bisa disebut preman. Lima, enam, tujuh, delapan. Ada delapan orang.

Erine masih diam mengamati. Tak lama gadis itu mengerutkan kening, memusatkan pandangan ke keadaan yang mulai gelap karena mendung dan hari yang juga sudah menjelang magrib. Kening Erine semakin berkerut berlipat. Matanya menangkap barang-barang yang agak asing untuknya. Ada gir, rantai, obeng, kunci inggris dan tang di tangan-tangan delapan orang itu.

"Orang bengkel kali ya?" Cuit hati Erine enteng, ada kalanya memang otak pintar Erine beralih fuungsi.

"Tapi kalau dilihat-lihat dari gelagatnya mereka kayak sedang malak."

Saat belum sepenuhnya sadar atas hipotesis-hipotesis dalam kepalanya, sekumpulan orang itu mendekati mobil yang Erine tumpangi setelah membiarkan taksi yang awalnya mereka stop berlalu pergi dengan menurunkan semua barang bawaan mereka.

Kini Erine sadar dari barang-barang yang mereka bawa bisa membuat kondisinya dalam bahaya. Satu hal yang Erine catat. Mereka bukan orang bengkel. Akibat problematika yang dihadapi sebelumnya, otak Erine sepertinya agak macet. Alias lola

Dia! Adalah Ujian  ||Orine|| SELESAI||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang