Tubuh Callista menegang saat jemarinya menyentuh bibirnya dan rasa nyeri ia rasakan. Bibirnya benar benar terluka dan rasa karat samar masih tertangkap oleh indera perasanya.
Ciuman itu nyata? Tapi bagaimana?
Sial!"Ada apa, nyonya? Anda mencari sesuatu?" Jennie menatap bingung ke arah Callista.
"Tidak..." Callista menggeleng cepat.
"Mari ikut saya, nyonya. Tuan meminta saya menjemput nyonya. Nyonya dilarang berada sendirian di dalam istal dalam keadaan gelap." Jennie mulai berjalan, memegang senter, memimpin jalan, melewati kandang kuda, menuju ke arah pintu utama istal.
"Kenapa lampunya bisa tiba tiba padam?"Callista melirik ke arah Jennie.
"Entahlah nyonya. Sebenarnya kondisi ini jarang terjadi. Tapi tuan sudah mengirim orang untuk memeriksa penyebabnya." Jennie keluar dari dalam istal, mematikan senter di tangannya.
"Sebelah sini, nyonya," Jennie menggerakkan tangannya memberi kode agar Callista mengikutinya, menyusuri jalan setapak kecil menuju ke sebuah rumah kayu kecil. Rumah itu tidak memiliki model, nyaris mirip seperti gudang.
"Kami tiba," Jennie mendorong pintu utama rumah tersebut, tampak beberapa pria sedang berjongkok, mengelilingi kuda yang sedang berbaring di atas tumpukan jerami. Sebuah emergency lamp berukuran cukup besar tergantung di salah satu dinding, menerangi seluruh ruangan.
"Ta, kau baik baik saja?" Leonard, tampak khawatir, bangkit dengan gerakan cepat, meraih kain dan membersihkan kedua tangannya.
"Aku baik baik saja," Callista berdehem.
"Tidak ada kuda yang mengamuk bukan?"
"Tidak ada, tuan," Jennie menggeleng, "Hanya saja, tadi nyonya sempat terjatuh."
"Jatuh? Kenapa bisa?" Leonard tampak kaget, tangannya meraih tubuh Callista, memutarnya, memeriksa dengan seksama, "Kau baik baik saja? Ada apa dengan bibirmu? Kenapa kau bisa jatuh, Ta? Apakah ada sesuatu yang terjadi?"
"Sepertinya nyonya kaget saat kelinci liar yang masuk ke dalam istal menabrak nyonya," Jennie bergumam pelan.
"Ahhhh...." Leonard menghela nafas panjang, "Kelinci liar memang terkadang sering masuk ke dalam istal di saat cuaca dingin."
Kalimat Leonard terhenti saat lampu utama menyala.
"Akhirnya..." Leonard tersenyum lebar, penuh kelegaan.
"Tuan...." Seorang pria masuk ke dalam rumah kayu.
"Kau sudah memeriksanya?" Leonard menatap pria itu.
"Sebelum saya memeriksanya, listriknya sudah menyala lebih dulu," Pria itu menggeleng, "Sepertinya pemadaman dari pusat."
"Baiklah," Leonard mengangguk pelan, mengerutkan keningnya saat mendengar dering ponsel di saku celananya. Ia bergegas merogoh saku celananya, meraih ponselnya, menggeser icon hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya.
Callista berdehem pelan, menghembus nafas penuh kelegaan, saat perhatian Leonard teralihkan. Ia sejujurnya bingung harus mengatakan apa pada Leonard, jika Leonard terus bertanya tentang luka di bibirnya. Tidak mungkin ia bilang Xavier menciumnya di dalam istal dan tiba tiba Xavier menghilang dan berubah jadi kelinci? Bisa bisa ia dianggap tidak waras.
"Ya? Kenapa mendadak?" Suara Leonard menarik kembali fokus Callista. Leonard berdecak pelan, "Aku akan segera ke sana, Katakan padanya untuk menungguku." Leonard menghela nafas panjang, menjauhkan ponsel dari telinganya, "Aku ada urusan mendadak, bisakah kalian menangani Dark?"
KAMU SEDANG MEMBACA
World of Illusion
FantasyBagaimana jika saat membuka mata, tiba tiba saja dirimu sudah berada di tempat yang asing, yang tidak pernah terbayangkan di dalam benakmu? Itulah yang terjadi pada Callista. Saat ia membuka matanya, tiba tiba ia berada di sebuah ruangan yang terasa...