12 : KECEMBURUAN MARIANA

8 1 5
                                    

Di ruang itu, kegelapan seolah menjadi teman sejati untuk seorang lelaki— tengah duduk memandang bunga kaktus miliknya. Sesekali bergumam, atau tertawa kecil. Kini, ia beralih menatap foto-foto yang berserakan di atas meja. Menatap lama, bahkan menerbitkan senyum sinis di bibir. Ingatan terus membelenggu kebebasan, satu per satu kejadian perlahan berputar merupa film lama yang sewaktu-waktu ingin singgah tanpa mengetuk kata pulang.

Rasa jenuh mulai menyelimuti. Tiba-tiba dalam benaknya terlintas wajah seorang perempuan. Kini, ia beralih menyandarkan kepala di punggung kursi empuk. Lalu, menatap satu foto di mana perempuan itu berhasil tersenyum manis—ia merasa puas dengan hasil potretnya.

"Tunggu aku ya, Sayang," ucapnya seraya menciumi foto itu.

Tiba-tiba pintu perlahan terbuka, memperlihatkan sosok perempuan dengan memakai topi dan jaket. Berjalan masuk ke dalam ruangan hingga disambut penuh suka cita oleh lelaki yang berada di ruangan tersebut. Tampak gelap, sebab lampu sengaja dimatikan. Perempuan itu melempar beberapa foto di atas meja yang berhasil dikumpulkan. Bahkan, ia memberi laporan dari apa yang ia lakukan hari ini.

"Terima kasih sudah melakukannya, Sayang." Lelaki itu melangkahkan kaki ke arah perempuan tadi, menariknya ke dalam pelukan.

"Apa pun akan aku lakukan untuk kamu, sekalipun nyawaku yang hilang," timpalnya seraya tersenyum, membalas pelukan.

Keduanya saling hanyut dalam pelukan, saling menyalurkan rasa hangat serta sesekali tampak lelaki itu menciumi pipinya sebagai ungkapan terima kasih. Mereka bukan sepasang kekasih, melainkan dua orang yang sedang sibuk berencana panjang tentang satu hal. Menantikan kehancuran keluarga Adnan adalah poin utama. Dari kejadian itu, sebuah dendam tercipta, pun hidup tanpa penerang.

"Aku gak suka kamu dekat sama dia," ungkap perempuan itu, duduk di sofa panjang.

"Kehancuran Adnan ada pada Nawala," ucap lelaki itu santai, menghela napas.

Perempuan itu memutar bola mata dengan sangat malas."Ingat tujuan awal kamu, jangan sampai terjebak dalam cintanya," protesnya seraya mengerucutkan bibir.

Lelaki itu tertawa keras, sontak saja membuat perempuan di hadapannya mengerutkan kening. Lalu, ia menghentikan aktivitas dan berjalan ke arah perempuan tadi. Duduk di samping untuk merebahkan kepala di atas pahanya. Lelaki itu mulai memejamkan mata, membiarkan rasa kantuk berjelajah lebih lama.

***

Setelah pertemuan itu, Ajis kembali ke Kafe Semesta, sebab amarah yang sedari tadi mengumpal kini telah beterbangan bersama angin. Ketika terus melangkahkan kaki, wajah Tias tersimpan dalam benaknya. Bahkan, menjadi bagian terkecil dari ingatan hari ini. Meskipun demikian, Ajis terlalu lama berkutat dengan rasa kesal hingga lupa untuk berkenalan.

"Harusnya kita berkenalan tadi," gumam Ajis pelan, memasuki Kafe dengan menampilkan ekspresi datar.

Sontak semua karyawan bergegas menghampiri Ajis yang masih berada di dekat pintu, sedangkan lelaki itu tampak terkejut. Di antara semua karyawan, hanya Galen yang tidak tertangkap sosoknya. Ia pun mulai celingak-celinguk mencari keberadaan sahabatnya. Seolah mengerti Mari menjawab pertanyaan Ajis.

"Galen menyusul perempuan tadi." Mari mengungkapkan dengan kekesalan, memutar bola mata malas.

Ajis mengangguk."Biarkan aja," ucapnya tak peduli, berjalan menuju kulkas untuk mengambil air minum. Kerongkongannya mulai mengering, sebab terlalu lama menjerit tanpa henti.

"Siapa, sih, cewek itu?!" tanya Mari ketus, berjalan mendekati Ajis.

Ajis menaikkan sebelah alis, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan perempuan itu."Teman kecil Galen. Kenapa? Cemburu, ya? Kasian!" ledek Ajis terkekeh, sontak membuat Mari melempar tatapan tajam.

Mari tidak menanggapi Ajis, sebab ia terlalu malas menghadapi lelaki menyebalkan. Apalagi, sedari duduk di bangku SMA—Ajis adalah orang yang paling menyebalkan, tetapi hubungan mereka tetap baik-baik saja. Tak ada dendam, meski rasanya ingin menendang lelaki itu keluar planet.

"Jis, semua udah selesai. Kita boleh balik, gak?" tanya Laskar, menghampiri Ajis dan Mari.

"Boleh, tapi besok jangan lupa datang lebih awal," jawab Ajis seraya menatap ke arah karyawan lainnya.

Semua kompak mengangguk. Sedangkan, Mari tetap tinggal ingin menunggu Galen bertandang. Meski, rasa cemburu diam-diam merasuk ke dalam jantung hingga menyisakan sesak tanpa henti. Mencintai selama tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar, apalagi jika perasaan itu tak pernah memilih hilang. Tidak berkomunikasi, bukan berarti berhenti mencintai—seperti quotes seseorang—lupa milik siapa.

'Jatuh cinta ternyata tidak selalu membuahkan hasil yang bagus.'

"Kamu gak ikut pulang?" tanya Ajis, membuyarkan lamunan Mari.

"Eh, gak. Aku masih mau belajar meracik minuman," jawab Mari berbohong.

Ajis kembali mengangguk."Jangan terlalu. Aku percaya bahwa kamu selalu bisa melakukannya," balasnya seraya tersenyum.

Seketika Mari terdiam, sebab baru kali ini Ajis bersikap manis padanya. Mari hanya tahu bahwa Ajis sangat menyebalkan.

Tiba-tiba pintu terbuka memperlihatkan Galen memasuki Kafe yang disusul oleh Nawala dari belakang. Mari terlihat senang ketika mendapati sosok Galen, tetapi seketika senyum itu luntur. Sementara, Ajis mencoba menetralkan sikap, agar tak mengundang kalimat menyakitkan.

"Abis dari mana, Len?" tanya Ajis, menatap Galen yang memilih duduk.

"Di taman," jawab Galen singkat,"Ke mana yang lain?" Lalu, celingak-celinguk hingga tak menemukan menangkap sosok.

"Ada urusan, katanya." Bukan Ajis, melainkan Mari yang menimpali.

Galen mengangguk, sedangkan Nawala terus memilih diam tanpa berani mengatakan apa pun. Ia hanya berdiri di samping Galen hingga Ajis mencoba untuk mencairkan suasana.

"Duduk! Ngapain pula kayak ajudan berdiri di samping Galen," titah Ajis terkekeh pelan.

Nawala tersenyum kikuk. Rasanya terlalu canggung untuk saat ini, bahkan Galen sendiri dapat merasakan hal yang sama.

"Aku minta maaf atas kejadian tadi. Aku gak bermaksud men—"

"Cih! Apa pun alasannya itu tetap nuduh namanya," potong Mari seraya menyindir, mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Aku gak bermaksud." Nawala tertunduk lesu,"aku minta maaf," lanjutnya.

Mari ingin terus mendesak Nawala, tetapi berhasil dihentikan oleh Ajis. Sebab, ia tak ingin memperpanjang kesalahpahaman yang terjadi. Meski kotak itu sama, Ajis tak pernah melakukan kejahatan, apalagi merugikan orang lain.

"Dimaafkan, tapi lain kali lebih baik bertanya dulu daripada salah ambil tindakan. Aku juga mengerti perasaan kamu gimana." Ajis mencoba menetralkan emosi dengan tersenyum dan terlihat lebih santai.

"Gak apa-apa, Naw. Setiap orang juga kadang salah, dan jangan terlalu dipikirkan. Ajis udah memaafkan," sahut Galen, menuntun Nawala untuk duduk pada sebuah kursi di dekatnya.

Sontak perlakuan Galen ke Nawala membuat Mari terbakar api cemburu. Terlebih lagi, Galen melakukannya secara terang-terangan. Sedangkan, Ajis menatap Mari dengan rasa kasihan. Bagaimana bisa Mari mencintai Galen selama itu? Entahlah, Ajis tak mengerti tentang cinta yang sebenarnya.

"Mare, ayo pulang," ajak Ajis, mengalihkan perhatian Mari.

Mari terbelalak ketika mendengar namanya dipanggil, tetapi bukan memakai i melainkan e.

"Mari, bukan Mare, Ajis!" teriak Mari bernada ketus, memanyunkan bibir.

Ajis meledek,"Orang kalo cemburu galaknya minta ampun, ya." Kemudian, buru-buru berlari keluar pintu, sebelum mendapat amukan dari Mari.

Benar saja. Mari mengejar Ajis untuk menyusul lelaki itu. Sedangkan, Galen dan Nawala saling melempar pandangan ke arah keduanya hingga punggung mereka menghilang. Kini, tersisa Galen dan Nawala di meja yang sama.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang