"Jis, kamu gak mau coba berdamai dengan mereka? Bagaimanapun Om Egy dan Tante Talita—"
"Aku udah dibuang." Ajis memotong perkataan Galen cepat, hingga membuat lelaki yang tengah memandangi plafon kamar terdiam.
Keheningan mulai menyeruak masuk ke dalam perbincangan. Hanya terdengar suara jangkrik yang sibuk bersenandung tiap malam. Atau, tentang bagaimana kedinginan masuk perlahan ke dalam pori-pori kulit. Galen memilih diam, sedangkan Ajis berkali-kali mengusap wajah dan menetralkan emosi, agar tak meledak.
Tiba-tiba pintu terbuka memperlihatkan sosok Ibu yang mereka sayangi—Restu dengan raut wajah dipaksakan tersenyum. Restu berjalan menghampiri Galen yang sudah memperbaiki posisi tubuh untuk duduk. Sementara, Ajis masih membiarkan pertanyaan di kepala berkeliaran bebas tanpa henti.
"Bunda abis nangis?" tanya Galen, mengamati Restu lekat.
Restu diam. Ia tak sanggup menjelaskan apa yang terjadi, sebab ada rasa sesak di dada. Kini, Restu beralih menatap Ajis lama hingga memberanikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya. Bahkan, perlahan air mata kembali menetes. Pertahanan sebelum masuk ke dalam kamar runtuh seketika.
"Bunda kenapa? Ajis ada salah?" tanya Ajis merasa bersalah, berjalan ke arah Restu dan Galen.
Sontak membuat Restu memeluk Ajis erat. Bahkan, membuat Ajis dan Galen saling melempar pandangan.
"Bunda, kenapa? Kalo Ajis salah, Bunda boleh marahin, kok, tapi tolong jangan nangis," lanjut Ajis.
"Bunda tenang dulu, nanti kita—"
Suara ponsel berdering menghentikan perkataan Galen. Sebuah nama tertera di atas layar sontak saja membuat dahinya berkerut. Tanpa pikir panjang, Galen menerima panggilan tersebut. Suara isak tangis di seberang sana terdengar memilukan. Bahkan, ketika mendapat kabar buruk Galen seakan memaksa diri untuk tetap kuat.
Tak ada jawaban dari Galen, meski seseorang di seberang sana terus menerus mengatakan hal yang Galen sendiri tak yakini.
"Siapa yang nelpon?" Ajis penasaran.
"Om Zainal," jawab Galen, belum percaya apa yang lelaki itu katakan.
"Tumben dia nelpon. Ada urusan apa kamu sama dia?" tanya Ajis lagi, kali ini sedikit meninggikan nada bicara.
Galen tak menyahut. Ia membuka aplikasi berwarna hijau, lalu memberikan sebuah foto yang dikirim Zainal—saudara Egy. Di dalam foto itu sebuah mobil masuk ke dalam jurang dan beberapa gambar lainnya terdapat tiga korban; 2 tewas, 1 anak kecil selamat. Ajis melihat foto itu samar-samar, hingga ia pun tersadar. Lelaki itu memundurkan langkah dengan air mata perlahan mengalir pada kedua pipi.
"Gak, Galen! Itu pasti foto editan biar aku pulang ke rumah, 'kan?" Ajis tersenyum miris, menggeleng tak percaya.
Restu mencoba mendekati, tetapi Ajis terus memundurkan langkah hingga tersudutkan di tembok.
"Ajis, kita harus menerima kenyataan, Nak," ucap Restu parau.
Ajis menggeleng."Gak, Bunda. Itu cuma akal-akalan Om Zainal aja, kan dia pengen aku—" Lalu, berjalan menghampiri Restu, menggenggam tangan perempuan itu. Sedangkan, Restu tetap tak bisa berkata-kata.
Kini, Ajis beralih menghampiri Galen yang tengah duduk berderai air mata. Ia terus mengguncang tubuh Galen untuk meminta penjelasan. Namun, apalah daya Galen tetap memilih bungkam.
"Len, kamu sahabat aku. Bilang kalo ini bohong, 'kan?!" Ajis terus melayangkan pertanyaan, tetapi hanya mendapati sebuah gelengan kepala dari Galen.
Ajis terus merapalkan banyak kalimat. Kabar ini terlalu menyakitkan, bahkan Ajis sendiri tak sempat mengatakan apa pun pada keduanya.
"Ajis, harus tenang, ya. Bunda dan Galen ada, kok, untuk kamu." Restu mencoba menghampiri Ajis yang telah terkulai lemas di atas lantai, memeluk lelaki itu penuh kasih sayang.
Dering ponsel milik Galen kembali berbunyi. Belum sempat berbicara, sontak saja membuat Ajis terburu-buru untuk merebut benda tersebut. Suara lelaki yang begitu Ajis kenali mulai mengeluarkan sepatah kata.
"Om bakal urus semuanya, tapi tolong tenangkan Ajis," ucapnya di seberang sana.
"Om, berhenti berbohong pada semua orang! Mama dan Papa masih hidup, itu semua hanya akal-akalan Om saja, 'kan? Om dibayar berapa sama Papa?!" Pertanyaan sinis Ajis berhasil membungkam Zainal,"Om, tolong bilang sama Papa, Ajis bakal pulang nanti," sambungnya parau.
Zainal menghela napas."Om minta maaf, Ajis. Namun, kita harus menerima fakta kalo keduanya sudah tiada. Jenazah akan segera menuju ke sana. Tolong, kamu harus sabar, ya." Kemudian, panggilan terputus.
Ajis tak dapat mencerna perkataan Zainal hingga ia membanting ponsel milik Galen ke atas lantai. Sedangkan, Restu sudah tak sanggup lagi menahan segala sesak di dada. Kini, Galen hanya menatap ponsel miliknya hancur dan terkapar di sana—tidak terlihat utuh lagi.
'Bahkan di saat dunia jahat, semesta tak pernah menawarkan kebahagiaan.'
Ajis berlari keluar. Ia berencana untuk menenangkan diri. Dunia Ajis hanya terisi kegelapan sekarang, bukan lagi pelangi penuh warna-warni di kala hujan reda. Badai itu akan selalu datang menjelma bayangan, kesedihan adalah duri-duri paling tajam, menikam berkali-kali, dan mendekam sepanjang malam. Lantas, kebahagiaan mana yang akan bertandang? Bagaimana bisa Ajis menjalani hidup, jika semuanya terasa kosong?
"Bunda, aku ikut nyusul Ajis." Galen berlari, ikut menyusul Ajis yang sudah mengendarai motor keluar pagar.
Sementara itu, Ajis melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Ia tak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ajis hanya ingin bertemu dan meminta maaf pada kedua orang tuanya. Di sepanjang perjalanan, Ajis tak henti-henti memaki diri. Ia terus melajukan motor dengan kecepatan sangat tinggi, hingga beberapa kali hampir menabrak pengendara lainnya.
Kini, Ajis telah sampai di sebuah rumah sakit. Ia berlari dengan terburu-buru hingga tak sengaja menabrak suster yang sedang membawa peralatan medis. Ketika hendak memasuki ruangan mayat, Ajis menghela napas panjang. Mencoba menenangkan diri, agar tak rapuh di dalam sana. Seperti ruang penuh disesaki oleh kegelapan.
Ajis mencoba kuat untuk membuka pintu, tetapi tiba-tiba Galen berlari ke arahnya hingga ia mengurungkan niat kembali.
"Aku temenin masuk," ucap Galen pelan seraya menetralkan napas, merangkul Ajis, agar lelaki itu lebih kuat.
Ajis mengangguk. Keduanya perlahan masuk dan berhasil menangkap sosok Zainal yang sedari tadi berdiri di samping dua orang paling berarti dalam hidupnya. Kedatangan Galen dan Ajis cukup membuat Zainal terkejut.
"Jis, kamu—" Kalimat Zainal terhenti, sebab Galen memberi kode berupa gelengan kepala.
"Pa, Ma, Ajis datang. Papa sama Mama mau Ajis pulang, 'kan? Ayo, kita pulang ke rumah." Suara Ajis terdengar parau, berjalan ke arah tepi kasur,"Mama, bangun! Ajis minta maaf," sambungnya, terus memeluk tubuh yang telah kaku itu.
Galen dan Zainal mencoba untuk menenangkan Ajis, tetapi hasilnya nihil. Ajis terus memberontak hingga tak sengaja menjatuhkan baki besi yang berada di atas nakas. Sontak saja suara kegaduhan mulai terdengar dari luar. Tiba-tiba pintu terbuka memperlihatkan seorang sosok dokter cantik dengan papan nama Tenri Mayza Arumi—memasuki ruangan dengan suasana yang cukup pilu.
"Tolong, sebagian menunggu di luar saja." Arumi mengatakan dengan tegas, melirik Galen, agar segera membawa Ajis keluar.
Galen mengangguk."Kita keluar dulu," sahutnya, menarik Ajis keluar dari ruangan itu yang sempat memberontak.
Kini, Ajis berjalan lunglai seolah tak memiliki tenaga sama sekali. Semua yang ia inginkan seakan tak berpihak, bahkan rasa sakit ditinggalkan—kosong dan hampa—menyatu. Di luar ruangan, Ajis terus menundukkan kepala. Air mata terus mengalir tanpa henti. Sementara, Galen memijit pelipisnya yang terasa pusing.
"Aku benar-benar kehilangan rumah, Len. Harusnya, aku mengikuti saran kamu buat ketemu mereka. Aku emang bodoh!" sesal Ajis, memukul kepala dengan kedua tangan.
"Gak ada yang perlu disesali. Kamu masih punya rumah. Ya, meski rumah itu berbeda bentuknya." Galen lirih, merangkul pundak sahabatnya itu.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWALA (Tamat)
Lãng mạnIngatan adalah memori yang sangat penting bagi siapa saja, tetapi apa jadinya jika separuh menghilang? Karena sebuah insiden, Nawala harus merelakan ingatan masa kecilnya direnggut secara paksa. Namun, ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di kam...