21: KAWAN LAMA

12 3 2
                                    

Selepas keluar dari ruangan Nawala, Adnan memilih pulang, berjalan menyelusuri koridor rumah sakit. Langkahnya bergerak tanpa henti. Orang-orang berlalu lalang dan beberapa perawat yang bertugas di sana dapat disapa dengan ramah. Kini, ia menuju ke arah parkiran dengan menuruni anak tangga. Namun, tiba-tiba seseorang dengan kacamata hitam melekat—menabrak Adnan. Sontak saja membuat kedua pria itu saling meminta maaf.

"Adnan?" tanyanya memastikan, "sudah lama kita tidak bertemu," sambung pria itu tersenyum antusias.

Adnan menatap pria sebaya di hadapannya itu. "Lho, Bian, ada di sini juga. Kamu apa kabar?" Lalu, mengulurkan tangan ke depan.

"Alhamdulillah saya baik. Kamu sendiri bagaimana? Saya lihat-lihat makin berisi saja." Bian melempar candaan, hingga membuat Adnan ikut tertawa.

Bian membalas uluran tangan Adnan. Mereka adalah kawan lama yang sejak dulu asing, sebab satu perkara. Singkatnya; Bian adalah salah satu karyawan yang bekerja pada Adnan. Keduanya sudah menjadi sahabat, tetapi hubungan itu berakhir dengan sia-sia. Kini, semesta berhasil mempertemukan mereka kembali antara Bian dan Adnan, meski tempatnya tidak mendukung.

Perbincangan itu berlanjut dengan Bian mengajak Adnan untuk duduk di sebuah Kafe seraya meminum kopi. Suasana Kafe tampak sepi. Alunan musik indah terdengar halus pada telinga, jam dinding terus berdetak, dan aroma kopi menyeruak ke dalam indra penciuman. Adnan bukan pencinta kopi, tetapi kali ini ia tak dapat menolak ajakan kawan lama. Meski, sempat asing, Adnan dan Bian tidak berubah; masih saling mendekap hubungan persahabatan, semestinya.

"Jadi apa yang kamu lakukan di rumah sakit tadi?" tanya Bian, menyeruput secangkir kopi yang masih panas.

Adnan menghela napas. "Putriku hampir saja tenggelam. Untungnya, dia selamat," jawabnya seraya mengaduk kopi dalam gelas, hingga menimbulkan perkelahian.

Bian turut sedih atas apa yang menimpa Nawala—putri dari Adnan. Ia sama sekali tidak menyangka harus bertemu Adnan di tempat seperti ini, terlebih lagi bersua pada tempat yang tak terduga. Adnan mulai menyeruput kopi itu, meminumnya hati-hati sambil terus menatap keluar jendela. Sesekali keduanya saling melempar candaan, hingga membahas perihal masa lalu. Mereka telah berumur hanya untuk menyimpan kebencian.

"Bian, maaf sepertinya saya harus pulang duluan karena Ibu sudah pasti menunggu jemputan," timpal Adnan, "mungkin barangkali, kita bisa berbincang lebih lama," sambungnya seraya gegas pamit.

"Baiklah, Adnan. Saya titip salam saja pada beliau." Bian berdiri, lalu mengulurkan tangan ke depan sebagai tanda melepas pertemuan singkat ini.

Adnan membalas uluran tangan itu dengan tersenyum. Ia membelakangi Bian dan melangkahkan kaki keluar pintu kafe. Kini, hanya ada Bian serta beberapa pengunjung yang mulai berdatangan. Bian menatap secangkir kopi di hadapannya penuh senyuman.  Sebenarnya, pria itu tidak sedang membesuk siapa-siapa.

"Saya harap kita bisa bertemu lagi, Adnan," gumamnya pelan, menghela napas berat.

Bian ikut bergegas bangkit dari tempat duduk. Ia masih ingin mendatangi satu tempat, yaitu: toko bunga. Bian menyukai beberapa bunga, sebab dengan begitu rasa rindu dalam dadanya akan terasa lega. Sejak kepergian Melati—sang istri akibat serangan jantung, kini Bian lebih banyak menghabiskan waktu bersama tanaman kaktus.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Bian berada di depan toko bunga yang menawarkan banyak tanaman di dalam sana. Ia melangkahkan kakinya untuk masuk, bahkan sudah ada beberapa pengunjung. Bian memilih menghampiri tempat di mana kaktus berada. Bahkan, sebelum ia sampai, ternyata seorang pemuda tengah memandangi beberapa bentuk kaktus.

"Saya pikir anak muda seperti kamu tidak menyukai tanaman berduri ini." Bian menyindir seraya membuka perbincangan ketika berada di samping lelaki itu.

Pemuda itu—Ajis menoleh ke arah Bian. "Dari dulu aku suka kaktus, Om. Perawatannya juga tidak sesulit itu," ucapnya, meletakkan tanaman kaktus yang ada di genggaman. Lalu, mengambil kaktus lainnya.

"Bagus! Saya juga suka kaktus karena mendiang istri menyukainya," timpal Bian, memilih kaktus yang akan dibeli.

Ajis mengangguk. Ia telah mendapatkan beberapa kaktus yang ingin dirinya tata rapi dalam kafe. Kini, Ajis memilih pamit kepada Bian. Namun, pria itu mencegah dan mengajaknya untuk duduk bersantai. Rasanya, Bian merindukan kedua anaknya yang sedang sibuk pendidikan.

"Ayo, kita minum kopi dulu. Saya ingin tau mengapa kamu begitu menyukai kaktus." Bian berjalan ke kasir lebih dulu, kemudian disusul oleh Ajis dari belakang.

Mereka masih sibuk menunggu barang dikemas. Sesekali keduanya tampak berceloteh, bahkan beberapa pengunjung menjatuhkan pandangan ke arah mereka. Seperti perbincangan anak dan Bapak. Ajis dan Bian telah melakukan pembayaran, kini keduanya memilih meninggalkan toko tersebut serta mencari tempat duduk paling nyaman.

"Apa Om pernah gak menyukai sesuatu, tapi karena seseorang jadi menyukainya?" Ajis tiba-tiba bertanya ketika pesanan keduanya sampai.

Bian tampak berpikir, sebelum akhirnya memilih menjawab pertanyaan Ajis, "Pernah. Saya tidak begitu menyukai kaktus dan saya mencoba pelan-pelan untuk menyukainya. Awalnya memang melukai, tapi tidak begitu buruk." Bian tersenyum seraya mempersilakan pemuda itu menyantap hidangan di hadapannya.

"Betul, Om. Apa yang gak kita sukai belum tentu seburuk itu," ucap Ajis, menatap Bian lekat.

Tak ada perbincangan lagi, sebab keduanya saling menikmati makanan lezat itu. Ajis menatap benda yang melingkar di pergelangan tangan. Ia lupa berpamitan kepada Galen. Setelah ini selesai, Ajis memilih untuk kembali ke rumah sakit menemani Dimas seorang diri di sana.

"Kamu seperti putraku dan bisa diajak bercerita banyak hal." Bian tampak berseri-seri, tetapi raut wajahnya kini berubah murung.

"Om bisa menceritakan apa pun kepadaku, meski kita baru saja bertemu beberapa menit yang lalu. Rahasia Om terjaga aman," tawar Ajis, melanjutkan makan makanan hingga habis.

Bian tersenyum. Sedangkan, Ajis masih menyimpan rasa gundah di hati. Kehilangan itu masih membekas hingga saat ini, tetapi ia menyimpannya sendiri tanpa ingin berbagi duka pada siapa pun. Termasuk Galen.

Tiba-tiba ponsel milik Bian bergetar dan berdering di atas meja. Sontak saja ia buru-buru untuk mengecek siapa yang menelpon. Sebuah nama tertera di atas layar, tetapi belum sempat dibaca oleh Ajis. Sebab, Bian sudah lebih dulu meraih benda tersebut dan tidak menerima panggilan itu.

"Ajis, sepertinya kita harus berpisah dulu kali ini. Saya ada pekerjaan yang belum diselesaikan. Mungkin saja, kita bisa bertemu di lain waktu dan berbicara tentang kaktus lagi." Bian bergegas bangkit dari tempat duduk, memasukkan ponsel ke dalam saku celana.

"Boleh, Om. Nanti datang aja ke Kafe Semesta milikku. Aku bisa ngasih Om gratis secangkir kopi," ujar Ajis seraya terkekeh.

Bian tersenyum, kemudian pamit dan meninggalkan Ajis seorang diri tanpa mengatakan apa pun. Kini, lelaki itu masih ingin di sana lebih lama, tetapi tetiba saja teringat akan Dimas dan Galen.

"Sepertinya orang itu gak asing, tapi mirip siapa, ya?" tanya Ajis tampak berpikir, menghela napas dan menepis jauh-jauh pikirannya.

Tak ingin berlarut dengan pertanyaan dalam kepala, Ajis memilih untuk keluar dari kafe dan menenteng kantong plastik berisi beberapa bunga kaktus dalam wadah.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang