"Se-cinta itu ya sama Galen?" tanya Ajis, ikut duduk di samping Mariana.
Mariana tak tahu harus mengatakan apa. Ia kembali menikmati pemandangan di hadapannya itu—pada se-kumpulan anak kecil yang senang bermain balon. Atau, membatin tanpa perlu didengar oleh Ajis. Bahkan, Mariana sendiri tidak tahu definisi cinta yang sebenarnya.
"Jangan terlalu cinta, Mar. Luka itu gak mandang umur," sambung Ajis seraya terkekeh.
"Tinggalkan aku sendiri!" Mariana menoleh dengan ekspresi datar, sebelum akhirnya kembali membuang muka.
Ajis semakin tertawa keras, sebab ekspresi Mariana cukup menggelitiknya. Ia sama sekali tak ingin beranjak dari tempat duduk. Tanpa memberi aba-aba, pun Ajis mengacak-acak rambut perempuan itu. Sontak membuat Mariana terdiam dan kembali tersadar, agar segera menepis tangan Ajis.
"Apaan, sih! Kepalaku jadi berantakan, Ajis!" bentak Mari, memperbaiki posisi rambutnya.
Ajis kian terbahak-bahak mendengar penuturan Mariana."Kepalamu berantakan?!" tanyanya mengulang kalimat perempuan itu,"Mar, kamu lucu kalo lagi kesal." Lalu, melanjutkan tawa seraya memegang perut.
Mariana terus mengamati hingga merasa jenuh. Ia pun meninggalkan Ajis seorang diri di taman tanpa berkata-kata. Sedangkan, Ajis menghentikan aktivitasnya. Memandang punggung Mari hingga menghilang.
"Terlihat menyebalkan, tapi aslinya kasian. Jatuh cinta pada orang yang gak cintai kita balik itu patah hati, Mar. Kita sama, bedanya sama-sama suka, tapi gak jadian." Ajis mengusap wajah kasar, tersenyum getir.
Sementara itu, Mariana terus berjalan tanpa arah. Angin sepoi-sepoi menerbangkan anak-anak rambut. Ia tak memilih pulang, sebab rasa suntuk masih menyelimuti. Mariana ingin menikmati hari Minggu ceria tanpa harus berperang dengan isi kepala, serta sesak di dada yang kerap membelenggu. Kini, Mariana memilih duduk di tepi jalanan taman. Celingak-celinguk menatap sekitar hingga tak menyadari kedatangan seseorang—ikut duduk di sampingnya.
"Kenapa, sih, hari ini semua orang bikin kesal?" gumam Mari, menghentakkan kaki di tanah.
"Jangan marah-marah nanti cep—"
Mariana menoleh ketika mendengar nyanyian dari seseorang di sampingnya. Ia menatap lelaki itu seraya mengerutkan kening. Sedangkan, si pemilik suara terkekeh geli.
"Lanjutin nyanyinya!" Mari melempar tatapan tajam hingga membuat lelaki itu tersenyum dengan rasa sedikit takut.
'Galak banget, untung cantik.'
"Bercanda. Aku gak mau jadi salah satu manusia yang buat kamu kesal," ucap lelaki itu terkekeh—Bintang, mengotak-atik ponselnya terlihat sedang menatap room chat seseorang.
Mariana bergegas pergi, tetapi berhasil ditahan oleh Bintang. Sontak membuat Mariana mengerutkan kening.
"Daripada marah-marah, mending makan es krim," sambung Bintang ikut berdiri, berjalan serta menarik Mariana.
Sedangkan, Mari sempat berkali-kali menepis. Namun, Bintang tetap kekeuh menarik Mariana, agar ikut dengannya. Hingga pada akhirnya, ia hanya pasrah menuruti keinginan lelaki itu. Meski, beberapa pasang mata menatap ke arah keduanya.
Setelah berjalan melewati banyak pedagang kecil, kini keduanya berhasil menemukan tempat penjual es krim keliling. Mari hanya menatap datar tanpa ingin menukar kata-kata pada Bintang, atau ikut berceloteh bersama orang sekitar. Namun, berbeda dengan Bintang yang begitu senang berbincang tanpa segang.
"Mau rasa apa?" tanya Bintang, membuyarkan lamunan Mari.
Mari menjawab datar,"Coklat aja." Lalu, berjalan untuk duduk di bangku dekat pepohonan.
Bintang mengangguk. Setelah membayar ia pun menghampiri Mari dengan menyodorkan es krim ke pipi perempuan itu. Sontak Mari tampak terkejut.
"Nih, jangan marah-marah lagi," ucap Bintang, ikut duduk di samping Mariana,"aku heran sama cewek, satu yang berbuat semua kena imbasnya," lanjutnya seraya menoleh. Bintang menatap wajah cantik Mariana begitu dekat hingga tanpa sadar es krim-nya mulai mencair di tangan.
"Perasaan cewek itu sensitif." Mari ikut menoleh, hingga keduanya saling menatap.
"Ya, ya, cewek emang gitu. Jadi cowok serba salah," timpal Bintang tertawa.
Mariana mengerutkan kening. Bintang adalah lelaki yang baru saja dikenalinya di taman, tetapi lelaki itu mampu menciptakan suasana nyaman untuk Mariana. Bahkan, beberapa perlakuan Bintang membuat Mari terdiam—tak pernah didapatkan dari lelaki mana pun. Kenapa Galen tidak memperlakukannya sedemikian rupa? Ah, rasanya Mariana terlalu tinggi berharap, hingga tak sadar bahwa ekspektasi jauh lebih menikam dibandingkan apa yang tergambar pada kepala.
Tiba-tiba ponsel milik Bintang berdering. Ketika mendapati nama di atas layar, ia pun sontak bergegas bangkit dari duduk. Sebelum pergi, Bintang mengusap kepala Mari seperti anak kecil yang perlu ditenangkan. Sedangkan, Mari terdiam dan tak dapat berkutik.
"Aku harus pergi. Ada urusan yang harus diselesaikan," ungkap Bintang, lalu berjalan meninggalkan Mariana seorang diri. Tanpa menunggu kata-kata, ia pun menghilang dari pandangan.
Sedangkan, Mari menerbitkan senyum di bibirnya secara perlahan. Bintang berhasil masuk ke dalam hatinya, lalu mengacak-acak apa pun di sana. Suasana tampak hening, sebab hanya ada Mariana dengan es krim yang sebentar lagi habis. Pertemuan Bintang dan Mariana ingin diulang sekali lagi.
"Aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya," gumam Mari, menghela napas pasrah.
***
Di kamar Galen tengah sibuk menyusun beberapa buku yang sempat ia beli. Bahkan, masih terbungkus rapi dalam plastik. Aroma buku menyeruak masuk ke indra penciuman. Setelah melakukan aktivitas, kini Galen beralih merebahkan tubuh di atas kasur empuk miliknya. Rasa lelah bertandang hingga menguras banyak energi. Kantuk ikut berjelajah, tetapi tersadarkan sebab pintu kamar tetiba saja terbuka menampilkan Ajis dengan ekspresi cengengesan.
"Udah kubilang ketuk pintu sebelum masuk!" keluh Galen, memperbaiki posisinya untuk duduk.
Sedangkan, Ajis berjalan santai tanpa rasa bersalah. Ia menghampiri meja belajar, lalu duduk di sana menatap sekeliling. Berkali-kali memicingkan mata hingga membuat Galen mengerutkan kening. Ada banyak pertanyaan di kepala Ajis yang entah butuh jawaban seperti apa. Kini, keduanya saling terdiam. Galen kembali merebahkan tubuh, sementara Ajis mengotak-atik meja belajar itu dan menemukan foto kecil keduanya di satu bingkai.
"Len, kalo masa kecil bisa diulang, kamu mau ulang bagian mana?" Ajis terus menatap foto kecil dirinya dengan Galen, yang tengah tersenyum sumringah.
Galen tampak berpikir, sebelum akhirnya memilih bersuara."Gak bolos di pelajaran Pak Tatang, dan gak mengiyakan ajakanmu bersembunyi di atas pohon," jawabnya seraya terkekeh.
"Itu namanya solidaritas, Len. Biar bisa jadi kenangan kalo anakmu udah lahir. Lagian, membaca buku terus gak menciptakan kenangan indah. Mungkin, kalo kamu gak kenal aku, kamu akan jadi kutu buku yang sering dibully Farhat." Ajis menjelaskan secara detail, membiarkan kenangan pahit itu mengudara.
Keduanya saling melempar argumen, mengunjungi ingatan se-waktu sekolah dulu. Galen tanpa Ajis tak 'kan pernah lengkap, sebab mereka telah merekat kuat seperti lem—perpaduan yang sempurna. Bahkan, Ajis sendiri telah menganggap Galen adalah bagian dari keluarganya dan begitu sebaliknya. Jika ada yang harus memisahkan keduanya, barangkali kebohongan. Atau, kematian yang entah datangnya kapan.
"Om Egy dan Tante Talita kangen kamu, katanya," timpal Galen, menatap Ajis lekat.
Ajis terdiam. Ia tak menanggapi perkataan Galen, meski yang dibahas adalah kedua orang tuanya. Kesibukan Egy dan Talita memang padat, hingga Ajis merasa terasingkan di rumah sendiri.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWALA (Tamat)
RomanceIngatan adalah memori yang sangat penting bagi siapa saja, tetapi apa jadinya jika separuh menghilang? Karena sebuah insiden, Nawala harus merelakan ingatan masa kecilnya direnggut secara paksa. Namun, ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di kam...