24. Dvi Raga (1)

149 19 14
                                    

Dalam kesunyian akasa dan kala, dvi raga terpisah oleh dimensi. Namun dalam setiap hembusan napas, jiwa mereka bersatu dalam keheningan, melukis pola yang tak terlihat namun saling terikat.
-Pena Sansekerta-

✧-✧-✧-✧-✧-✧-✧

Akasa: ruang
Kala: waktu
Dvi raga: dua raga

Mereka sudah bergerak selama sejam lebih. Tepatnya benda yang mereka kendarai yang bergerak. Aslinya mereka hanya duduk diam, memikirkan banyak hal, membayangkan kemungkinan yang terjadi ke depannya.

Seperti apa tempat yang mereka datangi? Berapa orang yang harus mereka hadapi? Berapa lama mereka harus beraksi?

Apa rencana mereka sudah tepat? Bagaimana dengan rencana cadangan? Satya pasti sudah memikirkannya lebih dulu.

Apa yang terjadi pada Ashe selama ini? Apa dia terluka? Ah, itu sudah pasti. Tak perlu dipertanyakan lagi. Yang harus dipertanyakan sekarang itu...

Apa dia masih hidup?

"Barazel."

Yang dipanggil tak menoleh sedikitpun. Barazel tahu siapa yang memanggilnya. Si Sulung, kakak pertama Wiradja.

Alindra menghela napas kecil. Meski tatapannya terus tertuju pada jalan, dia tahu respon Barazel seperti apa. Wajah ketus yang menahan emosi, ekspresi yang selalu Barazel tunjukkan tiap kali bertemu dengan dirinya.

Sebegitu marahnya, huh?

"Ashe pasti selamat."

Hening terjadi begitu lama. Gemma menelan ludah merasakan suasana tak nyaman ini. Dia ingin merilekskan suasana tapi entah kenapa kali ini tak ingin dia lakukan. Rasanya tak tepat.

Satya sibuk dengan pikirannya sendiri sejak tadi. Tak sempat lagi memikirkan keadaan dalam mobil yang dia tempati bersama saudaranya.

Namun setelah keheningan panjang itu. Sahutan singkat yang masih terdengar ketus keluar dari mulut Barazel.

"Ya. Udah pasti."

Keheningan kembali berlanjut. Dan hanya Gemma yang merasa kurang nyaman selama perjalanan setengah jam ke depannya.

Mobil memasuki wilayah asing. Kiri kanan hanya pepohonan yang terlihat. Mulai dari sini mereka hanya perlu berjalan lurus untuk sampai tujuan.

Hanya hutan lebat yang menjadi pemandangan. Kendaraan lain pun tak ada selain mereka. Sepertinya wilayah ini memang jarang ada penghuninya. Mungkin ada, tapi pemilik tempat itu tak pernah menyentuh tanahnya.

Wilayah yang mereka masuki saat ini adalah tanah milik seseorang. Tak perlu disebutkan siapa, sebagian dari mereka sudah bisa menebaknya. Pemilik tanah ini, pria yang menculik saudara mereka.

Padahal mereka belum pernah bertemu langsung dengan pria itu. Namun kebencian besar padanya sudah tertanam dalam benak mereka.

Atmosfer seketika berubah saat mereka akan memasuki wilayah baru. Sebuah perumahan mewah terbengkalai. Dari depan gerbang saja mereka sudah disambut oleh 15 pria bersenjata. Salah satunya sudah merentangkan tangan ke depan untuk menahan mobil mereka, menyuruh berhenti 10 meter dari gerbang.

"Kami sudah sampai." Ucap Ferio lewat sebuah alat komunikasi kecil.

Di rumah Wiradja, tepatnya di kamar Satya saat ini, Satria menerima laporan dari kakak tertuanya. Membalas dengan berdehem singkat. Zeora berdiri tepat di belakang kursi yang dia duduki. Ikut mengawasi pergerakan mereka.

"Kalian semua turun dari mobil. Lawan, sisakan beberapa untuk diintrogasi."

Semua serentak keluar dari mobil setelah mendengar perintah dari Satria. Semua bersiap dengan senjata masing-masing. Pisau lipat, pistol, dan senjata lainnya sesuai keahlian masing-masing.

Elpízo [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang