12. Lupta

203 22 6
                                    

Maaf, tangan author gatal pengen publish lagi. Padahal udah bilang mau hiatus. Nggak tahan! Pengen cepat-cepat tamatin ni cerita terus bikin cerita baru lagi.

Oke, serius. Ini terakhir up sebelum Hiatus. Beneran ✌️
Selamat membaca...

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _

Saat ratri maka surya akan lupta. Dia tidak lenyap, hanya tak terlihat. Jadi kita hanya perlu menunggu esok hari untuk kembali melihat prakasah.
-Pena Sansekerta-

✧-✧-✧-✧-✧-✧-✧

Ratri: malam.
Surya: matahari.
Lupta: hilang.
Prakasah: sinarnya.

Langit sudah gelap.

Gemma dan Satya sudah kembali dari kantor polisi. Namun Urfansa masih belum kembali juga. Gemma sudah menghubunginya, katanya dia ada urusan mendadak dengan temannya dan akan pulang setelah malam.

Tok tok tok.

"Alin, makan malam." Ucap Gemma di depan pintu kamar Alindra.

Tak ada balasan membuat Gemma menghela napas pelan. Dia sudah membawa sepiring makanan sebagai persiapan.

"Gem taruh makanannya di depan pintu ya. Awas kalo nggak makan, besok nggak usah sarapan juga."

Tak lama setelah Gemma pergi, pintu kamar itu terbuka pelan. Kepala Alindra keluar mengecek keadaan, menatap sepiring nasi di bawahnya lalu mengambilnya dan kembali menutup pintu kamar.

Dia hanya merenung. Memikirkan apa tindakannya sudah benar atau tidak. Dia hanya mencari jalan terbaik untuk saudaranya. Tentu dirinya hanya manusia biasa yang ditakdirkan menjadi seorang anak pertama dan sekarang hidup tanpa orang tua.

Apa itu keinginannya? Tidak. Dia tak pernah meminta menjadi anak pertama. Dia tak pernah bilang sanggup untuk menanggung semua kewajiban di posisi itu.

Tapi dia tetap menjalani hidup sebagai sulung sebaik mungkin. Hei, dia ini adalah anak pertama meski memiliki 2 kembaran lainnya. Tapi memang dialah anak pertama. Dia melihat bagaimana adik-adiknya tumbuh bersamanya.

Tak mungkin dia tak khawatir dengan Ashe. Pikiran negatif tentu mengganggunya. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan adik keempatnya itu? Dan bisa saja Ashe...

Buk.

"Hah... dia pasti baik-baik aja. Enggak, dia harus baik-baik aja." Ucapnya memukul pelan meja di samping ranjang.

Ujung matanya teralihkan menatap bingkai berisi dua orang yang begitu dia rindukan. Ayah dan bunda yang sudah lama pergi. Sudah berapa tahun terlewati sejak kejadian itu.

Jika saja mereka berdua masih ada, ingin sekali dirinya bertanya apa yang dia lakukan ini sudah benar?

Alindra menggeleng pelan, kembali meraih sepiring nasi di atas meja. Lebih baik menenangkan pikirannya dulu sambil menyantap makan malam, atau besok Gemma tak akan memberinya jatah sarapan. Lagian dia tak ingin kena amuk Gemma juga.

Tangannya mengambil satu sendok, mulai memakan nasi dengan lauk dan sayur. Enak. Makanan buatan Gemma memang terbaik. Kalau soal memasak memang Gemma ahlinya. Ah, selain Gemma ada juga Urfansa yang jago membuat kue. Tapi Gemma tetap yang terbaik.

Dua kembarannya itu memang jago memasak. Bisa diandalkan terutama Gemma.

Lagi-lagi Gemma.

Tapi Urfansa juga... hebat. Ya, dia kembarannya yang selalu bisa membuat yang lain terhibur. Itu keahlian yang tidak dimiliki Alindra. Meski kadang menyebalkan, Urfansa tetap saudaranya.

Elpízo [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang