25: PERDEBATAN

2 1 1
                                    

"Sejak kapan Bian ada di sini?" Pertanyaan itu terus berulang-ulang hingga tanpa sadar hampir menabrak pengendara motor lainnya, sebab terlalu sibuk berkutat dengan isi kepala.

Untungnya, Adnan masih bisa mengerem mendadak. Ia mengusap wajah dengan kasar, lalu kembali melajukan mobil dengan lebih hati-hati. Namun, lagi-lagi Adnan tak dapat fokus hingga ia harus menabrak seorang pengendara motor tua yang sudah tergeletak di jalanan. Sontak orang-orang sekitar berlarian untuk menolong, serta mengetuk pintu jendela mobil Adnan, agar pria itu segera bertanggung jawab.

"Turun, Pak. Tanggung jawab!" teriak seorang pemuda, yang mengetuk keras kaca mobil itu.

Adnan terkejut. Ia masih menetralkan detak jantung dan rasa paniknya. Kini, Adnan mencoba turun dari mobil, membantu seseorang yang tengah duduk di atas trotoar. Ia terkejut ketika mendapati Galen seolah menahan rasa sakit.

"Galen, kamu tidak apa-apa?" tanya Adnan panik, berjalan ke arah Galen dengan beberapa luka ringan yang terletak pada lutut dan siku.

"Gak apa-apa, Om," jawab Galen, gegas bangkit mengecek keadaan motornya.

Beberapa orang memilih untuk membubarkan diri, sedangkan sebagian ikut mengecek kondisi motor Galen yang terdapat kerusakan spion dan pecah pada bagian badan motor.

"Lain kali hati-hati, Pak. Saya lihat dari tadi cara bawa mobilnya sedikit ugal-ugalan," timpal ibu-ibu, "untungnya, anak ini tidak mempermasalahkan," sambungnya menatap Galen dan lukanya.

Adnan berkali-kali meminta maaf, sedangkan Galen mulai menghidupkan kembali motor. Akan tetapi, tidak kunjung menyala. Ternyata, benda tersebut mengalami kebocoran yang diakibatkan harus mendapat perawatan dari bengkel. Galen menghela napas panjang, sebab baru saja beberapa Minggu digunakan ia harus memasukkannya kembali ke tempat itu.

"Galen, motornya bawa saja ke bengkel. Nanti Om yang tanggung semua biayanya." Adnan menghampiri Galen, memungut puing-puing keretakan.

"Iya, bawa saja ke bengkelku di sana." Ibu-ibu yang tadi menunjuk ke arah seberang jalan, hingga membuat Galen dan Adnan saling pandang.

Salah satu pemuda berdiri di hadapan ibu yang tadi sedari melempar candaan, bahkan membuat ibu itu meninggalkan mereka."Masih sempat-sempatnya promosi." Lalu, menepuk jidat pelan.

Adnan dan Galen kompak menggelengkan kepala. Kini, Galen dibantu pemuda yang tadi untuk membawa motornya ke seberang jalan. Sementara, Adnan ikut serta menyusul. Lalu lintas sore ini tidak terlalu padat untuk ibu kota, sebab sebagian besar masyarakatnya masih menjalani aktivitas.

"Bang, sebenarnya itu tadi Ibuku," celetuk Hadi tiba-tiba—pemuda yang membantu Galen dorong motor.

Galen mengerutkan kening. Ia merasa heran atas tingkah laku ibu dan anak ini. Namun, Galen sendiri paham niat ibunya pasti baik. Hanya saja, sebagian orang akan beranggapan negatif, apalagi kondisinya tidak menentu. Dalam perjalanan Hadi banyak bercerita tentang bengkelnya yang sedikit sepi; tentang ulang tahun ibunya; dan Galen banyak memberikan masukan. Tiba-tiba saja Galen merindukan Restu—Bundanya— seharian ini tak ia temui. Ketiganya telah sampai ke bengkel yang dimaksud. Galen memberikan kunci motor beserta helm. Ia memberikan kepercayaan penuh, meski mereka baru bertemu beberapa jam berlalu. Sedangkan, Adnan memberikan uang lebih kepada Hadi.

"Pak, ini kelebihan. Biayanya tidak sebanyak itu," ucap Hadi, mengembalikan beberapa lembar uang.

"Rezeki jangan ditolak, Di. Beliin Ibumu kado ulang tahun." Galen menepuk bahu Hadi seraya tersenyum.

"I-ini kebanyakan, Bang," timpal Hadi, menatap wajah Galen dan Adnan bergantian.

Galen terus menyakinkan Hadi, hingga lelaki itu mau mengambilnya. Meski, Hadi merasa itu terlalu berlebihan. Apa yang Hadi inginkan tercapai, yaitu; membelikan ibunya mukena baru—itu yang Hadi katakan pada Galen. Singkatnya, Hadi adalah anak satu-satunya. Ia hidup berdua dengan Dea—ibunya. Hidup mereka jauh dari kata mewah, tetapi Hadi bersyukur masih dapat tinggal dengan layak.

Pertemuan ketiganya begitu singkat, bahkan Galen dan Adnan harus segera pamit. Sebab, Galen harus mengobati luka-lukanya. Sementara, Adnan ingin kembali ke rumah sakit menemani Nawala. Bahkan, sedari tadi perasaan pria itu dijatuhkan dengan kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan.

"Om, nanti turunkan aku di Kafe Semesta aja," ucap Galen, menoleh ke samping.

"Lukamu harus diobati dulu, Galen. Kamu malah milih nongkrong." Adnan melirik Galen sekilas, kembali fokus menyetir mobil.

Galen tersenyum. Ia tak ingin pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini, apalagi diketahui oleh Restu. Pastinya wanita itu akan lebih mengkhawatirkan dirinya dan melarang Galen untuk memakai motor tua itu.

"Yakin kamu tidak mau pulang?" sambung Adnan bertanya memastikan.

Galen mengangguk yakin. Ia berpamitan pada Adnan, lalu berjalan keluar dari pintu mobil. Adnan belum juga menjalankan mobil, sebab ia masih menatap Galen hingga menghilang dari pandangan. Entah, apa yang ada dalam benak lelaki itu.

Sementara itu, Galen memasuki ruangan kafe dengan mendapat banyak tatapan. Bahkan, Mariana yang tengah sibuk meracik kopi harus menghentikan aktivitasnya, sebab mendapati Galen penuh luka. Sedangkan, beberapa karyawan lainnya ikut serta menghampiri.

"Bang, ini kenapa, kok, bisa luka-luka? Abis tawuran di mana kau, Bang?" Kasri melempar banyak pertanyaan, memegangi siku Galen.

Galen meringis kesakitan, sebab Kasri memegang tepat di atas luka.

"Matamu tawuran! Mending ambil kotak P3K, daripada telingaku meledak dengar ocehanmu itu." Imah memerintahkan Kasri, agar lekas mengambil obat. Sedangkan, Kasri menghela napas berat, lalu berjalan ke belakang.

"Len, kenapa?" tanya Mari lembut, mengajak Galen duduk.

"Tadi ditabrak mobil, tapi gak apa-apa ini cuma lecet doang." Galen menjawab, menyakinkan Mari, agar tak terlalu khawatir.

Kasri bertandang seraya menyodorkan kotak pada Mariana. Sontak saja perempuan itu segera mengobati luka Galen. Sedangkan, Imah dan Kasri saling melempar pandangan. Keduanya mengamati Mariana yang amat lihai mengobati lelaki di sampingnya.

"Sakit, nggak?" tanya Mari pelan, menatap wajah Galen lekat, hingga kedua mata mereka saling mengunci.

Galen menggeleng, sedangkan Kasri terus terbatuk-batuk padahal sebenarnya hanya ingin menggoda keduanya. Kini, Imah menarik Kasri untuk menjauh, agar tak terus mendengar ocehan lelaki itu.

"Lain kali kamu harus lebih hati-hati dalam berkendara. Jangan suka ngebut," jelas Mariana, beralih berjongkok mengobati lutut Galen.

Tak ada sahutan. Galen terus menatap aksi Mariana, bahkan tampak beberapa pengunjung melempar senyum ketika menatap keduanya. Kini, telah selesai. Namun, Galen belum juga melepas tatapannya dari perempuan itu hingga membuat Mariana salah tingkah.

"Galen, kamu kenapa? Kok, luka-luka gini?!" Ajis panik dan terburu-buru menghampiri Galen, hampir saja menabrak Imah yang sedang membawa pesanan.

Galen dan Mariana sontak menoleh tatkala mendengar Ajis dari arah lain. Keduanya menyaksikan kecerobohan Ajis yang tak pernah bisa diubah. Seperti, menyalahkan orang lain atas perbuatan sendiri. Lalu, marah-marah dan tak meminta maaf.

"Ck! Dia yang salah, dia yang ngamuk," sindir Mari ketika Ajis sudah berada di samping Galen.

Ajis melempar tatapan tajam. Kini, ia mencoba fokus pada Galen dan lukanya. Ajis tampak panik, bahkan ketika mengetahui siapa pelaku yang berhasil menabrak Galen.

"Ayo, kita samperin Om Adnan. Biar dia tanggung jawab, biar dia gak—" Ajis tak henti berbicara begitu keras. Sedangkan, Mariana berdiri dan menginjak kaki lelaki itu. Sontak membuat Ajis meringis kesakitan.

"Bisa diam, nggak?! Mulutnya nyerocos aja. Dengerin penjelasan Galen dulu, jangan main hakim sendiri," cibir Mari kesal, menatap Ajis datar.

Ajis tak terima dengan perlakuan Mariana. Ia ingin membalas, tetapi Galen menghentikannya.

"K-Kamu bisa kena pidana atas kasus KDRT!" tuntut Ajis, menunjuk Mariana dengan menahan kesakitan.

"Dih! Sekolah yang benar makanya!" sanggah Mari ketus, meninggalkan Ajis tanpa meminta maaf. Sedangkan, Galen menepuk jidat menyaksikan keduanya.

Dari sekian banyaknya karyawan Kafe Semesta, baru Mariana Renata yang berhasil membantah dan menghapus kekejaman Ajis sebagai owner. Terlebih lagi, keduanya adalah musuh bebuyutan semasa duduk di bangku sekolah.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang