chapter 23

160 27 0
                                    

Callista duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin sementara dua orang maid sibuk bekerja tanpa suara, mendandaninya. Ia mengenakan white sleeveless tulle berpotongan A-line dengan leher berpotongan scoop neck.

"Nyonya benar benar cantik," Salah seorang maid tersenyum penuh rasa kagum, meletakkan sisir yang baru saja digunakan untuk merapikan rambut Callista. Callista memang terlihat sangat cantik walaupun wajah dan rambutnya dirias secara sederhana.

"Terima kasih," Callista bergumam pelan, menatap maid yang berdiri di sampingnya. Perlahan maid itu pun mundur perlahan.

"You're really beautiful, my Queen." Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lembut, menatap Callista melalui pantulan cermin.

"Apa artinya cantik tanpa kebebasan?" Callista mencebik, memutar tubuhnya, menatap Xavier.

OMO!

Penampilan Xavier selalu mampu memberikan kejutan bagi Callista. Kali ini Xavier mengenakan kemeja putih berlengan panjang yang tidak dikancing sempurna, menampilkan otot dadanya yang kekar dan juga rambut rambut halus di tubuhnya. Lalu celana hitam yang dikenakannya juga memeluk erat bagian tubuh bawah Xavier. Penampilan Xavier disempurnakan dengan jubah panjang hitam berhiaskan bordiran emas yang membentuk aneka simbol yang terlihat asing di mata Callista.

Oh gosh!
Iblis yang seksi!

"Maaf my Queen jika kau merasa tidak nyaman," Xavier menghela nafas panjang, meraih jemari Callista, menariknya agar berdiri dari kursi.

"Apakah tidak ada pilihan lain selain melakukan ritual ini?" Mata Callista menelisik penampilan Xavier yang tampak sangat berwibawa laksana bangsawan bangsawan dalam cerita cerita kuno.

"Unfortunately not, we must do this ritual." Jemari besar Xavier bergerak naik, mengusap pelan pipi Callista.

Xavier menghembus nafas kasar saat Callista secara refleks mundur menjauh, menghindari sentuhan tangan Xavier di pipinya.

Rasa bersalah muncul di hati Callista saat menatap ekspresi muram di wajah Xavier.

"Sorry," Callista bergumam pelan.

"It's okay, Queen. Aku akan menunggu sampai kau benar benar bisa menerimaku seperti saat saat yang sudah pernah kita lewati bersama." Xavier mengangguk, memaksa dirinya tersenyum, "Kau sudah siap?"

"Siap?" Callista tertegun, mencerna pertanyaan dari Xavier, namun akhirnya ia menyadari ke mana arah pertanyaan Xavier, "Apakah aku punya pilihan lain?"

"Sayangnya tidak," Xavier menggeleng, "Walaupun kau membenciku, kau tetap harus melakukan ritual ini bersamaku."

Callista menatap tangan besar Xavier yang terulur ke arahnya. Setelah menimbang nimbang beberapa saat, akhirnya Callista menyambut uluran tangannya. Callista bisa merasakan bagaimana lembut dan hangat cara Xavier menggenggam tangannya.

Andai saja....andai saja...

Ya andai saja mereka berdua punya kisah yang berbeda atau bertemu dalam situasi yang berbeda, di waktu yang berbeda. Tapi ya, sekali lagi kenyataan terkadang berbeda jauh dengan harapan dan angan angan.

"Ayo...." Xavier memberi kode agar Callista mengikutinya.

Callista melangkah di samping Xavier, keluar dari dalam kamar, menyusuri lorong koridor rumah, melewati banyak pintu dan ruangan dengan interior arsitektur bergaya Eropa kuno. Deretan pilar besar seolah olah menjadi ciri khas bangunan bergaya Eropa itu. Lampu gantung chandelier bermodel klasik menambah kesan kuno bangunan namun tetap memberikan kesan sangat mewah dan elegan.

World of Illusion Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang