Ingatan kembali dijatuhkan, meski lukisan bekas jejak kaki tersapu oleh ombak. Angin berdesau silih berganti, bahkan cuaca hari ini tampak mendung. Sebagian manusia bumi lebih senang mengabadikan momen bersama, daripada duduk sendirian menatap hamparan lautan di depan mata. Sesekali, perempuan itu menatap ke arah sekumpulan manusia lainnya—sedang tertawa, atau ikut tersenyum akibat lelucon receh salah satunya.
Nawala menghirup aroma anak-anak ombak yang sibuk berlarian ke tepi. Entah mengapa, ia lebih senang menikmatinya dengan terdiam. Bahkan, rasanya lebih tenang, meski kepala terus saja membisingkan pertanyaan dari kata-kata yang sulit terucap. Terlalu asyik melamun, hingga tanpa sadar ombak berhasil menyentuh kakinya.
Tiba-tiba dari arah belakang Bintang menempelkan botol minuman dingin pada pipi Nawala. Sontak saja membuat perempuan itu tersentak kaget. Ia memilih menghapus sisa air yang melekat tanpa berbicara sepatah kata pun. Sedangkan, Bintang hanya tertawa menyaksikan wajah Nawala yang menahan kesal.
"Ngapain duduk di sini sendirian?" tanya Bintang, menatap Nawala lekat.
Tak ada sahutan. Sebab, Nawala masih sibuk mengedarkan pandangan ke arah depan.
"Marah, ya?" Bintang bertanya lagi, "Yaudah, maaf," sambungnya lirih seraya mengembuskan napas.
Nawala menoleh ke samping, menatap wajah Bintang sekilas. Hingga akhirnya, ia kembali menjatuhkan pandangan pada sebotol minuman yang sudah tak lagi mendingin.
"Tang, jika laut merebut sesuatu yang paling berharga darimu, apa kamu akan membencinya?" Nawala melempar pertanyaan dengan raut wajah serius, sedangkan Bintang mengerutkan kening.
Bintang tampak berpikir, sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaan Nawala. "Aku gak akan membenci apa pun yang udah ditakdirkan. Semua yang terjadi pasti ada alasannya," jawabnya tersenyum, mengacak-acak rambut Nawala.
Nawala mengangguk.
"Jika aku adalah penjahat dan melakukan sesuatu yang fatal, apa kamu akan membenciku?" Kali ini, Bintang bertanya tanpa menampilkan ekspresi apa pun—terlihat datar dengan sorot mata teduh
"Selagi kamu gak bunuh orang, aku maafin," jawab Nawala, mengangkat bahu seolah abai.
Bintang tertawa mendengar penuturan Nawala. Ia semakin gemas dengan tingkah laku perempuan itu. Bahkan, ia berencana untuk mengungkapkan perasaannya. Meskipun demikian, Bintang masih terlalu takut untuk ditolak. Ia tak ingin merusak persahabatan yang telah dirinya jalin selama beberapa tahun ini.
Nawala gegas bangkit. Ia ingin menyelusuri pantai sekitar tanpa ditemani siapa pun. Sebelum melangkah kaki, tiba-tiba Bintang menarik lengan Nawala. Alhasil membuat perempuan itu menoleh.
"Mau ke mana?" tanya Bintang, "Biar aku temenin," lanjutnya bergegas bangkit, membersihkan sisa pasir yang menempel pada bokong.
"Aku pengen sendiri dulu," jawab Nawala, melepas cekalan tangan Bintang.
Bintang tidak tinggal diam. Ia kembali mencekal lengan Nawala, agar tak menuruti keinginannya untuk ke sana.
"Enggak! Jangan ke sana sendirian, Naw. Aku temenin kalo kam—" Kalimat Bintang terpotong, sebab Nawala menghempas tangan Bintang kasar.
"Aku butuh waktu sendiri, Tang. Aku bukan anak kecil lagi!" Nawala berjalan dan tak menoleh ke arah belakang.
Bintang tidak mengejar lagi, ia terus menatap Nawala telah menjauh darinya. Ekspresi itu tetap sama tampak datar, kini ia beralih memasukkan tangan ke dalam saku celana. Ketika ingin berbalik, sontak saja Nadir sudah muncul entah sejak kapan.
"Dir! Kalo aku jantungan gimana?!" gerutu Bintang, memegang dadanya berdegup kencang akibat kaget.
"Gitu aja jantungan, emangnya aku hantu sampai kaget gitu? Aneh kamu, Tang." Nadir terkekeh seraya membalikkan badan, berjalan menjauh dari Bintang.
Bintang menyusul. "Kamu yang aneh! Tiba-tiba muncul udah kayak—" Kalimatnya terjeda, sebab Nadir melempar tatapan tajam. Sedangkan, Bintang tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Nadir mulai ketakutan.
Beberapa pengunjung mulai memadati lokasi pesisir pantai. Terlihat perbincangan di mana-mana, tetapi kekhawatiran tampak singgah dalam dada Bintang. Ia terus mengamati laut, bahkan sesekali menghela napas kasar. Tiba-tiba Tias bertandang seraya menarik Bintang menjauh, sedangkan Nadir menatap keduanya dengan tatapan menaruh curiga.
"Gak Nawala, gak Tias semua diembat. Terus, aku sama siapa?" tanya Nadir menunjuk diri sendiri, tanpa mengalihkan pandangan dari Bintang dan Tias.
Di posisi yang tak jauh dari Nadir, kini Bintang dan Tias tengah membicarakan hal serius sangat terlihat dari raut wajah keduanya. Nadir sendiri tak ingin menguping, ia mencoba untuk mengalihkan perhatian dengan menyapa para wisatawan mancanegara.
Bintang berjalan lebih dulu, sedangkan Tias menyusul dari belakang hingga membuat Nadir mengerutkan kening. Ketiganya kembali duduk di tempat semula, berteduh dari mentari yang perlahan menusuk. Padahal, tadi terlihat mendung. Semua bisa berubah, apalagi cuaca.
"Satu aja, Tang. Jangan diembat semua 'kan aku gak ke bagian," sindir Nadir, memakai kacamata hitam miliknya.
Bintang menaikkan sebelah alis. Ia tak mengerti arah perbincangan Nadir, tetapi tak ingin menanggapinya.
"Nawala mana?" Tias tiba-tiba bertanya, menatap ke arah Bintang dan Nadir bergantian.
"Dia lagi pengen sendiri, katanya. Gak tau ke mana," jawab Bintang ketus, berjalan pada ayunan kayu.
Tias mengangguk.
"Kusam banget tuh muka. Tenanglah, biarin Nawala sendiri dulu. Lagian dia gak akan tersesat," sahut Nadir, menyakinkan Bintang.
Tak ada sahutan dari Bintang. Ia merasa khawatir pada satu hal, barangkali berkaitan dengan apa yang terjadi selanjutnya. Namun, Bintang berharap Nawala mampu mengatasi, meski nyawa adalah taruhannya. Sedangkan, Tias terus menatap wajah Bintang lekat.
***
Nawala menyelusuri pantai dengan kaki telanjang. Jejak-jejak yang ia tinggalkan di belakang masih membekas dan tak tersentuh oleh ombak. Ia membiarkannya di sana tanpa ingin menghapus. Angin berembus melambai-lambai pada daun kelapa. Nawala memberhentikan diri dengan menatap wajah anak-anak ombak yang sibuk berkejar-kejaran tanpa henti. Ia tetap berdiri seraya menikmati keindahan laut.
Tiba-tiba sebuah sapu tangan yang telah diberi obat bius, kini berhasil membekap mulut Nawala. Sebelum akhirnya benar-benar menutup mata, Nawala sempat melihat sosok tersebut. Seseorang dengan mata yang tak asing tertutup masker dan topi berwarna hitam. Nawala terkulai lemas, bahkan samar-samar terdengar suara itu. Ia tak kuat lagi menahan diri, hingga akhirnya perlahan memejamkan mata.
"Bawa dia cepat!" titah Tuan dari belakang, membuka ponsel dengan menyalakan kamera, "lihat, Adnan! Putri kesayangan kamu akan segera tiada," sambungnya disertai dengan gelak tawa keras.
"Tuan, ini mau kita apakan?" tanya seseorang yang diperintahkan itu bernama Bobi—sopir Tuan.
"Buang dia ke laut, biarkan saja dia jadi santapan lezat ikan," titah tuan sekali lagi, yang mendapat anggukan dari Bobi.
Kamera masih menyala yang terus diarahkan pada Nawala. Sesekali tuan tertawa menyaksikan nasib malang perempuan itu. Keduanya berjalan ke arah tebing, lalu memposisikan Nawala untuk berdiri di atas karang. Sebelum diterjunkan turun, Tuan mengucapkan selamat tinggal.
"Selamat tinggal putri kesayangan Adnan." Tuan tersenyum puas, lalu mematikan kamera. "Jatuhkan dia!" lanjutnya seraya mengamati area sekitar, agar tak ada yang dapat melihat.
Nawala terjatuh ke dalam air. Sedangkan, Tuan dan Bobi sontak saja memilih berlari meninggalkan tempat kejadian. Keduanya tak ingin diketahui, meski sebenarnya seseorang diam-diam mengamati mereka dari jauh. Tidak ada pilihan, kecuali bersembunyi mengumpulkan banyak informasi. Setelah dirasa sepi, akhirnya ia keluar dan ikut menyelam tanpa pikir panjang.
"Argh, sial! Nawala kamu di mana?!" tanya Galen, terus mencari perempuan itu dengan tenaga yang ada.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWALA (Tamat)
RomanceIngatan adalah memori yang sangat penting bagi siapa saja, tetapi apa jadinya jika separuh menghilang? Karena sebuah insiden, Nawala harus merelakan ingatan masa kecilnya direnggut secara paksa. Namun, ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di kam...