26: KEBENCIAN

3 2 2
                                    

Kejujuran memang menyakitkan seperti apa yang dirasakan oleh Nadir, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa, selain melawan egonya. Kini, Tias dan Nadir mencari Nawala dengan mengendarai motor sewa. Dalam perjalanan itu Nadir dan Tias hanya saling mendekap kesunyian. Tak ada percakapan, atau sekadar basa-basi.

Tias mencoba melacak ponsel milik Bintang, tetapi hasilnya nihil. Hingga ia berhasil menemukan keberadaan Nawala di sebuah gudang tua yang tak jauh dari tempatnya berada. Tias sontak memberitahu Nadir, agar mereka lekas menuju ke sana. Namun, tiba-tiba saja ban motor itu mengalami kebocoran. Alhasil, Nadir harus membawa ke bengkel.

"Argh, sialan! Kenapa harus di waktu ini, sih?!" keluh Nadir, mengacak rambut frustrasi.

"Terus ini kita harus gimana?" tanya Tias gelisah, menatap ban motor yang bocor.

Nadir mengangkat bahu seolah tak peduli. Ia terus menggerutu tanpa henti dengan memandangi ban itu.

"Kamu duluan aja, biar motor ini aku yang urus," titah Nadir seraya menatap Tias lekat, memposisikan diri untuk mulai mendorong motor, "Kabarin kalo ada apa-apa," sambungnya, berlalu meninggalkan Tias tengah mematung.

Ada perasaan lega dalam hati Tias ketika Nadir masih mengkhawatirkannya, meskipun ia tahu bahwa kekecewaan itu masih melekat di sana. Tak ingin menunggu lama, akhirnya Tias bergegas untuk berlari ke tempat tersebut. Sebelum memasuki pagar, ia sempat tersandung batu hingga Tias terjatuh dan terdapat memar pada lutut.

Tias mencoba untuk bangkit serta kembali berlari dengan lutut yang terasa perih. Ia mulai menetralkan napas, agar tak terlihat buru-buru. Sebisa mungkin ia mencoba lebih tenang. Ketika mendekati pagar besi yang telah berkarat, keberadaan Tias ternyata terlihat oleh Bobi. Sontak saja pria itu langsung menyuruh kedua anak buahnya membukakan pintu.

"Ayah mana?" tanya Tias datar, berjalan memasuki area gedung.

"Di atas, Nona. Mari saya antar ke ruangannya," jawab Bobi lembut, berjalan lebih dulu.

Tias mengangguk dan menyusul dari belakang tanpa mengatakan apa pun. Kini, keduanya telah sampai di depan ruangan yang dimaksud oleh Bobi. Pria itu mempersilakan Tias masuk, sedangkan di dalam sana Bintang dan Tuan menyambut kedatangan Tias.

"Kalo begitu saya pamit ya, Nona." Bobi meninggalkan mereka, mengedipkan sebelah mata pada Tias dengan manja.

Tias mengalihkan pandangan, sebab terlalu muak dengan tingkah laku Bobi yang masih sering menggodanya.  Tiba-tiba Tuan menghampiri Tias dan memeluk putrinya itu. Namun sayang, Tias memundurkan langkah ke belakang. Hingga membuat Tuan menampakkan ekspresi wajah heran.

"Ayah harus lepasin Nawala," ucap Tias sendu, menatap Tuan dengan ragu.

Tuan menghela napas. "Ayah masih menepati janji untuk tidak melukai sahabatmu itu," timpalnya seraya berjongkok di hadapan Tias, sebab Tuan melihat celana yang dipakai putrinya koyak, "Kamu jatuh di mana?" tanya Tuan, menengadah ke arah Tias.

"Jatuh di depan sebelum memasuki pagar." Tias menatap lutut dengan memar.

Sementara itu, Bintang bangkit dari tempat duduk, meraih kotak P3K di atas meja. Lalu, ia memberikannya pada Tias. Meski, terlihat cuek, tetapi Bintang punya kepedulian yang tinggi terhadap Tias.

"Ck! Ceroboh! Nih, obati sendiri, jangan manja," suruh Bintang, meninggalkan Tias dan Tuan dalam ruangan.

Tias menatap kepergian Bintang dengan menahan kesal. Lelaki itu selalu saja begitu, meninggikan gengsi terhadap adiknya. Umur Bintang dan Tias tidak beda jauh, hanya terpaut beberapa angka.

"Sini, Ayah obatin luka kamu. Kalo jalan itu harus fokus. Ayah tidak mau kehilangan kamu," gumam Tuan seraya menuntun Tias duduk di sofa, mengobati lutut putrinya.

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang