6 : MERINDUI KITA

15 4 14
                                    

Perempuan itu terus melangkahkan kaki keluar dari lorong. Sesekali ia menghirup udara segar, lalu memotret banyak hal. Hempasan ombak terdengar lebih bergemuruh pagi ini, bahkan tampak perahu nelayan memilih berlabuh di bibir pantai. Nawala berhenti sejenak untuk mengabadikan momen. Atau, menyapa anak kecil sedang berlarian di pinggir jalan. Ada banyak ingin—Nawala ulang—ikut kakek memancing ikan, misalnya.

Namun sayangnya, semua telah berbeda. Kini, tinggal kenangan yang setiap saat Nawala tatap dari ingatan membelenggu. Setelah kepergian kakek Buyung, Adnan memilih membawa Nawala ke Jakarta untuk mendapat pengobatan. Di sinilah Nawala, melarikan diri dari riuhnya isi kepala.

"Healing terbaik adalah lari di tempat yang paling banyak menyimpan kenangan." Nawala tersenyum, mengarahkan kamera ke arah perahu.

Kemudian, melanjutkan langkah untuk mengunjungi Kafe Semesta milik Ajis. Nawala berharap mendapatkan sesuatu yang berbeda di sana, bukan rasa jenuh apalagi Maryam terus saja melarangnya untuk mengeksplorasi berbagai pantai seorang diri.

Kini, Nawala telah sampai di depan sebuah Kafe. Beberapa motor berjejer rapi, terlihat dari luar ada banyak pengunjung. Lebih banyak dari hari kemarin, di mana ia memilih mengistirahatkan diri sejenak setelah menempuh perjalanan jauh. Ketika ingin bergerak masuk, tetiba saja motor tua berhenti tepat di sampingnya. Sorot mata Nawala membulat, sedangkan lelaki itu memandang datar.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Ajis tanpa ekspresi, turun dari motor.

Nawala menaikkan sebelah alis."Memangnya kenapa?" tanyanya ketus.

Ajis berjalan, berdiri di depan Nawala. Kini, keduanya saling memandang tak suka satu sama lain. Saling melempar tatapan sengit, seolah keduanya siap untuk berperang.

"Minggir! Aku mau masuk," titah Ajis, masuk ke dalam Kafe meninggalkan Nawala berdiri di depan pintu.

"Dasar laki-laki sombong!" gumam Nawala, menahan diri untuk tidak memaki lebih keras. Kemudian, melangkahkan kaki masuk ke dalam Kafe.

Keramaian menyambut Nawala lebih dulu, sebelum matanya menangkap sosok seorang lelaki yang sedang duduk di pojok sembari membaca buku dengan serius. Bagaimana bisa ia se-nyaman itu di sana, sedangkan riuh mengelilingi tanpa henti? Kini, Nawala memilih berjalan menuju Galen. Namun sayangnya, langkah Nawala terhenti, dan tak sengaja menabrak sepasang kekasih yang tengah menenteng kantong. Alhasil, isinya berhamburan di atas lantai.

"M-Maaf, aku gak sengaja. Ak—" Nawala terbata-bata, berjongkok membereskan isi dalam kantong tersebut.

"Kamu punya mata gak, sih?!" bentak perempuan berambut keriting, menatap tajam ke arah Nawala.

Sementara itu, Ajis yang mendengar keributan sontak berlari ke arah Nawala. Meredam suasana semakin riuh, dan ikut membereskan sesuatu yang berceceran.

"Kamu harus hati-hati." Ajis berdiri, dan melirik pada Nawala. Lalu, menyerahkan kantong plastik kepada Dina—perempuan dengan emosi meledak.

Kantong itu direbut secara paksa oleh Dina, kemudian dilemparkan kembali ke atas lantai. Kali ini isinya benar-benar pecah, dan kantong mulai koyak. Seluruh pengunjung sangat menyayangkan sikap Dina yang begitu arogan. Terlebih lagi, Jian—kekasihnya berkali-kali memperingatkan, tetapi tak mendapat respon oleh perempuan itu.

"Saya gak butuh sampah itu!" cibir Dina menunjuk lantai,"kamu harus ganti rugi," sambungnya ketus, menatap tajam Nawala.

"Sayang udah, dong. Nanti aku beliin lagi. Ayo, pulang!" celetuk Jian lembut, menarik Dina menjauh. Namun, perempuan itu menolak.

Dina menepis tangan Jian. Maju satu langkah ke depan untuk mendekat pada Nawala, tetapi Galen sudah lebih dulu berdiri menghadang. Alhasil, Dina mundur ke belakang.

"G-Galen, kamu nga—"

"Dia sudah minta maaf, Din. Jangan makin memperkeruh suasana," potong Galen dengan dingin, "biar aku yang ganti." Lalu, menunjukkan bukti transfer.

Dina tak bisa berkutik lagi. Ia meninggalkan Kafe tanpa mengatakan apa pun, kini Jian meminta maaf atas perbuatan Dina. Sedangkan, Nawala dan Ajis saling pandang satu sama lain sampai akhirnya kembali bersikap tidak suka.

"Jalan itu pake mata!" Ajis mencemooh pelan, tetapi masih bisa terdengar oleh Nawala.

Nawala menaikkan sebelah alis."Jalan pake kaki," balasnya, berjalan meninggalkan Ajis dan Galen.

Galen terkekeh.

"Len, kamu biasanya jalan pake apa?" tanya Ajis, menatap Galen kebingungan.

Sebelum berjalan kembali di tempat duduk, Galen menyentil dahi Ajis. Sontak membuat lelaki itu meringis kesakitan."Pake jari," jawabnya sembari terkekeh.

Ajis terus bergumam, hingga salah satu pengunjung mendengar. Bukannya menyudahi, Ajis malah semakin dia buat kebingungan. Pasalnya, jawaban pria tua itu sungguh mengejutkan.

"Jalan pake sendal," ucap pria tua—menyeruput secangkir kopi, tanpa memandang ke arah Ajis.

'Argh! Jalan pake apa ajalah!'

Kini, Ajis dibuat frustrasi karena satu pertanyaan yang memiliki sudut pandang berbeda. Ia tak ingin berlarut-larut, sontak memilih berjalan menuju meja Galen di mana ada Nawala juga di sana. Sedangkan, Nawala hanya diam, dan melirik sebentar. Lalu, kembali fokus bermain game offline dalam ponselnya. Sementara itu, Galen sibuk melanjutkan bacaan yang tertunda.

"Len, si Dina pacarnya je—" Ajis menggantung perkataan.

Galen berdeham,"Biarin aja," jawabnya, menutup buku yang ia baca.

Tak ada perbincangan lagi, sebab Ajis dan Galen saling melempar pandangan ke arah Nawala yang berkali-kali mengeluh kalah.

"Gak usah main game kalo emosi." Lagi, lagi Ajis menyindir, sontak membuat Nawala menghentikan aktivitasnya.

"Sok tau," ucap Nawala, menghela napas panjang.

"Gak sok tau, buktinya kamu kalah," timpal Ajis, tertawa keras hingga membuat pengunjung menatap ke arah mereka.

Nawala memutar bola matanya malas. Ia sangat lelah menghadapi ocehan lelaki di samping Galen itu. Sedangkan, Galen hanya membuat simpul di bibir. Kini, rasa bosan semakin menyelimuti hati Nawala. Ia tidak tahu harus melakukan apa, bahkan tiba-tiba saja beberapa nama terlintas dalam benaknya.

"Udahlah! Aku mau kembali ke ruangan," pamit Ajis, "Len, kalo pulang titip bawain tasku, ya," sambungnya, berjalan lebih dulu sebelum mendengar penuturan Galen yang kembali membaca.

Selepas Ajis pergi, Nawala mulai bersorak dalam hati. Ia rasanya ingin duduk di sini berdua lebih lama, meski Galen sibuk menciptakan dunia sendiri tanpa membawa Nawala di dalamnya. Nawala sendiri dibuat bingung, sebab di tengah keriuhan Galen masih bisa fokus.

"Kenapa harus membaca? Kan bisa menonton film, atau mengunjungi tempat yang indah," ucap Nawala, memperbaiki posisi duduk.

"Karena dengan membaca bisa menambah kosakata, dan mengunjungi dunia gak perlu biaya mahal." Galen terus menatap buku tanpa mengalihkan pandangan.

"Sekali-kali kamu harus melihat langsung keindahan dunia, bukan hanya sekadar membaca buku aja," timpal Nawala, merebut buku dari genggaman Galen.

Galen menghela napas. Ia kini menatap wajah cantik Nawala. Perempuan itu melebarkan senyum, hingga membuat Galen ingin terus memandang lama. Ada kerinduan di dalam hati, meski ingatan lama tak kunjung ditemukan.

"Aku sudah melihat keindahan di depan mataku," gumam Galen, merebut kembali buku itu.

Sontak saja membuat pipi Nawala memerah. Ia segera mengalihkan pandangan keluar kaca jendela. Menatap orang-orang berlalu lalang, dan polusi tersebar cukup luas siang ini. Sebab, asap kendaraan bermotor mengudara di mana-mana. Terlebih lagi, cuaca kadang tak menentu.

"Kapan kamu ingat aku?" tanya Galen pelan, terus menatap ribuan aksara.

Nawala menoleh cepat. Ia ingin mendengar ulang apa yang Galen katakan."Kamu ngomong apa tadi?" tanyanya penasaran.

"Aku baca ini 'kapan kamu ingat aku? Rasanya, sudah lama kita tak mencumbui kenangan'," jelas Galen berbohong, yang mendapat anggukan dari Nawala.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang