19: MENEMUKAN NAWALA

3 3 2
                                    

"Nawala!" Galen terus naik ke permukaan, tetapi tidak menemukan tanda-tanda keberadaan perempuan itu. Bahkan, ia sendiri mulai merasa kelelahan.

Galen terus menyelam hingga berada di tengah laut. Beberapa orang tampak mulai berdatangan termasuk Adnan berserta Bintang di sana. Kini, Bintang ikut berlari masuk ke dalam air. Mereka mencari Nawala, tetapi nihil. Galen mulai pasrah, ia tak tahu lagi harus melakukan apa selain terombang-ambing dengan perasaan hancur. Namun, semesta seolah mendengar doanya. Perempuan itu ada di sana mengapung, sontak saja Bintang dan Galen lekas menuju Nawala.

Ternyata, Bintang sampai lebih dulu dan membawa tubuh Nawala, agar ikut menepi. Sedangkan, Galen sedikit merasa bersyukur, sebab Nawala selamat. Meski, sedang tak sadarkan diri. Ketika mereka sampai Bintang meletakkan Nawala terbaring tak berdaya beralaskan pasir. Adnan berlari memeluk erat sang putri, ia terus menepuk pipi Nawala, tetapi tak mendapatkan respon apa-apa.

Tiba-tiba Galen berjongkok dan melakukan pertolongan pertama dengan memompa jantung perempuan itu. Masih tak berhasil, ia melakukannya berkali-kali hingga akhirnya Nawala terbangun dengan menelan banyak air laut.

"A-len—" Suara Nawala terdengar pelan, tetapi terdengar jelas oleh Galen.

Nawala merasa tubuhnya lemas dan tak bisa melakukan banyak pergerakan. Bahkan, ketika tersadar orang pertama yang ia lihat adalah sosok Galen.

"Nawala, kamu gak apa-apa, Nak? Maafin Ayah," ucap Adnan, memeluk Nawala erat.

Tak ada sahutan dari Nawala. Ia kembali memejamkan mata.

"Om, kita harus bawa Nawala ke rumah sakit," titah Bintang, mendorong Galen, agar menjauh. Sedangkan, Adnan berterima kasih kepada lelaki itu.

Sementara itu, aksi Bintang menggendong Nawala membuat Galen menampilkan ekspresi datar. Seperti api; membakar hati Galen saat ini.

"Aku gak salah dengarkan tadi?" gumam Galen, mengorek telinga dengan jari.

Kini, Galen melangkah kakinya untuk menyusul. Namun, ketika ia mencoba berjalan beberapa langkah tiba-tiba saja Nadir dan Tias menghampiri.

"Apa yang terjadi pada Nawala?" tanya Tias menyerang Galen dengan pertanyaan.

"Kejadiannya begitu cepat, aku gak liat jelas," jawab Galen berbohong, melangkah kembali.

Nadir memandang kepergian Galen dengan mengerutkan kening. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi pada Nawala dan Galen mengetahui segalanya. Meskipun begitu, mengapa Galen diam saja dan tak memberitahu sebenarnya? Entahlah. Nadir mencoba menerka-nerka.

Sedangkan, Tias merasa kesal. Sebab, Galen selalu saja tak banyak berbincang dengannya. Kini, Nadir meninggalkan Tias tanpa mengatakan apa pun.

"Heh! Kamu mau ke mana?!" Tias berteriak.

"Menyusul Nawala ke rumah sakit," jawab Nadir, melambaikan tangan.

Tias menghela napas panjang. Sebenarnya, ia tahu ini rencana siapa, tetapi Tias memilih diam. Ia terlalu takut. Pada saat berbincang dengan Bintang, ia menyadari satu hal. Bahkan, Tias segera menyuruh Bintang untuk mencari Nawala. Namun, kedatangan Adnan membuat rencana keduanya sia-sia.

"Maafin aku, Naw." Tias merasa bersalah, ikut melangkahkan kaki untuk menyusul Nadir dan lainnya.

***

Di tengah keramaian aktivitas barista meracik kopi, Mariana dengan celemek tergantung pada leher begitu cekatan membuat pesanan. Sesekali ia menghela napas, mengamati beberapa orang yang hari ini terlihat sibuk bekerja. Ia juga sesekali menatap pintu keluar, berharap sosok yang ia cari segera bertandang.

Pintu terbuka membuat Mariana sontak menoleh dan melempar senyum. Namun, seketika lengkungan bibirnya berubah menjadi datar. Pasalnya, orang yang datang bukan dia. Melainkan, pengunjung lain—berjalan ke arah Mariana untuk memesan makanan dan minuman.

"Nungguin Galen, ya?" Seorang lelaki bernama Kasri—berdiri di samping Mari.

Mari hanya menoleh sekilas, lalu tampak mengedipkan bahu seolah mengabaikan keberadaan lelaki itu.

"Galen lagi nemenin Pak Bos di rumah sakit," timpal Imah, tiba-tiba datang membawa baki kosong.

Mariana mengangguk. Kepalanya tengah sibuk diserang berbagai macam pertanyaan. Rasanya, semangat Mariana sedikit memudar. Sebab, tak menemukan lelaki itu di mana pun.

Mereka terus berbincang hingga tanpa sadar bahwa Ajis tengah berada di antara mereka. Imah yang menyadari duluan, langsung saja memilih pamit undur diri ke dapur. Sedangkan, Kasri dengan mulut cerewet terus berceloteh tentang Ajis dan kelakuannya.

"Gaji kamu mau saya potong?" tanya Ajis ketus, menatap Kasri dengan melempar tatapan tajam.

"E-eh, sejak kapan Pak Bos ada di sini?" Kasri melempar pertanyaan pada Ajis, menatap Mari yang tengah terkekeh.

"Kamu terlalu asyik berbicara keburukan saya. Ayo, lanjutkan. Biar saya dengar lagi!" perintah Ajis dengan nada sedikit menyisipkan sindiran.

Kasri tersenyum tanpa merasa bersalah, menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Janganlah marah Pak Bos. Kalo kami cerita belakang, 'kan lebih gak sopan. Anggap aja pahala buat Pak Bos kami yang baik hati. Iya 'kan, Mari?" Lalu, menyenggol lengan Mariana.

Mariana menatap tajam ke arah Kasri. "Aku gak ikut-ikutan." Kemudian, berjalan meninggalkan Ajis dan Kasri.

Kasri tertegun. Tamatlah sudah riwayatnya. Jika gaji dipotong, pasti si Ira—gebetan— tak mau jalan lagi dengannya.

"Kembali bekerja!" Ajis menyadarkan Kasri, agar segera melanjutkan pekerjaannya. Kini, ia memilih untuk berjalan ke dalam ruangan yang didesain untuk diri sendiri. Tak boleh ada yang masuk, kecuali Galen dan seizinnya.

Di dalam ruangan dengan tembok berwarna biru tosca, beberapa bunga kaktus berjejer dekat jendela yang tersimpan di rak. Lelaki itu begitu senang dengan bunga kaktus, apalagi perawatannya tidak terlalu rumit, seperti bunga lainnya. Ia menyirami tanaman itu dengan sangat hati-hati.

"Kaktus yang keseringan disiram pun akan memilih mati," ucap Ajis, terus menyemprotkan air.

Ponsel miliknya berdering berulang kali di atas meja. Ia masih menyibukkan diri bergumam dengan tanaman favoritnya itu. Ternyata, ada beberapa yang memilih mati dan menyisakan batang kering. Lalu, benda itu terus menerus berdering tanpa henti. Ajis menghela napas, sebab si penelpon terlalu menyebalkan.

Sebuah nomor tanpa diberi nama tertera di atas layar. Buru-buru Ajis menerima panggilan tersebut. Sedangkan, suara di seberang sana terdengar gemetar. Seperti ada rasa takut yang bisa Ajis rasakan di dalamnya.

"S-Saya sudah menemukan pelakunya," ucapnya seraya menetralkan napas, "ada yang mengejar saya, saya ketahuan menguntit mereka. Buktinya akan saya kirim, Bos." Si penelpon itu—Opal— memutuskan panggilan, sebelum Ajis angkat bicara.

Tiba-tiba sebuah pesan berbentuk video dengan berdurasi 01.45 yang dikirim dari aplikasi hijau. Sontak saja membuat Ajis buru-buru melihat isi video, tetapi file tidak mendukung.

"Argh, sial!" Ajis mengumpat, mengacak rambut frustrasi.

Kini, Ajis menekan tombol panggilan. Namun nahasnya, seseorang yang diperintahkan untuk mencari tahu keberadaan Tuan berhasil ditangkap.

"Jangan mencari tau lebih dalam, atau—" Suara seseorang di seberang sana terdengar menakutkan.

"Atau apa?!" Ajis mengepalkan tangan. "Siapa pun kalian, saya gak akan lepasin. Tuan harus bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan pada keluargaku!" tegasnya, menahan diri.

Seseorang itu tertawa tanpa henti tatkala mendengar penuturan Ajis. "Kamu salah bocah! Zainal yang melakukan itu." Lalu, mengarahkan ponsel pada wajah Opal.

"Jangan terkecoh, Jis! Mereka bohong, dalang dari semua ini adalah—" Kalimatnya terpotong, sebab tembakan menggema dan berhasil mengenai dada bidang Opal. Alhasil, membuat lelaki itu tersungkur dengan cairan merah kental di atas lantai.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang