19

3.1K 328 19
                                    

Hari ini hujan.

Tak terlalu deras namun cukup membuat suhu udara sedikit menurun. Menciptakan hawa dingin yang mampu menghipnotis orang-orang enggan melepaskan selimut hangatnya di pagi hari akhir pekan ini.

Mulanya Jeno berpikir sama, enggan lepas memandangi sosok cantik disampingnya yang masih betah memejamkan mata. Tangannya juga masih betah beri belai sehalus mungkin, belum lagi belah bibir yang nampak tak henti melengkung apik memandangi kekasih hatinya. Jeno akui ia sanggup menghabiskan waktu selama apapun jika itu berhubungan dengan Renjun.

Cinta bisa membuat seorang bertekuk lutut. Ujaran itu ada benarnya, Jeno amat setuju. Dirinya salah satu contoh. Yang awal menganggap sebuah jalinan cinta hanya lah omong kosong merepotkan.

Maka ketika ia menjumpai sosok Renjun, Jeno segera merubah pemikirannya, dan menerima karma dari ucapannya sendiri. Jeno tak sedikit pun kesal ataupun keberatan, sebab karmanya semanis ini.

Sorot tajam itu melirik ke arah jam yang terpasang di dinding guna mengetahui sudah selang berapa lama sejak ia terbangun dan sibuk memandangi istrinya. Jeno mendesah kala mengetahui jika jam menunjukkan pukul sepuluh. Hujan diluar sana membuat suasana nampak seperti pukul enam pagi.

"Renjun melewatkan sarapan paginya." Desah Jeno pelan, tatapnya berubah kelabu. Sedikit menyalahkan birahi yang menguasainya kemarin sehingga dampak yang terjadi adalah Renjun kelelahan total melayaninya.

"Kasihan kalau dibangunkan sekarang. Tapi perutnya perlu diisi, vitaminnya juga harus diminum."

Begitulah Jeno, mau separah apapun keadaannya, ia akan tetap memprioritaskan Renjun lebih dari apapun.

Manik Jeno kemudian turun begitu juga dengan telapaknya yang kini mendarat halus dipermukaan perut Renjun.

"Bagaimana ini nak, papa tidak tega membangunkan mama." Suara Jeno memelas.

Tak lama kemudian Renjun nampak bergerak dalam tidurnya. Tubuhnya menggeliat disertai dahi yang mengkerut. Jeno sudah hampir bernapas lega kalau Renjun bangun, ia bahkan bersiap berpose setampan mungkin guna menyambut Renjun saat membuka mata.

Namun sayang Renjun hanya melenguh sesaat sebelum beringsut ke dada Jeno mencari kehangatan tanpa membuka matanya sedikit pun. Sedang Jeno melongo dengan mata yang mengerjab beberapa kali. Pada akhirnya Jeno pun hanya bisa terkekeh, dan kembali menatapi Renjun.




"Jeno.. sayang.. yuk bangun yuk.."

Samar samar Jeno mendengar suara Renjun masuk runggunya. Badannya terasa diguncang pelan juga, maka setelah mata beradaptasi dengan cahaya yang silau, Jeno terbangun.

Senyum indah milik istrinya menjadi hal yang pertama kali ia lihat, dan Jeno langsung membalas dengan lengkungan serupa.

"Pagi sayang." Ucap Jeno parau. Kedua lengan otomatis merentang, beri kode pada istrinya agar memeluknya. Sayangnya yang didapat Jeno malah sentilan halus di dahinya.

"Pagi apanya, ini sudah siang tuan Lewis. Lebih tepatnya jam 12 siang." Kalimatnya diselipi kekehan, seiring jemari mungilnya turun guna menyentil hidung bangir sang suami.

Lagi, Jeno mengerjab. Otaknya sedang memproses seluruh keadaan. Mata sipitnya ia lebarkan agar memperjelas penglihatan kemudian menilik penampilan sang istri dari atas hingga bawah berulang kali.

Satu kata, sempurna. Pria dominan itu lantas menarik sudut bibir. Renjun istrinya cantik sekali dengan penampilan yang lebih segar.

Tunggu? Segar?

Sudut bibir yang tadi naik segera turun, ganti dengan matanya yang nampak melotot. Mendadak Jeno langsung bangkit tanpa ingat jika hal itu berdampak pada lukanya yang otomatis terasa ngilu.

Mr. Pilot || NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang