23. Rahasya (2)

160 21 12
                                    

Mereka yang mengenal waktu dengan baik tahu bagaimana mengerikannya sebuah keterlambatan kecil. Menyepelekan satu detik, merasakan penyesalan yang besar, dan takut akan masa depan.
-Pena Sansekerta-

✧-✧-✧-✧-✧-✧-✧


Ruangan putih dengan bau khasnya kini menjadi pemandangan yang Aqela lihat sejak siuman.

Gadis itu duduk bersandar dengan bantal sebagai sandaran nyaman, menatap kosong jendela tempatnya dirawat untuk menghindari tatapan orang-orang yang berada di ruangannya.

Hanya ada Aksara dan Anara. Aksara yang berhasil menyelamatkan adiknya sebelum kembali ditangkap siang tadi. Dia berhasil membuat anak buah Bintama babak belur, segera menghubungi Anara untuk membawa Aqela ke rumah sakit.

Suatu keberuntungan saat itu, Aksara yang sedang bolos dari pekerjaannya mendapati tas dan handphone sang adik di tengah jalan. Dan beruntungnya juga dia berhasil menemukan pemiliknya.

Tak ada percakapan selama Aqela membuka matanya. Paling hanya Anara yang bertanya soal keadaan. Ada yang sakit? Pusing? Atau lainnya?

Dan jawaban dari Aqela hanyalah gelengan kepala pelan. Aksara juga tak banyak bicara atau bertingkah. Dia diam, menahan sesuatu. Ekspresi yang biasanya santai itu berubah dingin. Seakan bukan Aksara yang biasanya.

Setelah kesunyian yang cukup lama juga akhirnya lelaki itu pergi tanpa mengucap satu kata pun. Pamit saja tidak.

Aqela tak mempedulikannya. Dia masih setia menatap jendela.

"Baru kali ini aku liat dia marah kayak gitu." Anara bergumam.

Berharap mendapat respon dari satu orang lainnya di sana, namun hanya sunyi yang didapatkan.

"Maaf, kalau aku bisa jemput kamu lebih cepat." Anara menunduk dan tersenyum miris.

Kedua tangannya bertaut gelisah. Khawatir kalau gadis di hadapannya ini kecewa. Atau mungkin saja marah. Hampir saja nyawa adik sahabatnya ini melayang.

Jika Aksara terlambat beberapa menit mungkin saat ini Anara sudah melihat mayat Aqela.

Ting.

Dua orang dalam ruangan itu menoleh saat mendengar dering notifikasi dari handphone di atas meja. Aqela meraih handphonenya, keningnya mengerut saat melihat ada pesan masuk dari Satria.

Gue udah dapat lokasinya.

Raut heran itu berubah menjadi senyum tipis setelah membaca isi pesan. Waktunya tepat sekali.

Setelah ia memberi informasi tentang Bintama pada Wiradja, kini mereka akan menghadapi orang-orang Bintama juga.

Sayang sekali dirinya harus berada di rumah sakit sekarang. Tak bisa ikut dengan mereka.

"Kak."

Panggilan itu membuat seulas senyuman senang terpampang di wajah Anara. Padahal Aqela sama sekali tak mempermasalahkan kejadian siang tadi.

Toh, ini salahnya sendiri karena sudah tahu sedang diikuti dan malah nekat pergi sendirian.

"Kapan aku bisa pulang?"

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _

Ruang keluarga rumah Wiradja yang terbilang luas saat ini menjadi tempat berkumpul utama.

Ruangan itu hampir sesak karena di isi oleh 10 lelaki dari dua keluarga. 5 putra Wiradja dan 5 putra Pradipta.

Setelah Glanzer memberitahu Alindra tentang Satria yang berhasil melacak lokasi Ashe, dia langsung diminta untuk bertemu segera. Tak mempedulikan waktu yang sejam lagi menuju tengah malam.

Elpízo [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang