10 : DISALAHKAN

6 3 6
                                    

Azan subuh berkumandang, Maryam bergegas bangkit dari kasur, dan tak lupa melaksanakan kewajiban. Kini, ia memilih untuk membantu Heni yang sudah lebih dulu bangun. Ketika membuka kulkas sontak membuat Maryam berteriak histeris. Pasalnya, sebuah kotak berisi darah dan kain kafan tergeletak di atas lantai. Sedangkan, Heni terburu-buru menghampiri Maryam. Bahkan, kakinya hampir saja tertusuk pisau. Untungnya, Heni berhasil menghindar.

Jeritan Maryam menggema cukup keras. Semua orang yang masih tertidur pulas, kini berlomba-lomba untuk menghampiri arah suara. Nawala yang tadinya ingin mengerjakan sesuatu, ikut bertandang dengan panik. Mereka memperhatikan kotak itu seksama. Seketika rasa takut dan emosi bercampur menjadi satu.

Semua penghuni rumah ikut berkumpul, menatap sebuah kotak yang tergeletak di atas lantai dengan banyak bercak berwarna merah.

"Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan ini?!" Suara Adnan meninggi, mengepalkan tangan kuat.

"Teror lagi?" tanya Nadir, berjongkok serta mengamati kotak tersebut.

Nawala mengerutkan kening."M-Maksudnya teror lagi apa?" tanyanya penasaran.

Nadir terdiam. Ia tak menanggapi pertanyaan Nawala. Sedangkan, Adnan memilih ikut bungkam tanpa ingin menjelaskan apa pun.

"Naw, kita balik ke kamar, yuk! Istirahat lagi," ajak Tias, menarik Nawala untuk melangkah keluar dari dapur.

Nawala menepis."Gak! Sebelum kalian jelasin apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa pada diam?" Lalu, berjalan ke arah Adnan yang masih tertunduk.

"Di Jakarta kemarin, Om Adnan dapat kotak yang sama. Kita gak tau pengirimnya siapa, sebab Pak Tirta tidak ingat ciri-cirinya seperti apa." Bintang menjelaskan secara detail, menatap wajah Nawala.

Sontak membuat Nawala terkejut. Ia tak habis pikir Adnan berhasil menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, kotak itu tidak terlihat asing di matanya. Bahkan, Nawala sendiri sempat pernah melihat kotak yang sama. Tiba-tiba saja sebuah nama terlintas dalam benaknya.

'Kotak ini mirip dengan punya Ajis.'

Nawala berjongkok untuk memastikan isi dalam kotak tersebut. Ia juga mencari inisial yang tertera di bawah kotak, tetapi tidak menemukan jawaban yang sama di kepala. Kini, ada banyak pertanyaan yang terus berputar tanpa henti.

"Apa penerornya ada di sekitar sini ya, Om? Rasanya aneh." Nadir tampak berpikir, menatap kotak itu terus menerus.

"Bisa jadi," timpal Bintang, menepuk pundak Nadir.

Adnan merasakan kepalanya mulai pusing. Ia tak tahu lagi harus mengatakan apa, kini semua berputar terlebih lagi kasus ini sudah diketahui oleh Nawala. Apa yang sebenarnya terjadi? Entahlah, Adnan tak bisa berpikir jernih sekarang.

"Mbak Hen, tolong antar Ibu ke kamar, ya," perintah Adnan, mendapat anggukan dari Heni,"kalian bubar!" Kemudian, berjalan meninggalkan yang lainnya.

Sebelum bergegas pergi, Nawala sempat memotret gambar untuk ia jadikan sebagai bukti. Barangkali, hari ini Nawala akan melakukan satu penyelidikan dan bertemu dengan Ajis. Lelaki menyebalkan serta sombong. Sedangkan, Bintang dan Nadir saling melempar pandangan satu sama lain. Bahkan, Tias sendiri sudah berjalan lebih dulu masuk ke kamar tanpa mengatakan apa-apa.

"Dir, tolong bereskan ini, ya. Kotaknya buang aja di belakang, jangan simpan di tempat sampah depan," titah Nawala santai, berjalan meninggalkan Nadir dan Bintang.

Nadir mengangguk dan segera melakukan apa yang Nawala inginkan. Sedangkan, Bintang ikut menyusul di belakang Nawala.

"Woi, Tang! Aelah, malah ninggalin tega banget," teriak Nadir, menutup pintu belakang dengan rasa takut.

Dari arah yang tak jauh, seseorang mengamati Nadir dengan seksama ketika membuang kotak itu. Menerbitkan senyum sinis di bibir.

"Tunggu kehancuranmu, Adnan!" ucapnya penuh penekanan di setiap kata, sebab terlalu banyak dendam yang belum tuntas.

***

"Len, ini kayaknya cocok disimpan di sini gak, sih?" tanya Ajis, memperlihatkan barang yang baru saja dibelinya.

Sedangkan, Galen sibuk mengelap lemari buku dan menyusun kembali buku-buku baru untuk dipajang. Ia mengabaikan perkataan Ajis hingga membuat sahabatnya itu melempar sendal yang ia kenakan. Sontak saja Galen meringis kesakitan. Bahkan, beberapa karyawan ikut membantu mengatur tata letak Kafe. Sudah menjadi bagian penting, agar pengunjung tidak merasa bosan berkunjung.

"Len, ini letaknya bagus gak?!" teriak Ajis seraya berjalan ke arah Galen, memperlihatkan berulang barang itu.

"Letak di dekat lemari aja," jawab Galen santai, melanjutkan aktivitasnya.

Mereka beramai-ramai menata ruang Kafe, bahkan mengatur posisi kursi atau menambahkan beberapa dekorasi sehingga tampak lebih menarik lagi. Ada banyak barang, seperti; buku, hiasan dinding, dan lukisan aesthetic. Hari ini Kafe Semesta sedang tutup, agar mereka lebih leluasa memperbaharui.

Tiba-tiba saja pintu didobrak sangat kencang hingga membuat engsel-nya terlepas. Galen dan yang lainnya terkejut, sedangkan Ajis mengusap wajahnya penuh emosi. Nawala berjalan tergesa-gesa dan melayangkan satu tamparan keras kepada Ajis. Sontak membuat yang lainnya membelalakkan mata. Termasuk Galen tak memberikan reaksi apa pun.

Ajis memegang pipinya yang terasa panas."Datang-datang jadi gozilla. Kenapa, sih?!" Lalu, menatap tajam Nawala.

"Maksud kamu apa neror keluargaku? Hah?!" Emosi Nawala semakin membara, memperlihatkan foto yang ia ambil tadi subuh.

Ajis tak mengerti. Ia menatap foto itu dengan teliti tanpa mengedipkan mata sedikitpun. Sedangkan, Galen merebut ponsel milik Nawala, sebab terlalu penasaran dengan apa yang terjadi. Lalu, Ajis dan Galen saling melempar pandangan satu sama lain.

"Neror? Kapan aku neror keluarga kamu? Aku aja gak tau maksud kamu apa!" jawab Ajis ketus, mencoba membela diri.

Nawala tersenyum sinis."Kalo kamu benci sama aku, jangan neror keluargaku," balasnya penuh emosi.

"Ajis gak mungkin melakukan itu," timpal Galen, menatap Ajis tak percaya.

Suara kegaduhan mulai mengundang perhatian yang lainnya. Bahkan, membuat beberapa karyawan Kafe berkumpul hanya untuk melihat foto pada ponsel Nawala. Semua orang menatap Ajis—tidak menaruh curiga sama sekali, meski perkataan Nawala akan lebih mengarah ke fitnah.

"Mbak, kalo gak ada bukti jangan main nuduh!" protes Mari ketus—barista baru yang direkrut kemarin.

"Aku gak akan nuduh kal—"

"Cukup! Jangan membuat kegaduhan lagi di sini. Keluar!" bentak Ajis, menendang kursi dan meninggalkan Kafe dengan amarah.

Nawala keluar pintu tanpa mengatakan apa pun. Sedangkan, Mari menatap sinis setelah kepergian perempuan itu. Sementara Galen bergegas pergi, tetapi berhasil dicegah oleh Mari.

"Mau ke mana?" tanya Mari, menaikkan sebelah alis.

"Keluar." Galen menepis tangan Mari, meninggalkan Mari dan yang lainnya di dalam Kafe.

Mari menatap kepergian Galen dengan memasang ekspresi datar. Sontak membuat karyawan lainnya meledek tanpa henti. Singkatnya, Mariana Renata adalah salah satu teman Ajis dan Galen saat duduk di bangku SMA. Bahkan, Mari sendiri suka dengan Galen sejak kelas 1. Namun, tak pernah direspon oleh lelaki itu.

Sementara itu, di tempat Nawala berada ia terduduk seraya menghapus  air matanya terus menerus. Isak tangis tak lagi terdengar, sebab Nawala lebih memilih menyembunyikan jeritan itu. Ia sendiri tak tahu apa yang terjadi pada keluarganya, teror di mana-mana membuat perasaan menjadi was-was.

"Nih, hapus air mata kamu." Sapu tangan berwarna merah disodorkan ke hadapan Nawala.

Nawala menatap Galen dan sapu tangan itu lama, hingga akhirnya mengambil untuk menghapus air matanya.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang