17: PENGAKUAN

9 2 20
                                    

Pintu tertutup rapat, setelah Dokter memeriksa keadaan Dimas yang masih terbaring tak berdaya di atas kasur. Zainal menatap tajam ke arah bocah itu, lalu berjalan ke sampingnya hingga tak ada jarak sama sekali antara dia dan Dimas. Kini, ekspresi Zainal setengah tersenyum. Bahkan, tatapan mata itu kehilangan kelembutan di dalamnya.

"Kamu merepotkan saya. Harusnya, kamu ikut tiada bersama keluargamu," gumam Zainal seraya mengembuskan napas berat.

Zainal memilih duduk di sofa yang tak jauh dari pembaringan Dimas. Ia menyenderkan bahu dan memijat pelipis yang masih terasa pusing. Pekerjaan ini sangat menyusahkan, apalagi harus berurusan dengan anak kecil. Sedari dulu, Zainal tidak menyukai keluarga Egy, sebab mereka lebih sering dibanggakan. Meskipun begitu, Zainal tetap saja tak ingin terlihat membenci di hadapan keponakannya, yaitu: Ajis.

"Kenapa Tuan tidak menyuruh saya melenyapkan anak kecil ini? Ah, sial! Bikin repot saja!" sambungnya, mengeluarkan sebatang rokok dari saku celana.

Sebelum menyalakan rokok dengan korek gas dalam genggaman. Benda mungil pada saku celana kanan berdering dengan nyaring, sontak membuat Zainal kembali menggerutu kesal. Hari ini ia seperti tak mendapatkan ketenangan sama sekali. Sebuah nama dari aplikasi hijau tertera di atas layar. Zainal segera gegas mengangkat, kemudian menyimpan kembali rokok itu.

"Apa kamu sudah melenyapkan mereka?" tanya seseorang dingin dari seberang.

"Sudah Tuan, tapi bocah yang bersamanya berhasil selamat," jawab Zainal, berjalan ke arah jendela.

Seseorang—disebut Tuan tertawa keras seolah-olah mendapatkan mainan baru. Ia terus memuji Zainal atas apa yang pria itu lakukan untuknya. Tuan tidak ingin berurusan dengan keluarga Zainal, tetapi ada pertukaran yang harus dibayar Zainal—menumbalkan sesuatu demi kekuasaan.

"Kerjakan tugas kamu selanjutnya! Saya tunggu hasil yang memuaskan." Tuan memutuskan panggilan, sedangkan Zainal menyunggingkan senyum ketika menatap ke atas langit.

"Kamu kakak yang baik, Egy. Namun, seluruh perhatian Ayah berpihak ke kamu. Sedangkan, di matanya saya hanyalah anak yang tidak berguna." Zainal mengepalkan tangan. "Ajis tidak boleh tau, kalo saya adalah dalang dari kecelakaan itu," lanjutnya seraya mengusap wajah dengan kasar.

Tanpa disadari ternyata Ajis sudah berdiri dari tadi. Ia tak menyangka bahwa yang terjadi adalah perbuatan Zainal—omnya. Lutut Ajis kini terasa lemas, ia memundurkan langkah ke belakang, tetapi berhasil menabrak Galen. Sontak saja keduanya menciptakan suara gaduh, hingga membuat Zainal tersentak kaget.

"K-kalian sudah berapa lama di situ?" tanya Zainal gugup, memasukkan ponsel ke dalam saku celana.

"Baru aja, Om," jawab Galen, menatap Ajis penuh tanya dan datar.

"Tutup pintu rapat-rapat, Len!" pinta Ajis dengan suara bergetar.

Galen mengangguk. Ia masih tak mengerti apa yang terjadi dengan sahabatnya itu. Kini, Ajis mencoba mengumpulkan banyak kekuatan, agar tak ambruk. Satu langkah berhasil membuat Ajis maju ke depan, hingga dirinya berhasil berdiri di hadapan Zainal. Ajis merasakan matanya memanas dan amarah tidak lagi dapat terkontrol.

"Kamu harusnya istirahat saja nanti—" Kalimat Zainal terpotong, sebab Ajis sudah lebih dulu melayangkan tinju ke arah muka. Alhasil, membuat pria itu tersungkur di atas lantai. Sedangkan, Galen hanya memperlihatkan ekspresi datar.

Ajis tak banyak bicara. Ia meluapkan emosi dengan terus melayangkan tinju berkali-kali tanpa memberi Zainal ruang untuk bernapas. Kini, Zainal mencoba menahan serangan dari Ajis, tetapi nihil pukulan Ajis berhasil mengenai seluruh tubuhnya.

"Cukup, Jis! Dia bisa terbunuh." Galen menarik Ajis, agar lelaki itu menghentikan aktivitasnya. Lalu, berjalan ke arah Zainal dan menyamaratakan posisinya dengan berjongkok. "Apa yang Om lakukan itu sama saja membunuh kita semua," lanjutnya seraya menepuk pipi Zainal.

Sedangkan, Zainal terlonjak kaget tatkala mendengar penuturan Galen. Ia begitu ceroboh, sehingga Ajis dan Galen dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"M-maafin saya, Ajis. Saya melakukan ini atas perintah—" Zainal menggantung perkataannya.

"Perintah siapa, Om!?" Ajis menarik rambut Zainal dengan kilatan amarah di dalam matanya.

Zainal mengeram kesakitan. "P-perintah Tu—" Lagi, lagi perkataan itu terpotong, sebab ponsel miliknya berdering.

Tak mau menunggu lama, akhirnya Ajis merebut ponsel itu. Alhasil, membuat keduanya saling berebutan. Kini, Galen ikut melayangkan tinju hingga membuat pria itu pingsan.

"Urus si penelpon itu, biar aku yang telepon polisi," perintah Galen, yang mendapat anggukan dari Ajis.

Ajis masih sibuk mengotak-atik ponsel milik Zainal. Untungnya, ponsel tersebut tidak memakai password. Ia mencoba membuka galeri, tetapi hanya menemukan satu foto, yaitu: sebuah foto keluarga tampak bahagia. Di dalamnya ada Ajis sewaktu masih bayi. Sekarang ia beralih pada aplikasi berwarna hijau. Namun, tak menemukan satu chat yang mengarah ke orang tersebut. Ia beralih pada panggilan. Ada satu nomor tanpa diberi nama. Sebelum menekan panggilan, rupanya si penelpon itu kembali membuat ponsel Zainal berdering.

"Jangan katakan apa pun kepada mereka, atau nyawa kamu taruhannya!" tegas Tuan, mematikan sambungan telepon.

Ajis belum merespon apa pun, tetapi panggilan sudah lebih dulu diputuskan. Ia menelpon kembali, tetapi tak lagi tersambung.

"Argh, sial!" Ajis terus memaki tanpa henti. Ia mencoba menghubungi nomor tersebut, meski hasilnya tetap saja sama.

Tak berselang lama, Galen dan dua polisi masuk ke dalam ruangan. Zainal berhasil diringkus pihak berwajib dan akan dimintai keterangan lebih lanjut. Galen sengaja membiarkan Ajis menemani Dimas, agar lelaki itu bisa lebih dekat dengan sang adik. Sementara itu, Galen ikut memproses kejahatan Zainal, meski ada orang lain di balik ini semua.

***

"Argh, sialan! Rencana yang saya susun nyaris hancur karena Zainal!" teriak Tuan, menyingkirkan semua benda yang ada di atas meja hingga tergeletak pada lantai.

Seorang perempuan tengah duduk menatap ke arah Tuan dengan terus memainkan gelas kosong di tangan. Lelaki di hadapannya itu terus saja meluapkan amarah, membanting benda di sekitar, dan tumpukan pecahan kaca berserakan di mana-mana. Ia memaki tanpa henti, kini tampak lelah serta memilih menjatuhkan diri pada kursi empuknya yang tak jauh dari perempuan tadi.

"Katakan Mari apa yang harus saya lakukan!?" Suara Tuan terdengar serak, menatap Mari yang memilih diam.

Gelas diletakkannya di atas meja. Mari berjalan ke arah jendela seraya menatap keluar dengan kekosongan. Ada banyak ide dalam kepalanya, hanya saja ia masih enggan melakukan itu. Terlebih lagi, ia tak ingin jika Galen mengetahui tentang siapa dia sebenarnya.

"Suruh saja anak-anakmu itu melakukan pekerjaannya," ucap Mari santai, tetap berdiri tanpa menatap ke arah Tuan.

Tuan meraih ponsel dalam saku celana. Ia mencari nomor tersebut dan menekan tombol panggilan. Meski terdengar serak, tetapi Tuan tetap menyisipkan emosi di dalam sana. Sedangkan, Mari kembali duduk di sofa yang empuk. Kepalanya sibuk dengan serangan pertanyaan tanpa henti.

"Kenapa, Yah?" Suara anak lelaki dari seberang sana.

"Lakukan sekarang! Ayah tidak mau menunggu lama lagi. Bawa tubuh Adnan kemari dalam keadaan hidup atau mati!" Tuan berteriak dengan menampilkan ekspresi tatapan tajam, "ingat, jangan sampai ada yang tahu soal ini," lanjutnya memberi peringatan.

"Baik, Yah, akan aku lakukan hari ini," balasnya dengan melengkungkan bibir ke atas.

Panggilan kembali terputus. Tuan meletakkan ponselnya ke sembarang arah. Lalu, merebahkan punggung pada kursi empuk. Sesekali Tuan tampak memijat pelipis yang terasa pusing, kini setelah melakukan banyak rencana hanya satu yang berhasil.

"Cepat atau lambat kamu akan tamat Adnan!" ungkap Tuan, mengepalkan tangan kuat. Ia kembali mengingat deretan ingatan pada masa lampau, yang merenggut banyak mimpi. Termasuk, istri tercintanya.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang