Sial
Ini bener benar di luar perkiraan Callista. Callista melirik ke arah belakang kedai, berharap Jennie segera muncul untuk menolongnya. Tapi setelah beberapa saat berlalu, Jennie belum tampak sama sekali.
"Jangan memaksa kami melakukan kekerasan pada nyonya," wanita itu bergumam pelan, namun nada suaranya terdengar mengancam.
"Kau mengancamku?"
"Aku bisa melakukan apa saja untuk memastikan nyonya ikut bersama kami," Wanita itu melirik ke belakang, tampak dua orang wanita dengan wajah datar berdiri dengan pandangan mengancam.
"Aku tidak mau!"
"Kami bisa menyeret nyonya."
"Oh iya?" Callista tersenyum miring, "Kau tidak takut dituduh melakukan kekerasan pada turis?"
"Tentu saja tidak nyonya, jika nyonya didiagnosa mengalami gangguan jiwa," wanita itu tersenyum samar, mengeluarkan amplop putih dari balik mantelnya, "Lembaran kertas ini bisa membuat kami menyeret nyonya tanpa bisa dihalangi siapapun. Tapi kusarankan nyonya ikut dengan cara baik baik."
Sial!
Callista menelan salivanya, membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Callista bisa mengenali logo yang ada di amplop putih tersebut adalah logo khas milik rumah sakit. Tampaknya wanita wanita di hadapannya benar benar akan melakukan segala cara untuk membawanya. Sekali lagi matanya melirik ke arah belakang, berharap Jennie muncul, tapi harapannya tampaknya sia sia belaka.
"Baiklah," Callista menyerah, bangkit dari kursi, "Tapi bisakah aku meninggalkan pesan untuk temanku agar tidak mencariku?"
Wanita itu mendengus namun memberi kode dengan gerakan kepalanya, membuat salah seorang wanita yang berdiri di belakangnya berjalan mendekati kasir dan tampak berbicara dengan pegawai yang bertugas di bagian kasir. Wanita itu kembali dan menyerahkan selembar kertas dan pensil pada wanita yang tampaknya adalah pemimpinnya.
"Dua puluh detik," wanita itu meletakkan kertas dan pensil, tepat di hadapan Callista.
Apa apan ini? Benar benar tidak sopan!
Mungkin aku harus mengadukan kelakuan bawahannya yang tidak sopan pada Xavier."Lima belas detik!'
Callista berdecak kesal, kembali duduk, meraih pensil dan mulai menulis dengan cepat. Callista memutuskan menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ia berharap Jennie bisa paham dan mencari bantuan secepatnya.
Aku dibawa paksa orang orang Xav
Callista mendongak kesal, saat kertasnya ditarik paksa oleh wanita tersebut sedangkan ia belum selesai menulis,
"Waktumu habis!"
Callista mendengus kasar, bangkit dari kursi, "Baiklah wanita pemarah. Ke mana?"
"Ikuti aku!" wanita itu memberi kode agar Callista mengikutinya. Ia berjalan lebih dahulu, keluar dari dalam kedai.
Callista melangkah pelan, di belakang wanita yang tampaknya menjadi pemimpin. Callista mengumpat dalam hati saat menyadari bagaimana ketatnya pengawasan dari mereka. Dua wanita lainnya berjalan tepat di belakang dan samping Callista, menutup semua kemungkinan yang bisa digunakan Callista untuk melarikan diri.
Sekarang Callista tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan dari wanita wanita berwajah datar itu dan berharap ada keajaiban yang bisa menolongnya.
**********
Jennie merapikan pakaiannya dan berjalan keluar dari dalam toilet. Keningnya berkerut saat ia tidak bisa menemukan Callista di dalam kedai es. Jennie melangkah cepat menuju ke meja di mana seharusnya Callista berada. Jantungnya berdegup kencang saat ia menemukan menu yang ia pesan, tersusun rapi di atas meja. Sekali lagi, Jennie meyakinkan diri bahwa ia tidak salah meja, apalagi setelah melihat salinan nota yang tertempel di meja dan sudah dicoret tanda pesanan sudah terantar.
KAMU SEDANG MEMBACA
World of Illusion
FantasyBagaimana jika saat membuka mata, tiba tiba saja dirimu sudah berada di tempat yang asing, yang tidak pernah terbayangkan di dalam benakmu? Itulah yang terjadi pada Callista. Saat ia membuka matanya, tiba tiba ia berada di sebuah ruangan yang terasa...