"Woi, kutu buku. Minggir! Ini tempat duduk aku," ucap Farhat ketus—anak lelaki bertubuh besar, membuang makanan di atas meja.
"Farhat!" teriak Ajis berani, berdiri menghadap Farhat dan teman-temannya.
Farhat maju selangkah dan mendorong Ajis hingga ia duduk kembali. Sontak semua siswa mulai berkerumun menyaksikan pemandangan di depannya itu. Sedangkan, Ajis tidak terima atas perlakuan Farhat kepadanya. Ia membalas sontak aksi perkelahian pun terjadi tanpa ada yang melerai.
Sementara itu, anak lelaki dengan umur 9 tahun—masih setia duduk di bangku—menuntaskan bacaannya. Ia terlalu muak dengan keributan, hingga pada akhirnya menghampiri Farhat dan Ajis yang sudah terlihat babak belur.
"Farhat, kamu boleh pake bangku itu. Kami udah selesai," timpal Galen santai, menarik Ajis dari cengkraman tangan Farhat.
Kini, Farhat menatap Galen dengan senyum sinis. Ia pun memberikan kode pada teman-temannya untuk memegang Galen dan Ajis. Tak ada perlawanan, sebab Farhat melayangkan tinju secepat itu. Galen tidak ingin mencari keributan. Ia ingin menyelamatkan Ajis dari perkelahian, agar sahabatnya tak mendapatkan omelan.
"Itu balasan karena kalian berani melawan!" ucap Farhat sembari tertawa, menginjak buku bacaan Galen yang tergeletak di atas tanah.
Farhat dan yang lain tertawa serta meninggalkan Galen dan Ajis yang masih tersungkur. Semua siswa mencoba ingin menolong, tetapi Farhat mengancam. Alhasil, mereka bubar tanpa mengatakan apa pun.
"Len, kamu gak apa-apa?" tanya Ajis sedikit terkekeh, menoleh ke Galen.
Galen mengangguk, dan mencoba meraih buku dengan debu di atasnya."H-Harusnya, kamu gak mencari perkara sama Farhat," jawabnya terbata-bata.
Ajis berdeham.
Tiba-tiba sebuah tangan mengambil buku itu, lalu diberikan pada Galen. Sontak membuat Galen menengadah ke atas, sedangkan Ajis menatap keduanya dengan datar.
"Nih, bukunya," ucap anak perempuan cantik dengan rambut di kepang,"kalian gak apa-apa?" sambungnya, melirik Galen dan Ajis bergantian.
Galen mengangguk.
"Kalo kami gak apa-apa, kami gak akan kesakitan." Ajis mencibir, mencoba berdiri dan menghampiri Galen.
Anak perempuan itu mengangguk. Ia mencoba untuk membantu Galen, tetapi Ajis menepis tangannya. Sedangkan, Galen menoleh dan melempar tatapan tajam ke arah anak lelaki dengan pipi lebam—Ajis terdiam.
"Kamu anak baru, ya?" tanya Galen, menatap ke arah ruangan kepala sekolah dengan menangkap dua sosok pria berbincang.
"Iya, namaku Nawala. Kamu siapa?" Nawala mengulurkan tangan ke depan, menunggu Galen menjabatnya.
"Manusia." Bukan Galen, melainkan Ajis bernada ketus.
Galen bergeleng."Aku Galen, dan ini Ajis sahabatku," balasnya tersenyum ramah.
Tiba-tiba seorang pria menghampiri ketiganya dengan membentuk senyum di bibir. Menyapa Galen dan Ajis secara bergantian. Dia—Adnan, Ayah dari Nawala.
"Sepertinya, anak Ayah sudah dapat teman baru, ya," ucap Adnan memuji.
"Iya, Yah. Ini Galen dan itu Ajis." Nawala menjelaskan secara antusias.
"Syukurlah kalo begitu. Ayah harus pulang, kamu yang rajin belajarnya." Adnan menarik Nawala ke dalam pelukan, menciumi pipi anak kecil perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWALA (Tamat)
RomanceIngatan adalah memori yang sangat penting bagi siapa saja, tetapi apa jadinya jika separuh menghilang? Karena sebuah insiden, Nawala harus merelakan ingatan masa kecilnya direnggut secara paksa. Namun, ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di kam...