20: TETAP BERSAMA

6 2 10
                                    

Pada ruangan bernuansa putih biru, Nawala menatap layar ponsel tanpa henti. Ia seolah-olah menanti pesan dari seseorang, tetapi tak kunjung datang. Beberapa kali terlihat bolak-balik memasuki aplikasi hijau, hingga ia merasa suntuk. Kini, benda itu dibiarkan tergeletak di atas kasur dan beralih menatap keluar jendela. Pikirannya sedang mengudara entah ke mana.

Di tengah lamunan, pintu terbuka memperlihatkan Bintang dengan menenteng dua kantong plastik yang berisi makanan. Nawala menoleh menatap Bintang sedang tersenyum ke arahnya. Ada perasaan kecewa di hatinya, sebab Galen tidak segera datang. Padahal ia sangat berharap lelaki itu ada di sini menceritakan tentang kisah mereka di masa lalu. Perlahan ingatan Nawala pelan-pelan menyatu. Ia mengingat, meski beberapa hal masih terasa pusing untuk didatangkan; memori masa kecil paling berharga.

"Keadaan kamu gimana?" tanya Bintang, berjalan ke tepi kasur dengan meletakkan belanjaan di atas nakas.

Nawala membalas dengan anggukan.

"Om Adnan mana?" tanya Bintang lagi.

"Pulang ambil bubur." Nawala menjawab singkat, menatap ponsel dengan layar hitam.

Bintang menghela napas. Ia merasakan suasana yang berbeda dari sikap dan tutur kata Nawala. Sebab, perempuan itu lebih banyak menatap benda mungil, daripada berbincang dengannya seperti sedia kala.

"Dari tadi, tuh, ponsel diliatin mulu. Gak bakal hilang, kok," sindir Bintang seraya terkekeh, beralih membuka cemilan.

Nawala tidak merespon karena terlalu sibuk mengotak-atik ponselnya. Kini, ia menghela napas kasar dan menggerutu pelan, tetapi masih bisa terdengar oleh Bintang.

"Apaan, sih, gak peduli banget sama aku!" gerutu Nawala, memanyunkan bibir dan menyilangkan kedua tangan di dada seraya menyenderkan bahu pada belakang kasur.

"Maksudnya? Siapa yang gak peduli sama kamu?" Bintang memperjelas apa yang ia dengar.

"Gak ada, lupain!" timpal Nawala ketus. Sedangkan, Bintang mengangguk paham akan perubahan sikap perempuan itu.

Tak ada perbincangan lagi. Keduanya sibuk bermain dengan pertanyaan di kepala. Nawala diam-diam melirik ponsel, sedangkan tatapan Bintang tetap jatuh pada Nawala seraya terus memasukkan cemilan ke dalam mulut. Akibat tidak sabaran, Nawala mencoba mengetik beberapa kata di atas layar, lalu mengirimnya kepada Galen. Namun, ia merasa bahwa hal itu menganggu. Sontak saja kembali dihapus, tetapi tetap meninggalkan jejak di sana.

'Aku benci Alen!'

"Aku mau." Nawala merebut cemilan dengan kasar, hingga membuat Bintang tersentak kaget.

"Hati-hati, Naw. Nanti tersed—" Kalimat Bintang belum selesai, tetapi apa yang ingin dikatakannya sudah terjadi. Ia buru-buru untuk mengambil minum, kemudian mengarahkan pada Nawala.

Tiba-tiba pintu kembali terbuka memperlihatkan Galen dan Ajis berdiri di sana menyaksikan kemesraan keduanya. Api cemburu mulai membakar hati Galen seketika. Sedangkan, Ajis berdeham untuk menyadarkan dua anak manusia yang belum menyadari keberadaan mereka. Sontak membuat Nawala dan Bintang menoleh secara bersamaan.

"Panas banget ruangan ini, padahal Ac nyala," sindir Ajis, mengedarkan pandangan mencari benda pendingin itu.

Galen berjalan ke arah tepi kasur bagian kiri. Ia meletakkan buah-buahan di dekat Nawala, hingga membuat Bintang sontak mengambilnya untuk diletakkan ke atas nakas. Sedangkan, Ajis ikut berdiri di samping Galen seraya memandang Bintang dengan tatapan tak suka. Entah kenapa, ia sangat familiar dengan wajah lelaki itu.

"Keadaan kamu gimana?" Galen memulai perbincangan dengan ragu.

"Aku udah baik-baik aja. Besok mungkin udah bisa pulang," jawab Nawala seraya tersenyum.

Galen mengangguk. Sementara itu, Bintang menahan cemburu, sebab Nawala tak menjawab dengan ramah. Ia mengerti sekarang mengapa Nawala terus menatap ponselnya, ternyata ia menunggu Galen membesuk. Kini, ia memilih gegas pamit. Meninggalkan ruangan dengan amarah. Bahkan, orang yang ia cintai tak mencintainya sama sekali. Namun, Bintang tidak pernah berencana untuk menaruh hati pada Nawala.

Kepergian Bintang membuat suasana menjadi canggung, sebab baik Galen atau Nawala hanya saling memandang satu sama lain. Kecuali, Ajis yang paling sibuk berceloteh dan menggoda keduanya.

"Di sini panas banget, padahal Ac-nya dingin." Ajis pura-pura berkeluh kesah. "Aku mau ke ruangan Dimas dulu," sambungnya seraya berjalan meninggalkan keduanya tanpa menunggu sepatah kata keluar.

Galen menatap kepergian Ajis hingga menghilang dari balik pintu. Sahabatnya itu pasti sudah merencanakan sesuatu, agar meninggalkan Galen dan Nawala berduaan. Kini, Galen memilih duduk pada kursi empuk dekat kasur. Sedangkan, Nawala mencoba memperbaiki posisi duduknya.

"Mau buah?" tanya Galen, yang mendapat anggukan dari Nawala, "Ini baru dipetik." Lalu, mengambil apel dari kantong plastik.

"Dari pohonnya?" Nawala mengerutkan kening seraya mengamati Galen, dengan mengupas apel.

Galen menghentikan aktivitas. "Dari gantungan tali," jawabnya tersenyum tanpa bersalah.

Nawala tampak berpikir lama dan mengerutkan kening. Hingga pada akhirnya, ia menyadari hal tersebut. Sontak saja tertawa, sementara Galen kembali menuntaskan kupasannya. Nawala menghentikan tawa. Ia memandang Galen lekat, hingga lelaki itu menyadarinya. Kemudian, memberikan apel kepada Nawala.

"Kenapa diam? Apelnya gak manis, ya? Kata penjualnya manis, kok," ucap Galen, memasukkan sepotong apel ke dalam mulut.

Nawala menggeleng. Air matanya tiba-tiba saja terjatuh. Mengalir di antara kedua pipinya.

"Alen, aku takut orang itu datang lagi dan—" Kalimat Nawala terhenti, sebab Galen menariknya dalam pelukan.

"Gak akan terjadi apa-apa, Naw. Aku di sini bersama kamu," sahut Galen, mengelus rambut perempuan itu.

Nawala mengeratkan pelukannya hingga membuat Galen memberikan kecupan pada anak-anak rambut. Nawala menyadari hal tersebut, bahkan ia merasakan sedikit ketenangan. Namun, Nawala takut suatu hari nanti semua yang ia pikirkan dapat terjadi sewaktu-waktu.

"Jangan pergi lagi, Alen. Separuh ingatanku belum sepenuhnya pulih, tapi aku gak mau kita berjauhan lagi," ungkap Nawala, melepas pelukannya dan menatap Galen dekat.

Galen tersenyum seraya menghapus air mata Nawala dengan kedua tangan. "Aku gak akan biarin siapa pun nyakitin kamu, termasuk orang itu." Lalu, kembali mengecup kening Nawala singkat.

Nawala mengangguk yakin. Galen masih sama seperti Galen yang ia temui pada waktu SD. Selalu menenangkan dan memberi kenyamanan untuk Nawala. Di balik pintu, ternyata Bintang menatap keduanya dengan tatapan penuh amarah dan mengepalkan tangan.

"Nawa, jangan lari-lari nanti jatuh!" teriak Galen mengingatkan gadis kecil itu.

Nawala terus berlari tanpa henti. tiba-tiba kaki kecil itu tersandung pada sebatang kayu, hingga akhirnya harus merasakan sakit pada bagian lutut yang mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Sontak saja membuat gadis kecil itu menangis. Sedangkan dari kejauhan, Galen dan Ajis sontak berlari menghampiri. Kini, Ajis tertawa terpingkal-pingkal menatap Nawala penuh rasa sakit.

"Udah dibilangin jangan lari-lari malah tuli. Rasakan!" Tawa Ajis menggelegar, dengan sesekali meledek tanpa henti.

"Ajis!" bentak Galen, melempar tatapan tajam hingga membuat Ajis terdiam, "Nawa gak dengar Alen, sih, makanya kena tegur," sambungnya, merobek baju sendiri dan melingkarkan pada lutut Nawala.

Gadis itu tertunduk dan merasa bersalah. "Maafin Nawa, Alen. Nawa akan dengar kata Alen lagi," ucap Nawala seraya mengusap air mata.

Galen mengangguk, sedangkan Ajis diam-diam dari belakang masih meledek Nawala dengan memasang ekspresi wajah jail.

"Ajisss jahat!" teriak Nawala, sontak membuat Ajis berlari terbirit-birit sebelum diamuk Galen. Sedangkan, Galen hanya tersenyum sebentar, kemudian menatap Nawala lekat.

Lamunan Galen terhenti, sebab pintu terbuka memperlihatkan Bintang dengan memasang ekspresi datar tatkala menatap keduanya yang masih saling berpelukan.

"Tetap bersamaku, Alen. Seperti janji kamu waktu itu," bisik Nawala ada telinga Galen, hingga membuat lelaki itu tersenyum lama.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang