11 : SAPU TANGAN

11 3 13
                                    

Nawala menatap Galen dan sapu tangan itu lama, hingga akhirnya mengambil untuk menghapus air matanya. Tanpa menunggu persetujuan dari Nawala, Galen ikut duduk menghadap ke perempuan itu. Bahkan, perlahan tangannya beranjak untuk menghapus bulir-bulir air yang mengenang di pipi. Sontak membuat Nawala terdiam.

Orang-orang berlalu lalang seperti biasanya. Beraktivitas di hari Minggu adalah kesenangan, tetapi sebagian besar menjadi rasa mager untuk remaja. Cuaca hari ini tidak terlalu menyengat ke dalam pori-pori. Hanya terlihat beberapa gumpalan awan tanpa mendung.

"Kalo kamu mau cerita aku siap mendengarkan." Galen menatap Nawala lekat, tersenyum manis.

Nawala meremas kain kecil yang diberikan oleh Galen. Tertunduk lesu tatkala mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Sebab, emosi tak terkendali—ia menyakiti perasaan seseorang. Menuduh tanpa bukti adalah satu kesalahan yang fatal. Sedangkan, Galen terus menunggu, agar Nawala mau membuka suara.

"Tadi subuh ada yang kirim kotak tanpa nama, dan isinya bercak darah beserta kain kafan," ucap Nawala, menghapus air matanya kembali.

Galen beralih menggenggam tangan Nawala seolah memberikan kekuatan kepadanya.

"Di Jakarta kemarin, Ayah juga mendapat hal yang sama. Kotak itu mirip sama apa yang Ajis punya, Gal. Aku gak nuduh tanpa bukti, tapi ak—"

Galen menarik Nawala ke dalam pelukan. Mengusap punggungnya hingga memberikan kehangatan dalam sebuah rasa cinta. Sementara, Nawala terdiam membiarkan dirinya tenang.

"Gak apa-apa. Menangis aja dulu, aku ada, kok, untuk kamu. Kapanpun kamu butuh aku, Naw." Galen melonggarkan pelukan serta memberi ruang melihat wajah perempuan itu.

Ketika merasa tenang, Nawala melanjutkan bercerita dengan tangan Galen masih menggenggamnya. Saling menyalurkan rasa hangat tanpa adanya kecanggungan di antara mereka. Galen terus memberi tatapan tulus, bahkan tak ada sedikitpun mengalihkan pandangan dari arah yang lain.

Suasana tampak menjadi lebih riuh dari sebelumnya, sebab jalanan mulai dipadati banyak kendaraan berlalu lalang. Anak kecil mulai ikut berlarian di sepanjang dekat Kafe. Di ujung sana, kita bisa melihat Kafe Semesta yang sedang direnovasi. Seperti; mengubah warna cat tembok dan meletakkan pot bunga.

"Galen, apa Ajis bakal memaafkan aku?" tanya Nawala tiba-tiba, menundukkan pandangan.

"Dicoba aja dulu, Naw. Ajis bukan orang pendendam, dia juga gak bakal marah lama," jawab Galen tersenyum, mengangkat dagu Nawala,"jangan takut, aku temenin," sambungnya.

Nawala menatap wajah Galen lekat. Mata yang teduh seolah mengambarkan banyak luka di sana, kepedihan tanpa jeda, atau pilu setiap saat menerkam. Baru kali ini Nawala memandangi mata itu. Apa luka itu tidak pernah berbicara bahwa ia sedang tak baik-baik saja? Atau, hanya bersembunyi di balik banyaknya tawa? Entahlah, Galen lebih suka membaca buku. Menghabiskan waktu dengan berkutat di dalam sana dan menciptakan imaji sendiri.

Sementara itu, dari tempat yang tak jauh dari Nawala dan Galen. Ternyata, seseorang diam-diam mengamati keduanya dengan sorot mata tajam, senyum sinis, dan kepalan tangan yang kuat—dendam lama belum tuntas, katanya. Seperti mengintai mangsa dari jauh dan siap menerkam apabila di waktu tepat.

"Dendam harus dibayar lunas, meski taruhannya adalah nyawa." Senyum sinis semakin terbit di bibirnya, kemudian berjalan meninggalkan tempat itu.

Sedangkan, Galen berhasil menangkap sosok yang sedari tadi mengamati mereka. Ia tak dapat melihat wajahnya, sebab orang tersebut memakai topi berwarna hitam. Meskipun demikian, rasa penasaran Galen semakin tinggi. Ia ingin beranjak, tetapi berhasil dicegah oleh Nawala.

"Mau ke mana?" tanya Nawala, mencekal lengan Galen.

Sontak membuat Galen terduduk kembali."Tadi aku lihat ...." Mengantung perkataan, sebab Galen tak ingin membuat Nawala kepikiran.

"Lihat apa?" tanya Nawala lagi dengan rasa penasaran, celingak-celinguk mengikuti arah pandang Galen.

"Gak ada, Naw. Tadi kayaknya cuma lihat teman lama, tapi sekarang udah pergi," jawab Galen berbohong.

Nawala mengangguk. Kini, keduanya kembali berceloteh banyak hal. Sesekali tertawa dan saling berbincang tentang bagaimana kehidupan di Jakarta serta tentang hari-hari Galen.

***

Kejadian di Kafe Semesta membuat Ajis harus melampiaskan amarah di tepi danau. Meski, kerap mengundang perhatian pengunjung lainnya. Namun, ia terus saja mengeluarkan unek-uneknya yang terpendam. Ajis tak habis pikir mengapa Nawala menuduhnya tanpa bukti. Padahal semua orang memiliki kotak seperti itu, meski waktu dibelinya tersisa satu. Sebelumnya, Ajis tak pernah membentak perempuan mana pun, apalagi dengan perasaan yang kacau dan semarah apa pun. Akan tetapi, ia berhasil mengeluarkan suara tinggi untuk Nawala. Sontak saja rasa kesal dalam dirinya bergejolak.

Tanpa Ajis sadari, ternyata seorang perempuan tengah berdiri di belakang, lalu menatapnya dengan tampang datar. Sedangkan, Ajis terus berteriak tanpa henti. Meski, menjadi tontonan oleh yang lainnya.

"Orang gila mana yang teriak-teriak di tepi Danau siang begini." Perempuan itu berjalan menghampiri Ajis tanpa ekspresi, selain datar.

Sontak membuat Ajis menghentikan aktivitasnya, menaikkan sebelah alis."Aku bukan orang gila!" timpal Ajis ketus, menatap perempuan dengan rambut di gerai.

"Ya, ya, emang ada orang gila ngaku gila?" ledek Tias seraya tertawa—perempuan yang tengah meledek ke arah Ajis.

Ajis terdiam. Ia mengamati perempuan di depannya itu dengan seksama. Ada perasaan deg-degan ketika melihat Tias tertawa tanpa beban.

"Woi! Jangan terpana, aku gak mau buat orang gila jatuh cinta," lanjut Tias, menepuk kedua tangan di depan wajah Ajis.

"Gak usah geer!" Ajis berjalan lebih dulu, meninggalkan Tias yang masih tertawa.

Ketika baru beberapa langkah berjalan sebuah botol bekas minum melayang tepat di kepalanya. Sontak saja membuat ia meringis kesakitan. Bunyinya sangat nyaring hingga menghentikan aktivitas Tias yang lagi tertawa.

"Woi! Siapa, sih, yang nge-lempar? Emang aku tempat sampah?!" teriak Ajis celingak-celinguk, dengan kesabaran tipisnya.

Tias menghampiri menatap Ajis yang tengah memegangi kepala."Karma, tuh, karena mengabaikan perempuan manis kayak aku," sahutnya, kembali tertawa kecil.

"Pantas aku diabetes," ucap Ajis pelan, diam-diam mengulas senyum di bibir.

Penuturan Ajis membuat Tias tiba-tiba saja terdiam. Bahkan, ia merasakan gejolak yang aneh dalam hatinya. Salah tingkah, meski mereka masih terbilang orang asing.

"Ini siapa, sih, yang buang botol sembarangan?!" Ajis mengalihkan pandangan, hingga menangkap sosok anak kecil dari kejauhan dengan ekspresi cengengesan.

"Yaudah, sih! Kamu tinggal buang tanpa harus berteriak gak jelas," ucap Tias, memberi saran.

Ajis tak menanggapi. Ia membuang botol bekas ke tempat sampah, sedangkan Tias menatap punggung lelaki itu dengan menerbitkan senyum di bibirnya. Terlihat manis, meski Ajis tak sempat melihatnya. Kini, Tias berjalan meninggalkan Ajis. Ia ingin menghabiskan waktu, sebelum pada akhirnya harus kembali ke Jakarta bertemu dengan laporan, dll.

Sementara itu, ketika Ajis membalikkan badan rupanya Tias sudah tidak ada lagi. Ia tak sempat berkenalan dengan perempuan itu, apalagi melanjutkan komunikasi.

"Tiba-tiba datang, tiba-tiba menghilang. Kayak teman yang lagi mau minjam duit aja," gumam Ajis, mengecek kepala yang terasa sakit.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang