4 : JAKARTA TANPA NAWALA

18 4 10
                                    

Jakarta, 15 Januari 2023

"Bintang, tau Nawala di mana gak? Beberapa hari ini, aku gak ada liat dia di kampus," ucap Tara—lelaki tenar yang kerap mengejar Nawala ke mana-mana.

"Aku juga gak tau Nawala di mana. Coba tanya Tias," titah Bintang—sahabat Nawala, menunjuk ke arah perempuan yang sedang duduk membaca buku.

Tara mengangguk. Ia segera berjalan menghampiri Tias untuk sekadar mencari tahu keberadaan orang yang ia cintai. Meskipun, Nawala telah menolaknya 77x.

Sementara itu, Bintang merogoh ponsel dari dalam saku celana. Ia mengotak-atik, sebelum menelpon seseorang di seberang. Namun, tak menjumpai hasil, sebab nomor yang dituju sedang sibuk.

"Kebiasaan banget, nih, anak kabur kalo ada masalah." Bintang menghela napas, memasukkan kembali benda tersebut ke dalam saku.

Bintang menghampiri Tias dan Tara yang tengah berbincang. Lalu, terlihat dari arah yang tidak jauh seorang lelaki tengah berlari menuju kemari—Nadir—sahabat Nawala.

"Dari mana?" tanya Bintang, ketika Nadir telah sampai.

"Perpustakaan," jawab Nadir santai,"dia ngapain di sini?!" tanyanya ketus, memandang datar ke arah Tara.

Hubungan Nadir dan Tara memang tidak membaik sejak mereka berada di SMA. Bahkan, sempat terjadi pertengkaran hebat oleh keduanya. Hal tersebut disebabkan karena Tara telah merebut kekasih Nadir.

"Bukan urusanmu!" Tara berdiri, bergegas pergi meninggalkan ketiganya.

Langkah Tara belum jauh, tetapi Nadir telah mencibir dengan sangat keras. Hingga membuat semua orang yang berada di sana menatap ke arah mereka. Akan tetapi, Tara tidak peduli. Ia terus berjalan memasuki fakultas Ekonomi, sedangkan ia adalah anak dari fakultas Ilmu Komunikasi.

Sementara, Tias menutup buku yang telah dibaca. Lalu, berdiri di antara dua sahabat lelakinya. Mengandeng tangan mereka, lalu menuntun keduanya untuk berjalan bersama. Sontak membuat Bintang dan Nadir pasrah tanpa mengatakan apa-apa. Sepanjang perjalanan menuju kantin, sesekali Nadir melempar banyak pertanyaan pada Tias, tetapi tak ada satu pun yang terjawab. Seperti; kenapa Tias jomlo? Padahal, dia seperti Nawala yang dikejar-kejar oleh banyak lelaki. Perempuan dengan rambut sebahu itu, tak ingin terlalu berkutat dengan cinta. Apalagi, sampai mengorbankan impian sedari dulu dibangun.

Kini, mereka telah berada di kantin. Ketika pertama kali melangkahkan kaki masuk, hampir seluruh mata memandang ketiganya. Bintang dengan ketampanan mampu memikat hati, Nadir yang memiliki warna kulit sawo matang, tetapi manis, sedangkan Tias salah satu mahasiswa tercantik dengan lesung pipi di wajah. Jika Nawala berada bersama ketiganya, maka semua akan sempurna.

"Dir, kamu yang pesan, deh. Aku lagi malas," titah Tias, duduk di kursi seraya meletakkan tas.

Nadir mengangguk. Ia segera bergegas menuju tempat untuk memesan makanan. Lelaki itu sudah hafal makanan kesukaan Bintang dan Tias—mie ayam, tetapi tidak perlu diberi topping kacang. Sebab, keduanya alergi. Terkadang, Nadir merasa bahwa keduanya adalah saudara yang terpisah lama, lalu disatukan dalam bentuk sahabat.

"Mbak Li, saya pesan 2 mie ayam tanpa kacang, 1 mie goreng banyakin bawang atasnya, dan minumnya 3 jus jeruk," jelas Nadir, mengeluarkan selembar uang dari saku celana.

Nadir tidak memesan air lemineral, sebab di meja telah disediakan sejak dulu.

Mbak Lia—pemilik kantin mengangguk. Ia bergegas membuatkan pesanan Nadir."Baik, Mas. Nanti kalo sudah Mbak bawakan ke tempat, ya," ucapnya tersenyum ramah.

Nadir pamit, tetapi ketika hendak berjalan ia tak sengaja menabrak seorang perempuan berkacamata. Hingga membuat kacamatanya terlempar, lalu tak sengaja terinjak oleh Ratu dan teman-temannya. Sontak ia berjongkok, dan meraba benda tersebut.

"Ups! Kacamata murahnya pecah." Ratu tertawa keras, mengelap kaki di atas lantai seolah merasa jijik.

Sontak semua mata memandang ke arah mereka, termasuk Tias dan Bintang segera berjalan menghampiri Nadir. Terlebih lagi, Nadir sendiri masih tak berkutik di tempat. Ketika berada di sana, Tias mencoba membantu Antala berdiri—perempuan yang sedang mencari kacamata.

"Heh, ratu siluman!" panggil Tias, sontak membuat Ratu menatap tak suka,"kamu benar-benar gak punya hati, ya!" sambungnya mendekat, dan mengambil kacamata dengan kaca yang sudah retak.

"Kamu menyebut aku apa tadi?!" Berjalan mendekati Tias. Sontak suasana menjadi panas, sebab Tias dan Ratu saling melempar tatapan tidak suka.

Tias semakin geram dibuatnya."Ratu siluman yang gak punya hati. Kenapa?! Mau marah? Silakan!" bentaknya, mendorong Ratu menjauh. Hingga hampir terhuyung ke belakang, tetapi berhasil ditahan oleh kedua sahabatnya.

"Beraninya kamu!" Ratu tidak terima. Ia pun berjalan mendekati Tias kembali, melayangkan tangan ke atas untuk mendaratkan tamparan. Akan tetapi, berhasil dihalangi oleh Bintang.

Seperti drama yang ada pada sinetron. Semua mata tertuju kepada mereka. Bahkan, tak ada satu pun yang berani ikut campur. Sebab, Ratu adalah anak seorang pengusaha yang memiliki peran penting di Universitas ini—donatur, dan pemberi beasiswa untuk mahasiswa yang kurang mampu.

"Jangan pernah sentuh dia dengan tangan kotor kamu itu!" Bintang menekan setiap kata yang terlontar, sedangkan Ratu segera menarik tangan dari cekalan lelaki itu.

"Udah, Rat. Kita pergi aja, yuk!" ajak Dini, menarik Ratu untuk menjauh.

Ratu meninggalkan mereka dengan rasa kesal di hati. Ia tidak terima, tetapi mengingat bahwa sulit untuk melawan mereka. Terlebih lagi, Nadir tidak melakukan pergerakan apa pun untuk membelanya.

Setelah kepergian Ratu dan kawan-kawannya, suasana kembali menjadi riuh, sebab piring dan sendok saling beradu. Nadir meminta maaf pada Antala, dan segera menelpon orang membawa kacamata baru untuknya. Sedangkan, Tias terus saja meluapkan rasa kesal dengan melahap mie ayam miliknya. Mereka kembali ke tempat duduk.

"Pelan-pelan, Ti. Nanti ke—"

Perkataan Nadir belum juga rampung, Tias sudah keselek. Alhasil, membuat kedua lelaki itu panik dibuatnya. Kemudian, tertawa terbahak-bahak menyaksikan raut wajah Tias memerah.

"Udah dibilangin! Makan jangan sambil marah-marah," celetuk Bintang, merogoh ponsel dalam saku celana. Mencoba menelpon Nawala, tetapi tak terhubung.

"Eh, beberapa hari ini Nawala gak keliatan. Ke mana, tuh, anak?" tanya Nadir, menatap Tias dan Bintang bergantian.

Bintang meletakkan ponsel di atas meja."Gak tau. Dari tadi dihubungi juga gak terhubung," jawab Bintang.

Nadir mengangguk. Sedangkan, Tias memilih menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Nawala tak ingin siapa pun mengetahui hal tersebut, termasuk Nadir dan Bintang.

'Maaf, tapi aku udah janji sama Nawala.'

"Aku mau ke toko buku dulu, ya. Kalian pulang aja," timpal Tias, bergegas ingin keluar dari kantin.

Nadir menahan."Mau aku antar?" tawarnya, ikut berdiri di hadapan Tias.

"Gak perlu, Dir. Aku bakal lama, soalnya mau ke tempat Tante juga." Tias menolak halus,"kalo begitu duluan, dadah!" sambungnya pamit.

Ekspresi Nadir sontak berubah menjadi masam. Hanya mampu memandangi Tias yang sudah jauh dari penglihatan. Sementara, Bintang ikut bangkit dari tempat duduknya. Berjalan keluar meninggalkan Nadir yang kembali menikmati cemilan di atas meja.

"Ternyata, menjadi sahabat tidak membuat aku bisa lebih dekat sama kamu," gumam Nadir, menghela napas dan menatap meja dengan kekosongan.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang