17. Anutapa

153 24 18
                                    

Bayangan kesalahpahaman antara mereka terus mengintai, menciptakan vrana yang perlahan mereka coba sembuhkan dalam keheningan yang penuh anutapa dan asa.
-Pena Sansekerta-

✧-✧-✧-✧-✧-✧-✧

Vrana: luka
Anutapa: penyesalan
Asa: harapan

"Buat beberapa hari kak Alindra nggak perlu ke kantor. Ada hal penting, anggap aja ini libur mendadak."

Itu pesan dari anak pemilik perusahaan tempat Alindra bekerja. Aqela mendatanginya saat menjemput Barazel dan Satya yang tak punya kelas khusus setelah pulang sekolah.

Lalu malamnya Alindra sungguh mendapat pesan dari Ganendra untuk tak bekerja di kantor selama 3 hari. Tak ada alasan jelas atas hari liburnya yang tiba-tiba itu. Jadilah dia tetap di rumah, sekalian menjaga Darren.

Adiknya demam tinggi setelah kejadian heboh hari itu. Makannya tak teratur, kadang melamun tiba-tiba atau bergumam sesuatu yang tak jelas. Darren tentu dalam pengawasan kakak-kakaknya.

Bisa saja dia barcode lagi jika tanpa pengawasan, kan?

Untungnya Alindra sedang libur saat dua sulung lainnya ada jadwal kuliah pagi hari ini. Setelah Gemma dan Urfansa meninggalkan rumah menuju kampus masing-masing, Alindra menuju kamar dua bungsu yang kini hanya ada Darren di dalamnya.

Begitu membuka pintu kamar, tatapan Alindra langsung tertuju pada semangkuk bubur hangat yang masih utuh tak tersentuh, lalu beralih menatap seseorang di balik selimut berwarna hijau tua yang tak bergerak sama sekali.

"Darren."

Seakan sengaja menulikan pendengarannya, Darren tak bergerak seinci pun. Bahkan dia tak peduli jika akan kekurangan napas karena terus berada dalam selimut.

Karena tak mendapat balasan, Alindra beranjak masuk ke dalam kamar dan duduk di pinggir ranjang adiknya. Tangannya menyibakkan selimut yang menutupi wajah pemilik kasur yang ternyata sudah membuka matanya yang merah.

Alindra tebak, adiknya menangis lagi semalaman.

"Makan, Lo nggak mau tambah sakit kan gara-gara nggak makan."

Tak ada jawaban. Darren masih diam membelakangi si Sulung, lebih memilih menatap tembok dari pada menatap wajah orang lain saat ini.

Helaan napas kecil keluar dari mulut Alindra, tangannya segera mengambil mangkuk di atas meja samping kasur lalu menarik pelan bahu Darren agar berbalik menatapnya.

"Ren, makan. Nggak masalah kalo dikit, asal perut Lo terisi."

Meski sang adik sudah tak lagi menatap tembok tetap saja dia tak menatap Alindra. Wajah lesu dan pucatnya nampak jelas. Suhu tubuhnya yang panas bahkan menembus selimut. Entah apa yang akan terjadi jika sakitnya tambah parah.

"Lo mau buang-buang makanan? Gemma udah capek-capek masak buat Lo sama yang lain."

Setelah beberapa saat keheningan barulah ada pergerakan dari Darren. Perlahan remaja itu bergerak untuk duduk bersandar. Dengan cekatan Alindra segera mengatur posisi bantal yang pas untuk sang adik lalu menyerahkan bubur hangatnya.

Meski nampak ogah-ogahan, Darren tetap berusaha memakan makanannya kali ini. Alindra masih tetap di sana untuk memastikan dia tak membuang makanan lagi. Tak ada pembicaraan berarti.

Alindra memilih duduk di dekat jendela samping ranjang Satya agar tak mengganggu waktu makan Darren. Sesekali jika bosan menatap langit atau jalan depan rumah, dia akan kembali menatap sang adik yang masih berusaha menghabiskan bubur.

Elpízo [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang