CIHYL | 7.0

1.3K 88 2
                                    

Di ruang kesehatan, Kei terlihat melamun. Gadis itu menatap pergelangan kaki kanannya yang kini terlilit perban elastis, ketakutan terbesarnya kini adalah ia takkan bisa mengikuti kompetisi yang sebentar lagi akan di mulai.

Ia menggigit bibirnya, sesuatu yang lain kini menghantui pikirannya. Tentang bagaimana si gadis jangkung menggendongnya dan dengan suka rela merawat kakinya karena tak ada petugas kesehatan disana. 

Cklek!

Kei mendongak dan tersenyum melihat Eve yang berjalan masuk ke arahnya. Eve meringis melihat pergelangan kaki Kei yang terlilit perban. Ia menatap wajah Kei kemudian mencubit gemas pipi sang gadis.

"A-duh.. kok di cubit?" Kei mengusap pipinya dengan wajah memelas,

"Bandel sih!" 

"Apanya yang bandel?" 

"Hm? Apanya ya?" Eve terlihat berpikir sejenak.

"Yeee.. ngarang!" 

"Hehe.. sakit banget ya?" 

Kei mengangguk dengan wajah sendu, "Aku gak bisa ikutan turnamen kak hiks.."

"Gapapa, jangan di paksain. Yang penting sembuh aja dulu"

"Tapi aku pengen banget ikutan"

"Kamu masih bisa ikutan kok"

"Serius kak? caranya?" Tanya Kei berbinar,

Eve mengangguk, "Ikutan nonton hehe.." 

"Ishh.. nyebelin banget sih!" 

"Ciee..ciee marah nih?"  Goda Eve seraya mencolek pipi sang gadis, Kei menepisnya.

"Diem!"

"Adek bayi marah hmm?"

"Ihh.. diem kak Eve!" 

"Ekhemm.."  Keduanya menoleh kearah pintu yang terbuka.

"Rana.."   Gumam Eve,

"Sorry ganggu!" Rana memberikan tatapan datar pada Kei dan Eve.

Ia menunjukkan sebuah botol kecil di tangannya, menaruhnya di atas meja yang berada tak jauh dari pintu.

"2x sehari" 

Setelahnya ia pergi darisana, meninggalkan Kei dan Eve yang kini menatap sebuah botol kecil di atas meja. Eve berjalan kearah meja, mengambil botol tersebut dan kembali kearah ranjang Kei.

"Itu apa kak?" 

"Ini obat buat engkle kamu" 

"Ohh.." 

Eve menoleh pada Kei, "Siapa yang ngobatin tadi?"

"Kak Rana" Bisik Kei seraya mengalihkan pandangan dari Eve. Eve tersenyum,

"Rana baik kan?"  Gadis itu terdiam, ingin sekali mengangguk mengiyakan namun gengsinya terlalu tinggi. Kei mendengus dan menutup wajahnya dengan selimut.










Di tempat lain, Rana tengah membenahi barang-barangnya. Maksudnya, seragam dan sepatu sekolah, ia memasukannya ke dalam ransel kemudian beranjak pergi dari ruang ganti tersebut.

Namun baru beberapa langkah berjalan, gadis itu menghentikan kedua kakinya, menoleh kala seseorang di belakang sana memanggil namanya.

"Kenapa kak?" Tanyanya heran melihat sang pelatih berjalan kearahnya.

"Lo mau balik?" Rana mengangguk cepat membuat Rey tersenyum.

"Bisa ngobrol bentar?"

"Emm.. oke" Gadis itu mengikuti langkah Rey yang membawanya ke sebuah tempat yang sedikit sepi, tak jauh dari pintu keluar aula olahraga.

"Ada apa kak? serius banget keknya.." Rey menoleh kemudian menatap penuh pada Rana.

"Lo sama Kei ada masalah apa?"

"Hm?" Rana terlihat bingung. 

"Bukan maksud gue ikut campur, gue cuma gak mau urusan kalian sampe ke bawa ke lapangan kek tadi.."

"Gue rasa gak ngaruh deh kak, toh latian tetep jalan walaupun ada beberapa yang bermasalah satu sama lain" Jelas Rana masuk akal, Rey terdiam membenarkan. Ia kini terduduk di sebelah Rana.

"Lo tau kan kalo Kei anak yang super manja. Gue takut kalo dia ngadu yang engga-engga ke keluarganya dan kalo itu terjadi, lo juga tau kan dampaknya apa?" 

Rana mengangguk,"Mereka gak akan mau sponsorin kita lagi kan?" 

"Heem, jadi..?"  Rey menatap lekat wajah Rana, berharap jawaban si gadis sesuai dengan apa yang ia inginkan.

"Lo tenang aja kak, gue gak akan biarin hal buruk itu terjadi" 

"Dengan cara?"

"Belum kepikiran sih, tapi gue yakin Kei gak akan ngomong yang engga-engga sama ortunya" 

"Hah.. Lo emang paling bisa bikin gue tenang, Rana!" Rana terkekeh mendengar ucapan Rey yang sebenarnya menyindir.

"Take a breath, kak!"  Gadis itu bangkit dan berjalan meninggalkan Rey yang masih menatapnya. 

Rana berjalan menyusuri trotoar menuju rumahnya. Lelah? jelas, Rana juga manusia biasa yang bisa merasakan apapun yang orang lain rasakan. Gadis itu mengubur dalam-dalam keinginannya untuk pulang menggunakan bus atau taksi karena keuangannya yang menipis.

Setiap harinya, Rana harus semakin berhemat. Tabungannya semakin menipis, meskipun sebenarnya gadis itu memiliki pekerjaan paruh waktu di hari sabtu dan minggu, namun tetap saja tak bisa mencukupi hidupnya selama satu bulan penuh. Belum lagi dengan pengeluaran lainnya, itulah mengapa gadis itu selalu berjalan kaki setiap pergi dan pulang dari mana pun.

Cklek!

"Hah.. " 

Setelah berjalan selama 40 menit, akhirnya ia sampai di rumahnya. Gadis itu melemparkan ransel ke atas sofa kemudian merebahkan tubuh lelahnya juga di sana. 
Rana menutup kedua matanya, masih berusaha mengatur nafas dan tanpa sadar tertidur.






















Can I HOOP your Love? (GxG) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang