"Pak, dengarkan saya dulu. Saya tidak melakukan apa yang dikatakan mereka. Video itu tidaklah benar!" Bian menyangkal telah melakukan suap dan memakai uang perusahaan senilai 30 Millyar.
Adnan memijit pelipisnya yang terasa pusing. Ia teramat kecewa, sebab mengetahui bahwa Bian—karyawan kepercayaan— telah menusuk dirinya dari belakang. Ada banyak bukti yang beredar, termasuk salah satu rekaman video dari seseorang. Bahkan, seluruh karyawan di kantor sudah membicarakan hal ini. Bian mencoba untuk menyakinkan Adnan, tetapi hasilnya nihil.
"Saya telah memberikan kepercayaan penuh sama kamu, Bian. Apa ini balasan kamu?!" tanya Adnan, menatap Bian penuh nanar, "Silakan berkemas dan tinggalkan kantor ini! Saya tidak ingin melihat kamu lagi," sambungnya datar, berjalan ke arah jendela seraya membelakangi Bian.
Bian mengepalkan tangan kuat. Ia tak peduli seberapa banyak orang membicarakan dirinya, tetapi kali ini ia benar-benar dibuat hancur. Bahkan, Adnan sendiri tak membiarkan dirinya untuk menjelaskan apa yang terjadi. Adnan tutup mata. Bian tidak melakukan hal itu, ia merasa terjebak dalam situasi ini. Meskipun demikian, Adnan tak ingin membawa kasus ini pada hukum. Bukan berarti kasus korupsi harus diberi ruang.
Kini, Bian melangkahkan kaki keluar pintu ruangan dengan amarah memuncak. Beberapa karyawan memberi tatapan tak suka pada Bian. Terdengar banyak bisikan yang mengarah kepadanya, tetapi Bian seakan menutup telinga. Menahan segala kemurkaan yang sebentar lagi akan meledak.
"Pak Bian, yang sabar ya. Saya tahu Bapak tidak salah," ucap Iky—karyawan baru yang tiba-tiba menghampiri Bian.
Bian mengangguk. Ia kembali mengemas barang, lalu dimasukkan ke dalam kardus. Pikiran Bian mengudara entah ke mana. Ia terasa pusing, bahkan perutnya ikut terasa lapar. Sebab, tadi pagi belum sempat makan. Kini, Bian harus meninggalkan tempat yang memberinya banyak arti kehidupan. Tentang Adnan—sahabatnya, tetapi harus berakhir cukup mengenaskan.
"Kita akan bertemu lagi, Adnan. Bukan sebagai sahabat, tapi orang lain." Bian berjalan seraya memeluk sekotak kardus di dada.
Sementara itu, Adnan melihat kepergian Bian dari balik jendela. Ia juga ikut merasakan kesedihan atas kehilangan sahabat, tetapi Adnan tak dapat melakukan apa pun, selain mengeluarkan Bian dari pekerjaan ini.
"Saya harap kejadian ini tidak pernah terjadi, Bian," gumam Adnan, mengusap wajah kasar.
Tiba-tiba pintu terbuka memperlihatkan sosok Iky yang sudah berada berdiri di belakang Adnan.
"Pak Bian sudah pergi, Pak," ucap Iky, menundukkan kepala.
Adnan berbalik. "Saya sudah tahu. Tolong, berikan sedikit uang ini pada keluarganya." Lalu, kembali duduk di kursi empuk miliknya.
Iky mengangguk. Ia lekas meninggalkan ruangan Adnan dengan tersenyum. Iky adalah karyawan magang yang diberi kepercayaan juga pada Adnan. Kini, Adnan merasa sangat kacau. Ia memilih pulang lebih awal untuk sekadar mengistirahatkan diri.
***
Bian sedang duduk di atas trotoar jalan. Ia merasa lelah dan capek. Bahkan, untuk membeli air pun uangnya sudah tak cukup, sebab hanya tinggal beberapa lembar saja. Itupun ia harus membelikan anak dan istrinya makan malam. Bian bisa menahan lapar, tetapi ia tak ingin melihat keluarganya kelaparan.
"Panas sekali hari ini," gerutu Bian, mengusap keringat dengan baju yang mengalir pada wajahnya.
Tiba-tiba seseorang pria duduk di samping Bian sembari menyodorkan sebotol minuman dingin. Seketika Bian menoleh dan mendapati Sambara tengah tersenyum padanya. Singkatnya; Bian dan Sambara baru kenal beberapa hari ini. Mereka dipertemukan dalam pekerjaan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWALA (Tamat)
RomanceIngatan adalah memori yang sangat penting bagi siapa saja, tetapi apa jadinya jika separuh menghilang? Karena sebuah insiden, Nawala harus merelakan ingatan masa kecilnya direnggut secara paksa. Namun, ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di kam...