22: BIMBANG

9 3 16
                                    

"Tunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya, Adnan!" ucap tuan, mencengkram setir mobil kuat.

Tatapan mata tuan begitu menyala, sebab dendam dalam hatinya tak kunjung mereda. Ia terus merapalkan kalimat itu berulang serta melukis bulan sabit pada bibir.

"Akan aku pastikan bahwa hidupmu hancur selam—" Kalimatnya terhenti, sebab benda mungil yang berada di dalam saku celana berdering. Sontak saja membuat ia buru-buru untuk meraihnya.

Sebuah nama tertera di atas layar. Tuan segera menekan tombol menerima panggilan. Ia tak sabar atas informasi yang akan diberikan oleh Bobi—sopirnya, sekaligus mata-mata Tuan.

"Ada apa?" tanya tuan, memperbaiki posisi duduk.

"Pak Sambara ingin bertemu dengan Tuan untuk membica—" Perkataan Bobi terpotong.

"Katakan padanya, saya lagi di luar kota," timpal Tuan, memutuskan panggilan.

Sedangkan, Bobi yang berada di seberang sana tengah berhadapan dengan Sambara Dzuhairi pemilik perusahaan tambang terbesar di pulau ini. Ia juga banyak menjalin hubungan kerja dengan negara luar. Sambara sengaja bertandang untuk bertemu dengan Tuan—kawannya, tetapi pria itu menolak, sebab sedang berada di luar kota sementara waktu.

"Maaf, Pak Sambara, tapi Tuan sedang tidak bisa diajak bicara sekarang. Sebab, sedang berada di luar kota," jelas Bobi, menundukkan kepala. Ia tak berani menatap Sambara, yang tengah duduk menyilangkan kaki serta menyenderkan bahu pada sofa.

Sambara mengangguk. Ia bergegas bangkit dari tempat duduk, lalu pamit dan berjalan ke arah pintu tanpa mengatakan apa pun. Sontak membuat Bobi bernapas dengan lega. Bobi terlalu takut berhadapan dengan Sambara, sebab pria itu memiliki aura kejam. Terlihat dari sudut matanya, terlebih lagi Bobi mengetahui semua latar belakang Sambara.

"Kalo bukan karena Tuan, saya pasti sudah memukul kepala Pak Sambara," gumam Bobi, mengusap wajah penuh ketakutan.

***

Ajis melangkahkan kaki dengan santai menuju ke ruangan Dimas berada. Ia terlihat menenteng satu kantong plastik berisi makanan. Setelah melewati banyak koridor, akhirnya Ajis sampai di depan pintu berwarna coklat dengan tulisan ruang anggrek. Kini, lelaki itu menarik napas sebelum membuka benda tersebut dan berjalan masuk.

Di dalam sana Dimas tengah menatap ke arah luar jendela dari tadi. Ketika mendengar pintu terbuka, sontak saja ia menoleh ke arah tersebut. Raut wajah yang tadinya suntuk, kini berubah menjadi sangat ceria. Meskipun, mereka baru dipertemukan, tetapi Dimas mulai menyanyangi Ajis—kakaknya. Dimas tak henti-henti tersenyum, sedangkan Ajis memilih menata makanan di atas nakas.

"Mau makan apa?" tanya Ajis, menatap Dimas lekat.

"Tadi Dimas dikasih bubur sama perawat," jawab bocah itu, kembali menatap ke arah luar jendela.

Ajis mengikuti arah pandangan Dimas. Di luar langit sedang mendung, tetapi hanya sebagian awan terlihat menggumpal. Ajis memilih duduk pada kursi dekat tepi kasur. Ia menatap Dimas dengan sorot mata yang teduh, sebab ingatan itu beberapa kali melintas. Lelaki itu sadar, ia tak semestinya menyalahkan Dimas atas apa yang terjadi. Sebab, semua sudah diatur oleh semesta. Jika Dimas tak bersamanya, bocah itu akan hidup di mana nanti? Bahkan, Zainal telah mendekam di balik jeruji untuk sementara waktu, hingga tuan berhasil tertangkap.

"Kata Dokter, Dimas udah boleh pulang besok," celetuk Dimas antusias, menatap wajah Ajis seraya tersenyum.

Ajis mengangguk.

"Abang, masih belum nerima Dimas?" tanya Dimas menundukkan kepala, menyembunyikan air matanya.

Ajis sontak merasa bersalah. Ia kemudian beralih memeluk anak lelaki itu dengan erat dan penuh kasih sayang. Hanya ini yang Ajis punya sekarang. Meskipun, Galen, Tante Restu, dan Om Sambara kini menjadi keluarga Ajis.

"Jangan pernah tanyakan itu lagi. Kamu adikku dan sudah sepantasnya aku menjagamu," jawab Ajis lembut, melepas pelukannya.

Dimas mengangguk. Ia kembali tersenyum, sebab Ajis berhasil mengusap kepalanya dengan lembut tanpa kebencian. Apa yang dikatakan Galen hari itu ternyata benar, bahwa Ajis sangat baik.

Pintu terbuka memperlihatkan sosok Galen tengah tersenyum menyaksikan kemesraan adik-kakak. Galen berdeham, lalu berjalan menuju tepi kasur. Sontak Dimas mulai menyadari kedatangan Galen.

"Abang Galen!" teriak Dimas, merentangkan kedua kedua tangan ingin dipeluk.

Ajis menatap Dimas dengan memicingkan mata. Pasalnya, kedatangannya tadi tidak disambut sehangat itu. Sedangkan, Galen langsung memeluk Dimas erat.

"Ck! Tadi samaku gak gitu, cuma senyum doang. Giliran sama Galen langsung berubah," sindir Ajis, menatap Galen dan Dimas bergantian.

Dimas terkekeh, lalu kembali merentangkan kedua tangan untuk memeluk Ajis. Namun, Ajis menolak hingga membuat anak lelaki itu memasang wajah sendu. Tak tahan dengan ekspresi Dimas, alhasil Ajis berjalan dan memeluknya.

"Aku senang sekarang kalian bisa menerima satu sama lain." Galen tersenyum seraya mengambil buah anggur di atas nakas.

"Berkat kamu, Len. Kalo kamu gak nampar aku hari itu, mungkin aku masih ada di posisi mementingkan diri sendiri," timpal Ajis, berjalan ke arah Galen seraya memeluk sahabatnya erat.

Hal sederhana itu terlihat di mata Dimas. Persahabatan yang tulus serta tali persaudaraan tidak harus selalu memiliki ikatan darah. Dimas tersenyum lebar, ia bersyukur bisa memiliki dua kakak, meski yang satunya adalah sahabat Ajis.

"Bang Galen, besok Dimas udah bisa pulang," celetuk Dimas antusias seperti tadi, menatap kedua abangnya bergantian.

Galen mendekati Dimas. "Beneran?" tanyanya memastikan, "kalo begitu, nanti pulangnya ke rumah Abang Galen, ya? Kita tinggal bersama." Lalu, mengusap kepala Dimas dengan penuh kasih sayang.

Dimas bersorak kegirangan, sedangkan Ajis menatap keduanya dengan sorot mata teduh. Ia tak ingin merepotkan Galen dan keluarganya lagi, terlebih sekarang ada Dimas yang harus dijaganya. Kini, Ajis berpura-pura untuk pamit ke WC. Sontak saja Dimas dan Galen mengangguk kompak. Setelah Ajis menghilang dari pintu, Galen pun ikut keluar. Ia merasa Ajis sedang tidak baik-baik saja.

Galen sengaja menunggu di depan pintu ruangan, agar dapat berbicara dengan Ajis. Ia sangat berharap bahwa sahabatnya itu masih mau menetap di rumah Galen untuk waktu yang cukup lama. Kini, Galen memilih duduk pada kursi besi—masih menunggu kedatangan Ajis.

Tiba-tiba Ajis sudah berdiri di samping. Untungnya, Galen tidak memiliki riwayat jantungan. Tanpa diperintahkan duduk, Ajis sudah lebih dulu merebahkan bokong pada kursi besi.

"Len, soal perkataan kamu tadi ke Dimas ...." Ajis menggantungkan perkataan, menghela napas sebelum kembali berbicara. "Kami gak bisa menerima tawaran itu," sambungnya menundukkan kepala seraya menatap lantai.

"Jangan ada yang berubah, Jis. Bunda pasti akan sedih kalo tau keputusan kamu itu. Biarkan Dimas tinggal bersama kita," ucap Galen, merangkul pundak Ajis.

Ajis menggeleng lemah. "Gak, Len. Kalian udah banyak bantu aku." Kemudian, melepaskan rangkulan Galen.

Galen menghela napas berat. Ia tak tahu lagi harus dengan cara apa membujuk Ajis yang begitu keras kepala. Terlebih lagi, Restu akan terlihat sedih jika Ajis memilih keluar dari rumah.

"Pikirkan baik-baik, aku gak mau Bunda sedih." Galen meninggalkan Ajis seorang diri, berjalan menyelusuri koridor rumah sakit hingga menghilang dari pandangan Ajis.

Ajis terdiam di tempat. Kini, ia merasa bimbang dan sulit untuk memilih jawaban. Sebab, di satu sisi ia tak ingin merepotkan Galen dan sisi lainnya Ajis ingin mencoba hidup berdua dengan Dimas.

"Argh! Aku harus gimana?!" Ajis mengacak-acak rambut Frustrasi.

"Hai!" Suara lembut itu tidak asing, hingga membuat Ajis menoleh seketika.

Bersambung ...

NAWALA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang