"Aleng ... Jangan tinggalkan aku." Nawala terus meracau.
Galen berjalan untuk duduk di tepi kasur, dan menatap Nawala penuh harapan. Sebuah janji yang mereka ikat, barangkali tidak akan pernah terlepas. Semua mimpi digenggam sebagaimana keduanya ucapkan di masa kecil. Jika bisa mengulang waktu, Galen tak ingin membuat Nawala merasakan hal pahit ini. Namun nyatanya, Tuhan selalu punya rencana lain.
"Aleng ...." teriak Nawala, terbangun dengan air mata yang berderai.
"Naw, istighfar. Kamu ken—"
Kalimat Galen terpotong, sebab Nawala menarik lelaki di hadapannya ke dalam pelukan. Galen bisa merasakan air mata Nawala berderai di atas punggungnya. Lalu, ia mencoba untuk mengusap pelan rambut, serta memberikan kalimat-kalimat penenang. Agar, Nawala tidak merasa takut atas apa yang sedang ia pikirkan.
"J-Jangan tinggalin aku," ucap Nawala di sela-sela isak tangis.
"Aleng gak akan ninggalin kamu lagi." Galen melonggarkan pelukan, menghapus air mata dengan jari-jari tangan,"jangan nangis lagi, ya." Lalu, tersenyum seolah menyiratkan ketulusan.
Nawala terdiam. Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi padanya. Tetiba saja nangis, dan berteriak histeris. Ingatan itu seakan-akan ingin memberikan dirinya sesuatu hal, tetapi sulit bagi Nawala untuk mengingat. Ketika dipaksakan kepalanya terasa sakit, dan bisa saja kondisinya semakin memburuk.
"Aku kenapa?" tanya Nawala, menatap Galen penasaran.
Galen menarik napas, sebelum memberikan sebuah jawaban."Kamu tadi pingsan, dan aku bawa ke sini. Istirahat aja lagi," jawabnya, bergegas pergi.
"Mau ke mana?" tanya Nawala lagi.
Galen menaikkan sebelah alis."Mau pulang." Lalu, menatap wajah Nawala yang pucat.
Nawala mengangguk.
"Istirahat aja, dan cepat sembuh. Jangan terlalu dipikirkan, gak semua isi kepalamu itu benar," sambung Galen, melangkahkan kaki meninggalkan Nawala dengan seribu pertanyaan di kepala.
Nawala menundukkan kepala seraya menatap sprei bermotif bunga matahari."Ada apa di kepalaku? Kenapa aku sulit mengingat? Apa yang terjadi, dan apa hubunganku dengan anak lelaki itu?" Pertanyaan itu terus berputar-putar.
Kini, Nawala seorang diri dalam kamar. Ruangan dengan kesunyian beserta kegelapan seakan membelenggu tanpa henti. Tanpa cahaya sedikitpun, Nawala tersesat pada ingatan yang tidak ia ingat. Ia memilih menangis tanpa suara, bahkan rasa sesak bertandang.
Sementara itu, di taman belakang rumah. Adnan tengah duduk menyenderkan kepalanya yang terasa pusing. Menatap ke atas langit, barangkali membuat pusing akan menghilang. Namun, kenyataannya sama saja—sebuah kotak berisi teror tetiba saja muncul dalam benaknya. Sontak membuat emosi Adnan meningkat. Ia pun mengepalkan tangan kuat, dan mengacak-acak rambut frustrasi.
Tiba-tiba Maryam bertandang, dan ikut duduk di samping Adnan. Raut wajah putranya terlihat sedang memikirkan sesuatu, hal tersebut sontak menjadi perhatian sang ibu. Meskipun, tidak tahu masalah apa yang sedang menimpanya. Sedangkan, Adnan masih belum menyadari keberadaan Maryam.
"Apa pun masalahmu, jangan lupa bersujud, Nak." Maryam menggenggam tangan Adnan,"hidup tanpa Allah SWT itu sulit," sambungnya tersenyum, beralih mengusap kepala putranya.
Adnan menoleh, lalu mendekap Maryam dengan erat. Menghilangkan segala kekhawatiran yang ada dalam kepala, hingga meminta maaf berkali-kali. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, bahkan Adnan sendiri tak melakukan sesuatu di luar batas.
"Adnan tidak melakukan apa pun, Bu," ucap Adnan parau, melonggarkan pelukan.
"Ibu percaya, Nak. Tapi, kadang kita tidak tau perasaan orang lain itu seperti apa. Bisa jadi mereka sakit hati karena perkataan, atau tindakan yang tidak kita sengaja," timpal Maryam, mencoba menguatkan Adnan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWALA (Tamat)
Roman d'amourIngatan adalah memori yang sangat penting bagi siapa saja, tetapi apa jadinya jika separuh menghilang? Karena sebuah insiden, Nawala harus merelakan ingatan masa kecilnya direnggut secara paksa. Namun, ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di kam...