Angin sepoi-sepoi menemani perjalanan Galen dan Nawala. Beberapa kendaraan berlalu lalang melampaui motor tua yang digunakan oleh Galen. Keduanya menyelusuri setiap jalan dengan khidmat. Tak ada perbincangan hangat, sebab mereka saling mendekap kebisuan. Nawala sibuk menghafal jalan, meski ini adalah kampung halamannya. Sedangkan, Galen fokus ke depan, tetapi ada banyak pertanyaan yang singgah dalam kepala.
Ketika melewati pantai, Galen menepikan motor. Ia sudah lama ingin menikmati alunan ombak bersama Nawala. Duduk di bibir pantai, atau bercerita banyak hal tentang apa yang terjadi di masa lalu. Barangkali, semua tidak lagi sama—Galen hanya berencana, Tuhan selalu punya jalan terbaik. Kini, Nawala menatap punggung Galen. Kemudian, turun dari motor, dan melangkahkan kaki telanjang di atas pasir putih.
"Kita perlu mengabadikan banyak momen," ucap Galen, yang berdiri di belakang Nawala.
Nawala menghirup udara segar, menikmati alunan ombak pasang surut, serta hanya ada ketenangan di sini. Ia membalikkan badan, dan mendapati Galen tengah memejamkan mata.
"Aku seperti pernah bermain di sini bersama seseorang, tapi ak—"
Galen membuka mata."Perlahan kamu akan ingat," potongnya, berjalan menuju bibir pantai.
Nawala terdiam. Ia menyaksikan pemandangan di depannya dengan seksama. Kalimat sederhana Galen mampu membuat kepala Nawala tetiba saja terbesit sebuah bayangan perihal anak kecil. Berlari dengan kaki-kaki kecilnya, dan tertawa tanpa menelan luka sedalam sekarang. Nawala terduduk seraya memegang kepala yang terasa pusing. Sementara, Galen sontak berlari ke arah perempuan itu.
"Kita pulang." Galen membopong tubuh Nawala.
Rasa sakit dalam kepala bercampur aduk dengan degup jantung yang berdetak lebih kencang. Sebab, Galen melakukannya secara tiba-tiba. Ini yang kedua kalinya Nawala jatuh ke dalam dekapan Galen. Kini, motor kembali melaju dengan Galen menarik tangan Nawala untuk melingkar di perutnya. Agar, perempuan itu tidak terjatuh.
"Galen, aku merasa kamu adalah anak kecil yang suka bermain di kepalaku," timpal Nawala, mengeratkan pelukan.
"Kalo masih pusing, pejamkan mata aja. Bentar lagi kita sampai, kok." Galen mengalihkan pembicaraan Nawala.
Nawala berdeham. Dalam perjalanan tak ada perbincangan lagi, hanya ada kebisingan kepala. Setelah menempuh jalan bebatuan, keduanya telah sampai pada sebuah rumah sederhana milik Maryam. Namun, mata Galen menangkap ada banyak orang di dalam sana. Terlebih lagi, mobil merek Avanza berwarna silver terparkir di halaman.
"Nawala, udah sampai. Ayo, turun," ajak Galen lembut, menggenggam tangan itu, agar tubuh Nawala tidak oleng.
Nawala mengangguk. Ia semakin tak berdaya untuk berjalan. Untung saja, Galen begitu telaten hingga kembali membopong tubuh Nawala masuk ke dalam rumah. Ternyata, benar dugaan Galen—Adnan bertandang. Suasana menjadi riuh, sebab Maryam tiba-tiba saja histeris melihat Nawala sedang berada dalam gendongan Galen. Sontak ia menyerang banyak pertanyaan.
"Sini! Nawala biar samaku," celetuk Bintang datar, mengambil Nawala.
Dengan kesadaran yang masih ada, Nawala beranjak dari gendongan Galen hingga hampir saja terjatuh lagi. Ia menepis tangan Bintang, lalu berjalan seorang diri untuk duduk di sebuah kursi ruang tamu. Terlihat semua orang panik akan keadaan perempuan itu. Kini, Adnan menghampiri Galen untuk mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih selalu menepati janji untuk menjaga Nawala." Adnan tersenyum,"kabar kamu gimana?" tanyanya, menepuk pundak Galen.
"Galen baik, Om. Om mau jemput Nawala pulang?" Galen penasaran, menatap Nawala yang masih memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWALA (Tamat)
RomanceIngatan adalah memori yang sangat penting bagi siapa saja, tetapi apa jadinya jika separuh menghilang? Karena sebuah insiden, Nawala harus merelakan ingatan masa kecilnya direnggut secara paksa. Namun, ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di kam...