Hujan deras mengguyur tanah membuat dua anak manusia tak sempat untuk berteduh. Mereka memilih melanjutkan perjalanan, sebab sebentar lagi akan sampai. Nawala benci suara hujan, tetapi ia mencoba untuk mengabaikan suara-suara yang kerap menganggu indra pendengaran. Sedangkan, Galen begitu menikmati ketika seluruh tubuh diterpa air hujan.
'Suasana ini, rasanya pernah aku alami,'
"Galen, selamat ulang tahun!" teriak Nawala, tepat di telinga lelaki itu. Sontak membuat Galen berhenti.
"Kamu tau dari mana?" Galen mencoba meninggikan suara, agar terdengar oleh Nawala.
"Kue kamu ketinggalan," jawab Nawala, melonggarkan pelukan.
Tak ada sahutan. Galen melanjutkan langkah kakinya kembali menuju tempat yang di arahkan oleh Nawala. Setelah menempuh perjalanan, kini keduanya telah berada di depan pintu rumah Maryam seorang perempuan paruh baya. Kemudian, menurunkan Nawala dengan sangat hati-hati.
Galen menatap Nawala penuh kebingungan."Kamu kenal Nek Maryam?" tanyanya, mengetuk pintu berulang kali.
Nawala mengangguk.
Ketukan terakhir pintu terbuka memperlihatkan sosok Maryam keluar dari rumah. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan Nawala sedang duduk di kursi dengan luka di lutut. Sontak membuat perempuan itu berlari menghampirinya, dan memeluk Nawala penuh kasih sayang. Sementara itu, Galen menciptakan senyum di bibir tanpa sepengetahuan Nawala.
"Kamu ke sini kenapa gak bilang Nenek? Kamu kabur dari rumah? Terus, ini kenapa luka?" Maryam menyerang Nawala dengan banyak pertanyaan.
Nawala cengengesan. Meskipun demikian, Nawala tak ingin pulang sebelum menuntaskan keinginan.
"Tadi waktu mau ke sini, Nawa gak sengaja terpeleset. Makanya lutut sama kaki sakit, tapi udah diobatin, kok, sama Galen," jawab Nawala, menatap Galen yang masih berdiri di samping pintu.
Maryam ikut menatap Galen sembari tersenyum."Makasih ya, Galen. Maafkan Nawala kalo sampai sekarang masih merepotkan," ucapnya, mengusap punggung Nawala.
Nawala tidak mengerti arah perbincangan Maryam. Di kepalanya saat ini ada beberapa kenangan masih berputar, tetapi tidak terlalu jelas. Seperti ingatan dari masa kecil yang kembali bangkit, dan ingin diingat.
"Dia anaknya Om Adnan, Nek?" tanya Galen penasaran.
Maryam mengangguk. Seketika ekspresi Galen berubah menjadi datar. Ia memilih pamit, tetapi dapat dicegah oleh Maryam. Sedangkan, Nawala terdiam tak tahu harus berbuat apa. Lelaki itu mengenalinya, mengapa Nawala sulit mengingat? Pertanyaan demi pertanyaan tersusun di kepala, hingga terasa muak dan sebentar lagi perlu meledak.
"Ayo pada masuk! Kalian perlu ganti baju, dan meminum segelas teh hangat." Maryam menuntun keduanya untuk masuk.
Di rumah ini, Maryam tidak tinggal sendirian. Sebab, masih ada adik dari Adnan yang masih memilih kuliah di Kota. Ia bisa pulang balik sewaktu-waktu, tetapi ketika diharuskan menginap di Kota, ia akan bermalam di rumah yang pernah Adnan belikan. Selain itu, ada Bu Heni—Art yang mengurus segala keperluan Maryam.
Kini, Galen dan Nawala berada di depan televisi sembari terus menikmati secangkir teh, juga se-toples biskuit. Hal paling sederhana yang membuat Nawala rindu untuk pulang di rumah ini, terlihat sederhana penuh kenangan. Mungkin, sebagian ingatan itu hilang entah ke mana. Akan tetapi, Nawala yakin pernah merasakan ini sebelumnya.
'Siapa anak laki-laki itu?'
Pertanyaan itu terus berputar ketika bayangan sosok anak laki-laki di masa kecilnya terlintas dalam benak.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWALA (Tamat)
RomanceIngatan adalah memori yang sangat penting bagi siapa saja, tetapi apa jadinya jika separuh menghilang? Karena sebuah insiden, Nawala harus merelakan ingatan masa kecilnya direnggut secara paksa. Namun, ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di kam...