16: TAK ADA PILIHAN

5 3 6
                                    

Bau rumah sakit menyeruak ke dalam indra penciuman. Hal paling tak disukai oleh banyak orang, tetapi itu juga yang tak mampu dihindari. Sebuah ruangan dengan cat tembok putih bercampur biru, disekelilingnya terdapat nakas beserta jendela yang dibiarkan terbuka, agar angin menemukan jalan untuk masuk.

Ajis terbaring dengan mata tertutup, pun selang infus masih melekat di telapak tangan. Kini, pintu terbuka memperlihatkan sosok Galen dan Dimas yang tengah menatap ke arah lelaki itu. Sontak saja membuat Dimas berlari menghampiri. Sedangkan, Galen membiarkannya tanpa ingin mencegah sedikitpun.

"Semoga sembuh, Abang," ucap Dimas seraya menggenggam tangan Ajis, beralih tersenyum ke arah Galen.

Galen berjalan ikut menghampiri Dimas, lalu mengusap kepala anak lelaki yang tengah menatap Ajis penuh kasih sayang. Meski, masih terbilang baru bertemu, keduanya saling memiliki ikatan kuat.

Perlahan jemari Ajis bergerak, bahkan matanya terbuka. Binar di mata Dimas semakin terlihat jelas betapa bahagia dirinya. Ketika menyadari genggaman anak kecil, sontak membuat Ajis menghempas tangan Dimas. Hampir saja terhuyung ke belakang, untungnya Galen dengan sigap memeluk.

"Jis, jangan kasar sama anak kecil!" Suara Galen meninggi, menatap tajam ke arah Ajis yang baru bangun dari tidur.

"Ngapain kamu bawa dia ke sini?!" timpal Ajis ketus, memalingkan wajah keluar jendela.

Raut wajah Galen dipenuhi dengan tanda tanya di kepala. Ia tak menyadari bahwa Ajis telah mengetahui semuanya, tetapi sejak kapan? Pikirnya.

"Dia yang merebut perhatian kedua orang tuaku hingga aku sendiri dibuang oleh mereka," sambung Ajis, menghapus air mata.

Terjawab sudah. Namun demikian, Galen tak ingin menyalahkan siapa pun, apalagi keadaan keduanya belum sepenuhnya membaik. Suasana di ruangan itu tampak hening tak ada perbincangan sama sekali, sementara Dimas terus saja memegangi kepalanya yang terasa pusing. Hingga pada akhirnya, ia ambruk di atas lantai dengan mengeluarkan cairan kental berwarna merah dari hidung.

Ajis dan Galen saling menoleh. Kini, Galen bergegas membawa Dimas ke ruangan, agar mendapat perawatan kembali. Ajis menatap kepergian keduanya dengan rasa bersalah. Ia tak seharusnya mengatakan itu kepada Dimas, tetapi Ajis sendiri belum bisa menerima kehadiran anak lelaki yang masih menjadi bagian darah daging Egy.

"Siapa yang harus aku salahkan?" Pertanyaan itu dilontarkan Ajis di ruangan, yang dihuni oleh dirinya sendiri.

Sementara itu, Zainal merasa terkejut ketika melihat Galen telah menggendong Dimas dari luar ruangan Ajis. Sontak Zainal pun segera merebut Dimas dari Galen. Mereka terburu-buru, hingga tanpa sadar Galen tak sengaja menyenggol seorang Dokter muda—Tenri—yang sedang berjalan begitu santai. Hingga harus terduduk di atas lantai dengan pergelangan kaki terkilir, sebab menabrak dada bidang Galen.

"Maaf aku gak sengaja, soalnya dalam keadaan darurat," ucap Galen panik, membantu Tenri untuk bangkit.

Namun sayangnya, ketika Dokter Tenri mencoba untuk meraih dan berdiri dibantu Galen, ia merasakan kakinya terasa perih. Bahkan, ia mencoba meluruskan pergelangan kaki, tetapi tetap saja sakit. Sontak membuat Galen menuntun ke arah kursi yang tak jauh dari posisi mereka.

Galen berjongkok di hadapan Dokter Tenri, menatap wajahnya. "Tolong, kakinya diluruskan." Setelah mendapat anggukan, Galen pun bergegas mengurut pergelangan kakinya. Sedangkan, perempuan itu terus meringis kesakitan.

"Terima kasih dan maaf merepotkan." Dokter Tenri merasa tak enak, menggerakkan perlahan pergelangan kakinya itu.

"Gak masalah. Aku yang harusnya minta maaf atas kejadian tadi," tutur Galen, "kalo begitu, aku izin pamit," sambungnya seraya bergegas pergi, tetapi lengannya berhasil dicekal oleh Tenri.

Tenri mengulurkan tangan ke arah Galen."Kita belum kenalan. Aku Tenri, kamu?" Kemudian, tersenyum manis, menanti Galen ikut mengulurkan tangan.

"Galen," jawabnya singkat, lalu meninggalkan Tenri tanpa ingin menjabat tangan perempuan itu.

Setelah kepergian Galen, Tenri terus tersenyum ketika mendapati tingkah laku manis dari Galen. Lelaki itu sulit ditebak, terkadang cuek, tetapi tiba-tiba berubah ramah. Hal itu yang membuat Tenri ingin mengenal Galen secara dalam. Kini, Tenri memasuki ruangan Matahari tempat di mana Ajis terbaring di sana. Sudah tugasnya untuk melakukan pemeriksaan hari ini.

***

"Ayah, kenapa kita harus melibatkan mereka yang tidak bersalah?" tanya seorang perempuan bernada sendu di telepon.

Terdengar lelaki paruh baya tertawa di seberang sana. Sesekali mengusap lembut rambut, lalu ia pun terlihat memanjakan kucing yang sedang tergeletak di atas kasur. Senyum dan bibirnya penuh akan dendam.

"Mereka ikut serta—" Ia menggantungkan ucapannya, sebab suara pintu terbuka dan sosok perempuan tengah tiba-tiba menghampiri. Bergelayut manja dalam dekapan.

"Kamu teleponan sama siapa, Mas?" tanyanya seraya menatap ke arah kekasihnya.

"Anakku," jawab pria itu singkat, "Kamu gak perlu memikirkan hal itu, kamu cukup jalankan tugas yang Ayah berikan. Ingat janji kalian!" sambungnya beralih menekan tombol untuk mengakhiri panggilan.

Sedangkan, perempuan yang disebut anak—tengah merebahkan tubuh di atas kasur. Terdengar helaan napas berat seperti ada setumpuk rasa penyesalan di sana. Dari perjanjian itu, harusnya ia tak ikut terjebak dalam dendam ini. Kini, ia memijit pelipisnya yang terasa pusing. Bahkan, ia berkali-kali ingin memejamkan mata, tetapi perkataan sang ayah terus berputar tanpa henti.

"Apa yang harus aku lakukan, Ma?" tanyanya berjalan ke arah jendela, menengadah ke atas langit, "Rasanya, aku gak sanggup lagi mengikuti keinginan Ayah," gumamnya berkali-kali.

Tiba-tiba pintu terbuka memperlihatkan sosok perempuan berjalan ke arahnya, kemudian beralih pada lemari untuk mengambil beberapa lempar pakaian. Sontak saja membuat perempuan itu—Tias— dekat jendela tersentak kaget.

"Kamu kenapa se-kaget itu?" tanya Nawala, menyipitkan mata.

Tias menggaruk tengkuk yang tidak terasa gatal. "Kalo masuk biasakan ketuk pintu dulu," jawabnya seraya kembali duduk di tepi kasur.

"Aku udah ketuk berkali-kali, tapi kamu gak dengar. Jadi aku masuk aja, lagian kamu kenapa? Hari ini, aku merasa semua orang aneh ketika melihatku," balas Nawala, menggelengkan kepala berkali-kali.

Tias terdiam. Ia memilih merebahkan tubuh di atas kasur empuk milik Nawala. Tias ingin menceritakan masalahnya, tetapi seakan tercekat di tenggorokan. Ia terlalu capek memendam banyak hal, apalagi masalah tentang keluarga. Persahabatan mereka sudah terjalin lama. Namun, Nawala sama sekali belum mengetahui identitas keluarga Tias, terlebih lagi Bintang. Sedangkan, Nadir seorang anak dari pengusaha sayuran bekerja sama dengan warung makan milik keluarga Nawala.

Tak ada perbincangan, sebab Tias memejamkan mata, agar kantuk segera bertandang. Meski, tertidur secara paksa. Tias tidak ingin jika Nawala menaruh curiga padanya. Apa semua akan terbongkar? Tias membatin, sebelum benar-benar kehilangan suara Nawala. Ketika membuka mata dan menoleh, ternyata Nawala sudah keluar dari kamar.

"Aku harap semua lekas selesai." Tias beralih menatap ke langit-langit kamar, hingga akhirnya kantuk mengetuk.


Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang