Gio mengernyit merasakan denyutan di kepalanya seiring kesadarannya yang berangsur pulih. Kendati demikian, pikiran pemuda itu malah lebih terfokus pada Luca. Bagaimana bisa adiknya yang lembut tiba-tiba berubah dan menyerangnya seperti ini?
Antonio dan Salvatera berdiri di samping ranjangnya, wajah mereka penuh kekhawatiran dan kemerahan yang bercampur satu. "Fran, ini tidak bisa dibiarkan. Luca telah melukaimu. Dia harus dihukum," kata Antonio dengan suara tegas.
Saat ini Luca tengah berada di luar ruang rawat. Sesaat setelah ia kembali tersadar akibat sentuhan dan panggilan dari Gio, remaja itu dengan cepat berlari keluar. Saking merasa bersalah, ia sangat malu menampakkan dirinya pada sang Abang.
"Dia benar-benar berbahaya, Fran. Kau juga sudah melihatnya kan tadi? Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi," tambah Salva, air mata mengalir di pipinya. Mencoba lebih keras mengambil hati sang putra.
Gio menggeleng pelan. "Mom, Dad, tolong jangan marahi Luca. Aku yakin, dia tidak menyadari apa yang dia lakukan."
Salva mengernyit, tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Fran! dia memukulmu hingga kau terluka parah. Bagaimana bisa kau memaafkannya begitu saja? Belum lama dari ini dia juga membuatmu kecelakaan hingga nyaris mati. Lalu, setelah semua itu, kau masih mencoba melindunginya??? Apa kau tidak memikirkan perasaan Mommy? Mommy khawatir padamu, sungguh." Salva semakin mengeraskan tangisannya. Ia lantas beringsut ke dalam dekapan Antonio.
Gio menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Maaf Mom, jangan menangis. Aku tidak suka melihatmu menangis."
Salva memegang tangan Gio, suaranya bergetar. "Bagaimana bisa Mommy tidak menangis Fran? Lihatlah dirimu. Kamu bisa saja mati."
Gio tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja, Mom. Jadi Mom, tolong mengertilah. Dia berubah seperti itu pasti ada alasannya."
Salva berdecak lalu membelakangi Fran. Menyampaikan gestur marahnya pada sang putra Antonio sendiri jadi menghela napas dalam, kemarahannya serasa dipatik sekarang. Mati-matian menjaga emosi agar tidak kelepasan memarahi si sulung.
Gio memandang orang tuanya bergantian karena belum mendapat respon. Ia segera memaksa kedua orangtuanya agar memperbolehkan dia bertemu Luca. Gio khawatir, mungkin saja Luca merasa bersalah.
Akhirnya, setelah beberapa saat berusaha, Antonio mengangguk pelan. "Baiklah, tapi dengan syarat kami tetap berada disini."
Gio mengangguk setuju. "Tidak masalah."
Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dan Luca dibawa masuk, wajahnya pucat dan matanya merah karena menangis. Antonio dan Salvatera berdiri di dekat pintu, mengawasi dengan penuh kebencian.
"Luca," panggil Gio.
Luca mendekat dengan langkah ragu-ragu, tangannya gemetar. "Bang Fran, maafkan aku. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku... aku tidak bisa mengendalikannya. Aku menyesal bang."
Gio meraih tangan Luca dan menggenggamnya erat. "Luca, abang tidak marah padamu. Aku tahu kau tidak bermaksud melukai Abang, iya kan? Jadi jangan menyalahkan dirimu ya."
Luca mengangguk, air mata mengalir di pipinya. "Apa sakit?" Tanyanya polos.
Gio tentu saja mengangguk. Manusia sepertinya, yang dahulu memiliki kehidupan normal tentu saja tidak terbiasa dengan luka semacam ini. "Iyalah," jawabnya.
Lelehan air mata Luca semakin deras.
Gio gelagapan. "Eh eh, tidak Luca. Ini sakit, tentu saja sakit. Tapi kau lihat abang sekarang. Abang sudah tidak apa-apa." Luca tetap menangis, bahkan menimbulkan suara keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung - END [ Terbit ]
TienerfictieColaboration with @Khofifah11092000 Jangan salah lapak.. Beberapa karya dihapus untuk kepentingan penerbit. Giovanni, pemuda sederhana dengan pemikiran sederhana. Giovanni merupakan seseorang dengan pribadi yang mudah berteman dengan siapapun. Dia...