PROLOG

39 8 7
                                    

Lagu diputar tanpa henti. Sorak-sorai pengunjung menggema di setiap sudut ruangan. Beberapa dari mereka berbincang dan sibuk menikmati sajian yang dihidangkan. Bahkan, terdengar pula denting sendok beserta piring saling beradu di tengah keramaian. Membuat suasana jauh bahagia, daripada duduk di pojok sembari menatap keluar jendela kaca menyaksikan lalu lalang kendaraan—seorang lelaki yang lebih suka menyendiri, dan menyibukkan diri bercengkrama dengan buku—Galen Dzuhairi.

Tiba-tiba seorang pelayan bertandang membawa sepotong kue yang telah dihiasi se-demikian rupa cantiknya. Galen sengaja tidak memesan di luar, sebab ia telah berjanji kepada seseorang di tempat ini; sebuah Kafe Semesta menjadi saksi ketika mereka bertemu. Kamis, 11 Januari 2024 adalah hari di mana harusnya ia mengulang tanggal lahir. Akan tetapi, takdir berkata lain. Ia berpulang dalam insiden yang merenggut nyawa.

"Maaf, Kak. Kuenya kurang lilin, saya lupa beli. Atau, mau saya belikan di luar?" tanya Imah penuh rasa bersalah—pelayan dengan memakai kacamata.

"Gak perlu, cukup ini aja," jawab Galen seraya tersenyum.

Imah pamit dan meminta maaf untuk yang kedua kalinya. Sedangkan, Galen mengangguk. Barangkali, Imah terlalu takut apabila pemilik Kafe mengetahui hal tersebut. Meskipun begitu, Kafe Semesta adalah milik Ajis Nugraha—sahabatnya sedari kecil.

Galen mencoba memaksakan diri tersenyum ketika menatap sepotong kue di hadapannya. Ia berharap perempuan itu ada di sini, dan merayakan hari bahagia bersamanya. Galen sendiri lahir pada tanggal 10 Januari 2001.

Sementara itu, Ajis mempercepat langkah untuk menghampiri Galen. Terburu-buru hingga hampir saja menabrak pelayan dengan membawa baki. Sontak membuat ribuan mata menatap keduanya, sedangkan Galen menggelengkan kepala. Sebab, Ajis adalah lelaki dengan seribu kecerobohan di dunia.

"Kamu bisa kan jalan pelan-pelan? Kamu hampir nabrak saya!" Ajis geram, memarahi salah satu pelayan yang berkali-kali meminta maaf.

"M-Maaf, Pak. Bapak yang jalannya bur—"

"Udah, udah! Kamu balik bekerja aja, biar saya yang menampar bos kamu ini," potong Galen menampilkan ekspresi ramah, melerai keduanya. Sontak Ajis membelalakkan mata ketika mendengar penuturan sahabatnya.

Rasa kesal masih menyelimuti hati Ajis. Mendumel tanpa henti, hingga terdengar muak di telinga Galen. Kini, keduanya telah berada di satu meja yang sama.

"Mau sampai kapan menggerutu?" Galen menatap datar, seolah melempar tatapan tajam.

Ajis terdiam. Terkadang, ucapan Galen penuh penekanan mampu membungkam Ajis yang banyak bicara. Galen beralih mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu memotret dan menatap meja, agar terlihat menarik untuk di konsumsi publik. Galen ingin mengabadikan momen ini, meski tanpa kehadiran perempuan itu.

"Selamat ulang tahun, Galen. Semoga cepat dapat istri. Aamiin," ucap Ajis tersenyum, tak memedulikan tatapan tajam Galen.

Kini, giliran Galen yang mengucapkan selamat, menutup mata, dan membiarkan air mata mengalir. Sedangkan, Ajis menatap sahabatnya dengan pilu. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang sangat penting dalam hidup. Bahkan, Ajis sendiri juga ikut memeluk luka pengkhianatan.

Baik atau tidaknya perpisahan, ternyata tetap menimbulkan luka cukup dalam.

Galen membuka mata, dan menghapus air mata yang mengalir pada kedua pipi. Ia tak ingin terus menerus larut dalam kesedihan.

"Selamat ulang tahun, Nawala." Galen tersenyum, mengalihkan pandangan keluar jendela kaca. Menatap tanah yang tetiba saja diguyur hujan deras.

"Tadi mendung, ya?" gumam Ajis heran, ikut menatap ke arah luar.

Galen berdeham.

Tiba-tiba pintu Kafe terbuka membuat Ajis menoleh, dan menatap ke arah pengunjung yang baru saja masuk. Ajis terbelalak ketika matanya tak sengaja menangkap sosok perempuan dengan rambut yang sengaja dibiarkan tergerai. Sebab, terkena air hujan.

"G-Galen ..., it—"

Galen berdeham.

Ajis mulai menepuk meja tanpa mengalihkan pandangan dari sosok perempuan tadi. Semua pengunjung terusik karena Ajis menciptakan suasana gaduh. Sedangkan, Galen mengerutkan kening.

"N-Nawala, Len!" teriak Ajis terbata-bata, menunjuk ke arah perempuan itu. "buruan liat!" sambungnya geram.

Galen mencoba mengikuti arah telunjuk Ajis, sebab lelaki itu menyebut nama yang tak asing. Ketika menatap, degup jantung Galen terasa berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Lidahnya keluh. Bagaimana mungkin seseorang yang telah tiada, kini berdiri dan tertawa di sana? Semesta seolah-olah ingin Galen berkenalan dengan perempuan itu untuk kedua kalinya.

"Nawala," ucap Galen pelan, berdiri dan mengulas senyum di bibir. 

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang