Ajis masih menundukkan kepala seraya mengacak rambut frustrasi. Ia sedang merasakan bimbang. Ajis terus bergumam tanpa henti, hingga seseorang yang datang menghentikan aktivitasnya. Pada lorong itu, hanya ada mereka berdua dan keterasingan. Rasa canggung mulai menyelimuti, bahkan Ajis lebih banyak diam, daripada tadi mengomel atas pertanyaan dalam kepala.
"Hai!" Suara lembut itu tidak asing, hingga membuat Ajis menoleh seketika.
"K-Kamu ngapain di sini?" tanya Ajis gelagapan, memperbaiki posisi duduknya.
Azani tersenyum. "Farhat lagi dirawat, soalnya ada masalah pada bagian pencernaannya. Kamu sendiri ngapain duduk di sini?" Lalu, mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Adikku." Ajis menjawab dengan singkat, melangkahkan kaki seraya membuka pintu.
Azani menatap punggung Ajis. Ia menyaksikan lelaki itu seolah-olah menghindarinya. Azani mencoba untuk memasang wajah tersenyum, meski rasanya sakit apabila diabaikan oleh seseorang yang masih kita cintai. Sedangkan, Ajis belum juga bergerak.
"Kalo gitu aku duluan, Jis. Titip salam, ya," ucap Azani menyembunyikan kekecewaan dengan tersenyum, melangkahkan kaki menjauh.
"Sampaikan saja sendiri!" teriak Ajis ketus, memasuki ruangan dengan pintu setengah terbuka.
Ajis memang gengsi, tetapi ia sendiri tak bisa membohongi apa yang ada di dalam hatinya itu. Meskipun, terlihat cuek dan tak peduli. Apakah Ajis akan memilih bersama Azani atau membuka hati untuk orang baru? Entahlah. Untuk saat ini, Ajis masih belum ingin mengenal cinta. Jikalaupun mereka bersatu suatu hari nanti, Ajis harap perpisahan yang dulu tidak terjadi kedua kalinya.
Kini, Azani mengedipkan mata berkali-kali tak percaya. Sontak saja membuat ia harus tersenyum, sebab Ajis mengizinkannya bertemu Dimas. Buru-buru Azani melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan di mana Dimas dan Ajis tengah tertawa bersama. Ia seperti tamu yang tak diundang—canggung dan kikuk.
"Kakak sini." Dimas tersenyum seraya melambaikan tangan ke arah Azani, sedangkan Ajis menatap datar.
"Maaf ya Kakak datang gak bawa apa-apa," ucap Azani, berdiri di samping Ajis.
Lelaki itu tidak berpindah. Ia tetap berada di tempatnya menyaksikan percakapan Dimas dan Azani yang terlihat begitu akrab. Padahal keduanya baru saja bertemu. Sontak Ajis mengukir senyum di bibir.
Tiba-tiba Dimas berbisik ke arah Azani, tetapi masih terdengar oleh Ajis, "Tau gak, tadi Bang Ajis liatin kakak terus." Lalu, melirik Abangnya sekilas.
Azani mendengar penuturan Dimas, sontak menoleh ke arah Ajis. Ia mendapati lelaki itu mengalihkan pandangan ke arah lain. Berjalan ke sofa dan mendudukkan bokongnya.
"Tuh, liat Abang Ajis salting," lanjut Dimas menyindir seraya tertawa, sedangkan Ajis melempar tatapan tajam.
"Awas kamu, ya," timpal Ajis, berjalan ke arah Dimas dan menggelitik perutnya.
Azani menatap pemandangan di depan dengan senyum yang mengembang. Ada perasaan bahagia, tetapi ia juga menyimpan kesedihan. Dimas dan Ajis menghentikan aktivitas serta mengalihkan pandangan ke arah Azani yang terdiam. Sontak keduanya saling melempar tatapan kebingungan.
"Kenapa?" tanya Azani, memandangi Ajis dan Dimas bergantian.
Ajis dan Dimas kompak menggelengkan kepala. Seperti Bapak dan anak yang dimarahin oleh ibunya. Sementara itu, Azani terlihat malu-malu tatkala matanya dan Ajis saling mengunci satu sama lain.
***
Selepas Galen meninggalkan ruangan Nawala, kini hanya ada keheningan yang menyelimuti antara Nawala dan Bintang. Perempuan itu memilih memejamkan mata tanpa mengatakan apa pun, sedangkan Bintang terus mempertanyakan banyak hal, termasuk tentang Nawala dan Galen. Namun, Nawala tak menggubrisnya. Ia tetap terlelap, hingga merasa muak dengan kalimat yang dilontarkan Bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWALA (Tamat)
RomanceIngatan adalah memori yang sangat penting bagi siapa saja, tetapi apa jadinya jika separuh menghilang? Karena sebuah insiden, Nawala harus merelakan ingatan masa kecilnya direnggut secara paksa. Namun, ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di kam...