16

2.3K 321 28
                                    

Semenjak puing puing pesawat Air Queen One berhasil ditemukan, tim penyelamat dan para anggota militer yang membantu melakukan fokus pencarian di area sekitar situ. Berharap bukan hanya bagian bagian pesawat yang di temukan, berharap adanya penumpang yang dapat di selamatkan. Meski harapan kian redup sebab sudah tiga hari sejak pesawat hilang kontak. Apa salahnya bukan percaya pada setitik doa.

Beruntung setelah badai ganas yang menerjang, mentari kembali muncul dengan hangatnya, juga langit yang begitu cerahnya sehingga pencarian bisa dilakukan secara maksimal. Puing puing yang berhasil diangkat segera di bawa ke tempat evakuasi terdekat.

Seluruh aktivitas itu pun tak luput dari mata Renjun yang sedari tadi mengawasi dari dalam mobil. Meski sebelah tangan masih tertancap jarum infus Renjun ingin memastikan sendiri evakuasi puing pesawat suaminya. Jujur ini bukan perkara mudah bagi Renjun, setiap melihat puing tersebut Renjun mengingat kilasan dahulu tentang Jeno yang selalu membanggakan tunggangan bajanya.

"Renjun.. Apa sudah cukup?"

"Sebentar lagi pa." Balas Renjun tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun.

Suasana dalam mobil itu hening, meski terdapat empat penumpang di sana. Mereka; Chanyeol, Wendy serta Tiffany memilih bungkam. Bagi mereka melihat sorot Renjun saja sudah sangat melukai hati, apalagi jika mendengar isi hati terdalamnya. Tiffany tak henti beri elus lembut di punggung sang menantu, walau tak berefek apapun bahkan tidak dapat Renjun rasakan kehangatannya. Karena baginya sekarang dunianya seolah dingin dan runtuh.

Renjun masih berusaha enggan percaya. Namun kenyataan pahit bertubi tubi masuk penuhi otak. Dan saat puing terakhir diangkat Renjun sontak melepas infus yang menancap lalu segera berlari keluar. Abai akan darah yang mengucur dari punggung tangan, Abai akan seruan yang memanggil namanya berulang, juga abai pada kondisi badan yang masih lah lemah untuk digerakkan.

Sekuat tenaga Renjun berdiri di hadapan kursi kemudi pilot yang barusan diangkat. Kursi kebanggaan suaminya, kursi yang di mana suaminya duduk. Kini kursi tersebut nampak hancur dengan bekas lahap api di mana mana.

Mata Renjun memanas seiring langkah kian mendekat. Tangannya gemetar kala menyentuh kursi itu. Entah ilusi atau apa, Renjun seakan bisa mencium aroma wewangian yang biasa Jeno pakai. Maka, ketika wajah sang suami muncul dengan senyum lebar dalam benak. Saat itu Renjun sadar jika harapan yang ia genggam perlahan mengendur. Terlalu banyak kenyataan yang datang sehingga ia mulai meragu.

***

"Setelah infus ini habis kau bisa pulang Ren."

Tentu ucapan Haechan diacuhkan. Dan sekali lagi Haechan tentu lah mengerti. Ketika di mana Renjun ingin melihat sendiri puing pesawat yang ditemukan, Haechan punya firasat jika nanti Renjun kembali seperti ini. Diam, melamun dengan sorot kosong.

Haechan sudah mendengar kisah yang terjadi dari Tiffany, bahkan ia turut melihat puing puing pesawat melalui foto yang dikirim ke ponselnya. Jantungnya berdenyut sakit saat melihat kursi pilot Jeno yang hampir hancur. Jika milik Jeno saja seperti ini hancurnya, bagaimana dengan milik Jaemin kekasihnya? Haechan tak bisa membayangkan apa saja yang terjadi pada hari itu. Apakah dugaan itu benar adanya terjadi ledakan sebelum menghantam lautan? Entahlah Haechan enggan memikirkan lebih jauh. Karena itu hal yang sangat menyakitkan.

"Baik, aku mengerti. Terima kasih."

Suara Renjun membuyarkan lamunan Haechan.

"Ren—"

"Haechan maaf, tapi bisakah tinggalkan aku sendiri?" Renjun ulas senyum tipis ketika melihat raut Dokter itu. "Tenang saja, aku tidak akan melakukan hal apapun yang berbahaya. Hanya saja... Aku ingin sendiri."

Mr. Pilot || NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang