Bulukumba, 09 Januari 2024
Galen menelusuri jalanan setapak dengan sesekali menghirup aroma sebuket bunga tulip berwarna putih dalam genggaman. Hari ini ia memilih mengunjungi makam dengan sumringah, meski masih ada luka di dalam hati. Kini, Galen telah sampai lalu tersenyum ke arah nisan yang bertuliskan nama Nawala. Galen merasakan angin berembus lirih, menerbangkan anak-anak rambutnya.
"Hai, Naw. Aku bawa bunga tulip kesukaan kamu. Maaf ya baru bisa mampir, soalnya toko buku yang aku buka lagi rame." Galen meletakkan sebuket bunga itu di atas tumpukan tanah.
Semenjak kepergian Nawala di hari itu, Galen lebih banyak menyibukkan diri dengan melakukan hal-hal bermanfaat. Seperti; membuka toko buku dekat Kafe Semesta dan sesekali ikut membantu jika Ajis kewalahan dengan karyawan yang bandel. Kini, tepat tiga tahun kepergian Nawala, tetapi Galen belum juga ingin membuka hati. Meskipun, Ajis seringkali mengenalkan dirinya pada teman-teman Azani. Namun, lelaki itu tetap bersikeras. Katanya, buat apa membuang-buang waktu dengan berpacaran. Hal tersebut kerap menyindir Ajis, agar ia segera melamar kekasihnya.
"Naw, aku pake gelang dari kamu," ucap Galen menatap gelang itu, "Aku baru nemu, ternyata tercecer di atas lemari akibat ulah Ajis," sambungnya terkekeh, kini beralih mengusap batu nisan.
Galen berbicara seorang diri. Ia hanya mampu memandang batu nisan itu. Galen seringkali ingin memeluk raga yang terkubur di bawah sana, tetapi tak bisa. Sebab, alam mereka telah berbeda. Beberapa kali Nawala sempat mampir dalam tidur Galen, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum manis, lalu menghilang entah ke mana. Pernah sewaktu-waktu Galen tertidur di atas meja, ia bermimpi Nawala duduk di hadapannya dengan membaca buku yang sama. Ketika terbangun, ternyata lagi-lagi tersisa mimpi.
"Naw, sepertinya aku harus pamit. Ada yang harus aku kerjakan di toko buku–" Sebelum melanjutkan perkataannya, Galen menarik napas panjang. "Kalo ada waktu, aku akan ke sini lagi membawakan kamu bunga tulip yang banyak, meski lebih indah di sana." Lalu, menciumi batu nisan itu serta mengusapnya berkali-kali.
Galen gegas pergi dan berjalan tanpa perlu menoleh lagi. Di belakang sana ada Nawala, tetapi ia tak harus terus menerus berkutat pada masa lalu. Bagaimanapun Nawala selalu punya ruang tersendiri di hati Galen, hal itu tidak akan pernah tergantikan, meski suatu hari nanti Galen memiliki keluarga kecil. Ketika ingin berjalan ke arah parkiran, tiba-tiba saja sebuah botol kosong melayang ke arahnya hingga ia sedikit meringis kesakitan.
"Siapa, sih, yang melempar botol kosong sembarangan?" gumam Galen kesal, memunguti botol memasukkannya ke dalam tempat sampah.
Sementara itu, dari tempatnya yang tidak jauh dari Galen, seorang anak lelaki dengan perempuan—memakai seragam sekolah—memilih bersembunyi di balik mobil yang terparkir di sana serta di sampingnya terletak tong sampah. Sedangkan, Galen masih celingak-celinguk mencari pelaku, tetapi tak menemukan seseorang yang mencurigakan. Jadi Galen memutuskan untuk berlalu begitu saja dengan menaiki motor tua miliknya.
"Kakak, kok, bersembunyi? Kata Bu Guru kalo kita salah, kita harus minta maaf," ucap Tian, keluar dari persembunyian.
"Siapa yang sembunyi? Orang aku cari koin yang jatuh," sanggah Lana seraya menunduk seolah-olah mencari benda tersebut, "Eh, iya, ternyata di kantong Kakak," sambungnya cengengesan, berjalan lebih dulu meninggalkan Tian.
Tian menepuk jidat. Ia tidak pernah bisa menebak kelakuan kakaknya itu, meskipun begitu Tian tetap sayang padanya. Hari ini seharusnya Tian dijemput, tetapi kata pak Bambang mobil mereka tengah masuk ke dalam bengkel. Alhasil, keduanya terpaksa berjalan melewati perkuburan, agar cepat sampai di rumah.
"Yang lama sampai di rumah harus melakukan apa yang disuruh!" teriak Lana menoleh ke arah Tian, lalu berlari.
"Kakak curang! Harusnya dimulai dari sini." Tian mencoba mengejar Lana telah menjauh darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWALA (Tamat)
RomanceIngatan adalah memori yang sangat penting bagi siapa saja, tetapi apa jadinya jika separuh menghilang? Karena sebuah insiden, Nawala harus merelakan ingatan masa kecilnya direnggut secara paksa. Namun, ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di kam...