Bab 2.

19.9K 1.3K 31
                                    

Gio mengginggit kukunya tegang. Mencoba sebisa mungkin untuk berpikiran jernih. Duduk di bangsalnya sendiri tanpa ada seseorang.Gio tidak peduli kemana perginya semua orang. Pikirannya kacau memikirkan hal yang terjadi padanya.

Dia berada di raga seseorang dengan pemikiran penuh dan ingatan kehidupan dulunya sangat jelas.Gio, mahasiswa baru yang ngekost di kost an sederhana, karena dirinya sebatang kara.

Menyelamatkan seseorang dan berakhir nyasar di raga seseorang. Anak dari orang yang dia tolong.

Oh shit! Sepertinya Gio mulai gila.

Gio memang banyak mendapat ingatan Fran. Tetapi ingatan-ingatan itu tidak lengkap. Seperti potongan puzzle yang terpisah-pisah, membuatnya sulit meniru gaya hidup dan cara bicara Fran sepenuhnya.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka pelan, menampilkan Antonio dengan wajah penuh kekhawatiran. "Fran, bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya Antonio.

"Aku... mulai merasa lebih baik, A-ayah," jawab Gio, berusaha menyesuaikan diri dengan peran barunya.

Antonio mengerutkan kening. "Apa katamu? Ayah?" tanyanya, merasa aneh dengan lagak putranya.

Ah benar! Gio segera menyadari kesalahannya. Diingatannya, Fran selalu memanggil Antonio dengan sebutan "Daddy," bukan "Ayah."

"Eum, maaf Daddy. Mungkin karena efek kecelakaan itu, semuanya terasa sedikit kacau."

Antonio mengamati putranya penuh selidik. "Kau tahu, Fran, selama ini kau selalu tenang dan penuh perhitungan. Sekarang, kau terlihat seperti orang yang berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Gio menarik napas dalam-dalam. Meredakan gugup yang membuatnya bingung beralasan. "A-aku ..."

Ceklek.

Katakan lah dewi fortuna sedang berpihak padanya. Sebelum ia makin bingung menjawab, pintu kamar terbuka lagi. Presensi seorang wanita elegan dengan gaun mahal dan perhiasan berkilau masuk dengan langkah tegas. Salvatera, Mommy Fran.

"Oh, kau bangun? Syukurlah." Salvatera langsung mendekati dan memeriksa putranya dengan saksama. "Tatapanmu ... Kenapa Mommy merasa aneh?"

Gio reflek memalingkan wajah. "Em m-mungkin aku... aku masih agak bingung setelah kecelakaan itu."

Salvatera mengerutkan kening, jelas tidak puas dengan jawaban itu. "Fran, apa kehilangan sedikit ingatan berarti kehilangan jati diri? Ada apa denganmu? Kau aneh sejak kemarin."

Antonio mencoba menenangkan Salvatera. "Sayang, dokter sudah bilang bahwa ini mungkin efek sementara. Kita harus memberinya waktu."

"Tidak, Antonio. Ini bukan hanya tentang waktu. Putra kita berbicara dan bertindak seperti orang lain," kata Salvatera tegas, matanya tajam menatap Gio.

Gio berusaha keras untuk tetap tenang.

"Ini semua gara-gara anak sialan itu!" Geram Salvatera. Wajahnya seketika menggelap. "Di mana dia? Aku akan memberinya pelajaran."

"Dia sedang aku hukum di gudang." Antonio menjawab. Dia sama seperti istrinya. "Kita akan beri pelajaran dia bersama-sama."

"Huh, bodoh dan tidak berguna. Sekarang dia mau menjadi pembawa sial?" Salva mengumpati anak sialan yang dia maksud. Mata tajamnya melihat Gio yang kebingungan.

"Anak sialan? Siapa yang mommy maksud." Tidak mungkin anak kandung kedua orang di depannya ini kan. Tidak ada orang tua yang menyebut anaknya sialan.

"Siapa lagi kalo bukan anak tidak berguna itu!" Salva menepuk bahu anaknya. "Dengar, mami tau kau melupakan ingatanmu. Tapi jangan sampai dekat dengan dia."

Gio mengais-ngais ingatan Fran. Tetapi nihil, ia tidak menemukan siapa yang tengah dimaksud sang Mommy.

Fran tipe orang yang cuek, tak mau memperdulikan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Mungkin itu sebabnya Gio tak tahu menahu tentang 'anak sialan' itu. Fran sepertinya tak memiliki cukup memori tentangnya. Membuat Gio sedikit penasaran.

Apa dia yang menyebabkan Fran kecelakaan? Tanya Gio dalam hati.

***

"S-sakit." desis seorang remaja. Memegang perut yang baru saja ditendang oleh gadis yang sekarang memandangnya tajam.

"Kalo saja kau tidak merengek pada kak Fran. Dia tidak akan kecelakaan bahkan sampai lupa ingatan!" Dia... Alessandria, anak gadis satu-satunya pasangan Carmelo.

Memandang rendah seseorang yang seharusnya juga menjadi saudara lebih tua darinya. "Sekarang kau mau beranjak menjadi pembawa sial!"

BRAK!

Pintu gudang terbuka kasar. Alessandria tersenyum puas mengetahui siapa yang datang.

"Lihat, siapa yang datang." Gadis itu berlutut. Berbisik dengan seringaian bak iblis. "Selamat bersenang-senang... Luca." Katanya, lalu beranjak menjauh.

"Mommy! Aku melakukan tugasku dengan baik, bukan?"

Ya, itu Selvatera, yang datang dengan aura bengisnya.

"Apa yang kau lakukan padanya, Al?!"

Ale terhenyak.

Selvatara melangkah maju, menarik perlahan remaja berwajah penuh lebam di belakang Ale sana lalu mengusap pipi tirus remaja itu.

"MOMMY!" Sentak Ale tak terima. Apa yang Mommynya lakukan sekarang?

"Luca ..." Panggil Selvatara dengan suara rendah khasnya.

Luca yang sebelumnya memejam rapat sebab ketakuan itu jadi perlahan membuka mata. Sedikit menghangat kala ia menerima usapan lembut dari tangan halus wanita di depannya.

Namun ...

PLAK.

Luca tersungkur keras akibat tamparan penuh tenaga dari Salvatera.

"Kau seharusnya menyiksanya lebih keras, Al! Lebam di wajahnya tak seberapa jika dibandingkan kecelakaan yang di alami Fran." Kata Selva membuat senyum culas Ale kembali muncul.

Sementara Luca, hatinya lagi-lagi dipatahkan. Harapnya lagi-lagi dihancurkan. Dalam hati ia berdecih, menertawai diri sendiri sebab sempat mengira Selva --yang juga Mommy nya-- akan berbelas kasih padanya.

"Kau anak sialan! Kau membuat Fran kehilangan jati diri!" Salva menarik kuat rambut Luca.

"Kalau bodoh, bodoh saja. Jangan menyusahkan. Kau membawa masalah dan menyakiti putraku!"

"Kau dengar!"

"M-maaf mom." Bibir luka milik Luca bergetar. Sebisa mungkin tidak menangis karena mommynya tak suka saat dia menangis karena kesakitan.

"Kenapa aku harus melahirkan anak sepertimu?!"

Sakit. Ini lebih sakit dibanding luka disekujur tubuhnya. Luca berusaha kuat. Mati-matian menjaga air matanya supaya tidak keluar.

Namun, begitu Selva melepaskan tarikan pada rambutnya dengan sekali hentakan, Luca tak dapat lagi membendung air matanya.

Sebab, sebelum itu Selva berkata ...

"Luca, jika kau ingin membuat Mommy bangga padamu. Matilah malam ini juga."

Dia memang tidak pernah ah membanggakan kedua orang tuanya. Bahkan hanya bisa menjadi beban bagi keluarga. Namun apakah benar, ketika seorang ibu mengharapkan kematian anaknya?

Luca menangis dalam diam, sakit hatinya lebih perih dari pada luka yang dia dapat. Mengapa Tuhan tidak pernah adil padanya.

Mengapa juga dia harus selalu tersiksa setiap hari tanpa perhatian dan kasih sayang keluarga.




To be continued...

Udah yah.. Gue yang baik hati ini double up.

Sulung - END [ Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang